Jumat, 20 September 2024
spot_img

1.325 Kasus Perceraian Masuk ke Pengadilan Agama Batam, Didominasi Faktor Ekonomi dan Orang Ketiga

Berita Terkait

spot_img
janda
Ilustrasi. Warga saat antre di ruang tunggu loket pendaftaran gugatan di Kantor Pengadilan Agama Batam. Foto: Rengga Yuliandra/ Batam Pos

batampos – Perkara perceraian di Kota Batam tergolong masih cukup tinggi. Buktinya, selama tujuh bulan terakhir, Pengadilan Agama (PA) Kota Batam menerima 1.325 perkara perceraian.

Dari ribuan perkara yang masuk, pasangan suami istri memilih bercerai mayoritas karena alasan klasik yakni faktor ekonomi. Orang ketiga dan juga dikarenakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).



Humas Pengadilan Agama Kota Batam Azizon mengatakan, jika perkara perceraian yang diterima olehnya setiap bulan masih cukup tinggi. Dimana, kasus tertinggi sepanjang tahun ini terjadi di Januari yakni 270 perkara dan Mei 248 kasus serta bulan Juli 2024 dengan jumlah 219 kasus perceraian.

Hal ini tentunya menjadi perhatian serius semua pihak, sebab setiap bulan perkara masuk seolah-olah tidak ada habisnya. Baik cerai talak dan cerai gugat jumlahnya masih cukup tinggi.

“Benar, sepanjang tahun ini ada 1.325 kasus yang masuk, ” ujarnya, Senin (26/8).

Menurutnya, sama dengan tahun-tahun sebelumnya kasus perceraian di Batam masih didominasi oleh cerai gugat atau diajukan oleh pihak istri. Jumlahnya mencapai 1.025 perkara. Sisanya 300 perkara lainnya diajukan pihak suami atau cerai talak.

Sementara dari keseluruhan perkara yang masuk 1.182 perkara sudah mendapatkan putusan. Diantaranya 284 cerai talak dan 898 cerai gugat. Sementara sisanya masih dalam proses sidang dan tahap mediasi oleh pengadilan agama.

Azizon menambahkan, permohonan perkara cerai masih didominasi alasan klasik yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan cerai. Paling banyak karena masalah ekonomi. Yakni pihak istri mengatakan bahwa nafkah yang diberikan oleh suami kurang sehingga tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sementara itu untuk cerai talak yang paling mendominasi karena perselisihan rumah tangga, sehingga menyebabkan pertengkaran terus menerus. Ada juga istri meninggalkan tempat tinggal dalam waktu yang lama, perselingkuhan atau hadirnya orang ketiga atau pria idaman lain dan sebagainya.

“Kondisi ekonomi yang dirasakan tidak stabil berdampak pada hubungan rumah tangga, ” terangnya.

Sementara kelompok usia yang paling banyak melakukan perceraian adalah usia muda yakni 25 tahun hingga 40 tahun.

Sementara itu, Kasi Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Batam, Muhammad Dirham mengatakan, ketidakmatangan pasangan suami-istri menghadapi kenyataan hidup yang sesungguhnya, mengakibatkan mereka kerap menemui kesulitan dalam melakukan penyesuaian perkawinannya yang masih balita.

“Kalau kita melihat data Pengadilan Agama Batam itu hampir 70 persen kasus perceraian terjadi pada perkawinan di bawah usia 5 tahun, ” ujarnya.

Dirham mengakui, banyak pasangan yang hendak menikah belum cukup mumpuni baik itu dalam hal ekonomi dan mental. Oleh sebab itulah sangat diperlukan bimbingan, agar ke depan menghadapi masalah rumah tangga, pasangan menyelesaikan secara kekeluargaan dan tidak menempuh jalur persidangan.

“Selama ini, masyarakat cenderung tak punya persiapan matang untuk menikah. Padahal itu sangat penting,” tuturnya.

Dirinya menjelaskan, bimbingan pranikah digelar masing-masing KUA. Di sana para pasangan diberikan materi dan penjelasan soal kehidupan setelah menikah, mulai dari pembinaan aklak moral hingga kewajiban pasangan suami istri

Tak hanya itu, pihaknya melalui KUA juga terus melakukan pembinaan bagi keluarga setelah menikah. Bersama dengan Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), pihaknya membimbing pasangan muda yang rentan terhadap perceraian.

“Jadi tak hanya pra atau sebelum nikah saja, pasca nikah juga terus dilakukan pembinaan,” bebernya. (*)

Reporter: Rengga Yuliandra

spot_img
spot_img

Update