batampos – Negara Malaysia kembali mendeportasi 30 Warga Negara Indonesia (WNI) karena tidak memiliki izin tinggal di negeri jiran itu. Proses deportasi para WNI Dilakukan dari Pelabuhan Situlang Laut menuju Pelabuhan Feri Internasional Batamcenter, pada Kamis (3/10).
Dari 30 WNI yang dideportasi itu 23 orang laki-laki, satu diantaranya bayi, dan 7 orang perempuan.
Salah satu WNI yang dideportasi adalah Kartika, wanita asal Jawa Barat yang membawa serta bayinya. Bayi berusia satu bulan itu merupakan hasil pernikahannya di Malaysia dengan PMI yang juga bekerja di sana.
Baca Juga: Produksi Kapal Aman Hingga Akhir Tahun, Galangan Kapal Butuh Regulasi yang Lebih Mudah
“Saya ditangkap saat hamil besar oleh polisi Malaysia saat sedang tidur. Kondisi saya saat itu hamil besar, suami tidak tertangkap karena di perusahaan lain,” ujar wanita berusia 30 tahun ini.
Diakuinya, di Malaysia ia bekerja selama 2 tahun tanpa ada permit. Selama itu ia kucing-kucingan dengan polisi Malaysia hingga akhirnya tertangkap.
“Ya gimana lagi, proses urus kerja susah, makanya saya masuk ilegal, hanya bermodal paspor, dan bertemu suami di sana,” ungkap Kartika.
Sementara itu, petugas pelayanan P4MI Batamcenter, Indra DP mengatakan ada 30 PMI yang dipulangkan. Para PMI nantinya akan di tampung di Shelter BP3MI Kepri di wilyah Imprerium untuk nantinya dilakukan pendataan.
Baca Juga: Nikah, Wajib Ikut Bimbingan Perkawinan
“Nantinya akan dipulangkan. Namun jadwal pemulangan ke daerah asal, masih akan berkoordinasi dengan tim, mengenai teknis pemulangan. Saat ini pendataan dulu,” jelasnya.
Menurut dia, ada berbagai alasan para PMI dideportasi. Diantaranya karena adanya penyalahgunaan dokumen. Ada yang berangkat sebagai pelancong namun malah bekerja di sana.
“Biasanya didominasi penyalahgunaan dokumen. Ini yang kami cari tahu dulu alasannya,” kata Indra.
Masih kata Indra, pemulangan para PMI dari negeri jiran terus terjadi. Bahkan dalam satu bulan bisa empat kali pemulangan.
“Bisa empat kali sebulan PMI yang dideportasi,” jelasnya. (*)
Reporter: Yashinta