Kamis, 28 November 2024
spot_img

Batam Dapat Predikat Kota Layak Anak, Penggiat Anak Kecewa dan Berikan Kritik Pedas

Berita Terkait

spot_img
Wali Kota Batam, Muhammad Rudi, saat menyapa seorang siswa Sekolah Dasar (SD). Foto: Diskomonfo Kota Batam untuk Batam Pos

batampos – Kota Batam digegerkan dengan kasus pencabulan terhadap anak di kawasan Bengkong, 27 Juni silam. Setelah dilakukan pemeriksaan korban kasus ini, tidak hanya satu atau dua anak saja. Polisi menemukan fakta ada 10 anak menjadi korban. Rentang usianya dari 5 sampai 10 tahun. Tersangkanya adalah orang terdekat, pengelola panti asuhan.

Selang tak berapa lama, terungkap lagi kasus di Nongsa. Polisi menangkap seorang pendidik, yang mencabuli dua orang anak. Dalam rentang Januari hingga Juni, kasus pencabulan, pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak mengalami peningkatan.


Polda Kepri mencatat ada sebanyak 12 laporan kasus anak sebagai korban, rentang Januari hingga April. Ada sebanyak 11 korban dan polisi menetapkan 16 pelaku atas kasus tersebut.

Sedangkan, di Polresta Barelang sepanjang 2021 menangani 15 kasus pelecehan dan pencabulan terhadap anak. Tahun 2022, hingga Juni saja Polresta Barelang sudah menangani 12 kasus.

Ditengah peningkatan kasus anak sebagai korban. Kota Batam mendapatkan predikat sebagai Kota Layak Anak (KLA). Para penggiat anak, menilai predikat itu tersebut tidak layak. Sebab, Pemerintah Kota Batam dinilai tidak memiliki itikad baik, untuk melakukan langkah-langkah pencegahan. Bahkan anak-anak menjadi korban, minim mendapatkan proses pemulihan.

“Kami mengawasi, terdata bahwa peningkatan sungguh signifikan. Dari 2019 trennya naik drastis hingga kini,” kata Komisioner KPPAD Batam, Abdillah, Minggu (24/7).

Ia mengaku di tengah keterbatasan dana dan anggaran, KPPAD Kota Batam saja sudah mengawasi sebanyak belasan kasus anak sebagai korban. “Dua bulan terakhir saja sudah banyak terjadi kasus pencabulan terhadap anak di beberapa kecamatan. Saya mencatat ada tiga kecamatan. Kasus kekerasan terhadap anak juga ada di salah satu kecamatan di Batam,” ujarnya.

Abdillah mengaku ragu dengan penilaian tersebut. Sebab dari beberapa indikator. Salah satu indikatornya adalah perlindungan anak dari KTA (kekerasan, penelantaran, eksploitasi) dan seksual, perdagangan serta kejahatan seksual.

Satu indikator ini saja, kata Abdillah, Pemerintah Kota Batam tidak dapat memberikan perhatian khusus. “Pusat pembinaan terhadap anak belum optimal. Lalu program pencegahan jauh dari kata optimal. Upaya sosialisasi yang minim,” tutur Abdillah.

Selain itu, dari rentang 2019 hingga sekarang, Kota Batam tidak pernah melaksanakan perayaan hari anak nasional. Abdillah menyebut hanya para penggiatan anak dan LSM yang menggelar Hari Anak Nasional.

“Perayaan ini memang tidak memberikan dampak langsung. Tapi dengan perayaan, mengingatkan orang betapa pentingnya perlindungan terhadap anak,” ujarnya.

Baca Juga: Batam Dapat Penghargaan Kota Layak Anak

Romo Chrisanctus Paschalis, penggiat anak juga mempertanyakan penghargaan yang terima Kota Batam sebagai Kota Layak Anak. “Saya merasa komitmen pemerintah Kota Batam melindungi anak, hanya dilakukan di atas kertas. Hanya sebatas administrasi, dengan banyak catatan buruk. Saya punya catatan tersebut dari kementrian,” katanya.

Pemerintah Kota Batam, kata Romo Pascal lagi, hanya mendompleng kerja-kerja dari para LSM penggiat anak. Data dari LSM penggiat anak dikemas seolah-olah kerja dari Pemerintah Kota Batam.

“Pertanyaan sederhana, apakah pemerintah Kota Batam sudah merayakan Hari Anak Nasional (HAN) di Batam. Jawabannya belum pernah. HAN 23 Juli lalu diinisiasi teman-teman jaringan safe migrant seperti Rumah Faye, pemerintah dilibatkan malah tidak hadir,” ujar Romo Pascal.

Ia merasa pemerintah hanya hadir saat meminta data-data ke para penggiat anak. Namun, kegiatan-kegiatan yang benar-benar bersentuhan dengan anak, Pemerintah Kota Batam memilih absen.

“Ini sangat Ironis, karena dihari yang sama kemarin pemerintah Kota Batam menerima penghargaan sebagai kota layak anak,” ungkap Romo Pascal.

Catatan Romo Pascal, substansi pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak masih lemah. Pertama mengenai informasi layak anak, kebijakan Perda No 10 Tahun 2021 tentang Perpustakaan dan Perwako No 16 Tahun 2017 tentang Panggilan Darurat. Dua aturan tidak lagi dapat mengakomodir kondisi saat ini.

Informasi saat ini diakses melalui media digital. Pemerintah Kota Batam belum mengatur hal itu. Pengaturan seperti apa hak anak atas informasi, bagaimana dan kewajiban serta peran pemerintah belum ada.

“Pencegahan perkawinan anak. Klaim diatur di dalam Perda no 2 tahun 2016 sebenarnya baru disebutkan “penurunan usia perkawinan pertama”. Namun tidak ada ketentuan apapun setelah itu. Siapa saja yang harus menurunkan usia perkawinan pertama anak? apa saja faktor2 pendorong terjadinya perkawinan anak? bagaimana mencegah dan menurunkan angka perkawinan anak? siapa melakukan atau bertanggung jawab seperti apa belum diatur dan seterusnya,” ujar Romo Pascal.

Dia juga menyoroti lembaga konsultasi keluarga, yang menggunakan dasar hukum dari SK Walikota Batam dan SK Kepala Dinas. Lembaga ini hanya menangani persoalan anak dan keluarga. “Perlu diatur lebih luas lagi. Saya kira momen ini, harusnya Pemerintah Daerah berbenah. Jangan puas dengan penghargaan kosong, tapi realitanya berbeda. Kami tetap mendukung, tapi kami juga perlu kritis dan bijaksana dalam kerjasama dengan pemerintah demi anak anak Indonesia,” ungkap Romo Pascal.

Project Manager Rumah Faye, Dewi Astuti mengatakan hal yang senada. “Saya kecewa, kegiatan yang dibuat anak-anak tidak dihadiri oleh pemerintah. Walikota tidak hadir, wakil gubernur tidak juga. Padahal mereka dapat penghargaan, hasil kerja teman-teman LSM,” ujar Dewi.

Tidak hanya soal kehadiran pemerintah dikegiatan anak. Tapi, juga kehadiran pemerintah dalam penanganan kasus-kasus berkaitan dengan anak. Sering terjadi kasus anak sebagai korban, pemerintah cenderung abai dalam pemulihan psikis dan mental anak.

“Pemerintah punya kecenderungan melakukan penanganan kasus saja. Pemulihan hampir tidak ada. Pencegahan programnya sedikit, sosialisasi malah dilakukan di daerah yang masyarakatnya memiliki pemahaman yang baik terkait anak,” tutur Dewi.

Dewi juga mencontohkan kasus anak-anak menjadi korban, di sebuah panti asuhan. Pemerintah hanya mengembalikan anak tersebut ke orangtuanya. Padahal, anak-anak itu diserahkan orang tuanya ke panti asuhan, karena tidak mau bersusah payah dan dianggap sebagai beban.

“Anak dikembalikan, harusnya ada monitoring dari pemerintah. Peran pemerintah saat anak-anak ini diabaikan, jangan hanya menganggap kasus selesai jika polisi menuntaskan atau menangkap pelakunya. Problem psikis anak belum selesai,” ujarnya.

Ketua Raeksa (Remaja Anti Eksploitasi Seksual Anak) Batam, Bryghita mengungkapkan kekecewaan, penghargaan yang diraih Kota Batam atas KLA. “Menurut saya, Batam belum menjadi kota layak anak. (Banyak) bukti-bukti yang terpampang nyata yaitu masih banyak anak yang menjadi korban maupun pelaku, masih banyak anak jalanan yang tereksploitasi, bahkan panti asuhan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan anak menjadi tempat anak anak mendapatkan pelecehan, masih ada guru yang menjatuhkan mental anak dengan perkataan nya,” ujar Bryghita.

Kepedulian pemerintah, kata Bryghita, bentuk kesadaran betapa pentingnya memperhatikan para penerus bangsa. Pemerintah Kota Batam saat ini tidak terlalu memedulikan nasib anak-anak.

Bryghita mengatakan bahwa anak disabilitas di Batam juga belum mendapatkan perhatian dari pemerintah. Buktinya infrastruktur di Batam yang belum memadai untuk anak anak disabilitas. Ia berharap pemerintah bisa membangun infrastruktur ramah untuk anak disabilitas.

“Kekecewaan saya juga kepada pemerintah, dimana anak anak disabilitas yang mempunyai jiwa semangat yang luar biasa, melalui bukti mereka berani dan semangat menampilkan bakat mereka di acara Hari Anak Nasional kemarin. Tapi walikota malah tidak hadir,” tuturnya.

Pemerintah Kota Batam, kata Bryghita haruslah lebih perhatian ke anak-anak, terutama mereka yang rentan menjadi korban. Seperti anak jalanan, anak yang orangtuanya berada di garis kemiskinan, anak korban perceraian.

“Pemerintah harus hadir dan memberikan kepedulian yang nyata bagi anak-anak, yang menjadi generasi penerus bangsa. Jangan hanya menerima hasil pekerjaan dari Lembaga Masyarakat saja,” ucapnya.

Pemerintah Kota Batam tidak hanya harus lebih peduli terhadap anak-anak sebagai korban tindak kejahatan. Tapi, anak-anak yang menjadi pelaku kriminal sendiri.

Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Klas II Batam, Novriadi mencatat sejak 2020 hingga sekarang, rata-rata ada sebanyak 50 hingga 60 anak bermasalah secara hukum dan masuk ke LPKA. Perbuatan kriminal anak-anak paling banyak adalah pencurian.

Rata-rata anak-anak yang berada di dalam LPKA berbuat kriminal, akibat kurang harmonisnya hubungan di keluarga, atau kurang mendapatkan perhatian orangtua. Oleh sebab itu, ia berharap pemerintah daerah dapat memberikan perhatian lebih. Sehingga anak-anak tidak berujung ke LPKA.

“Banyak persimpangan-persimpangan anak-anaknya, harusnya pemerintah daerah hadir disana. Selain itu, saya harap jangan ada anak berhadapan dengan hukum. Atau prosesnya sampai ke meja pengadilan,” ujarnya.

LPKA klas II Batam, kata Novriadi berusaha memberikan perhatian ke anak-anak. Selain itu, LPKA klas II Batam berusaha merajut hubungan anak-anak dengan keluarganya. “Rata-rata anak-anak disini, putus sekolah. Kami pun hadirkan sekolah disini, seperti kelas paket. Sehingga, mereka bisa melanjutkan pendidikannya,” tuturnya. (*)

 

Reporter : FISKA JUANDA

spot_img

Update