batampos – Kejaksaan Negeri Batam melakukan upaya hukum banding atas vonis ringan majelis hakim Pengadilan Negeri Batam terhadap perkara kekerasan anak yang dilalukan Aiptu Erwin Depari. Vonis hakim terhadap resedivis kasus kekerasan anak di SPN Dirgantara Batam dinilai terlalu ringan karena hanya 1 bulan penjara.
Padahal dalam amar putusan, majelis hakim yang dipimpin hakim Jeily Syahputra menyatakan terdakwa Erwin Depari terbukti bersalah melakukan kekerasan. Namun sayangnya, hukuman terhadap perwira Polda Kepri yang masih aktif ini didiskon jauh dibanding tuntutan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Erwin Depari 8 bulan penjara, karena terbukti melakukan kekerasan terhadap siswa di SPN Dirgantara Batam.
Kasi Pidum Kejari Batam, Amanda mengatakan pihaknya sempat pikir-pikir atas vonis majelis hakim yang dijatuhi pada Rabu (9/11) lalu. Namun pada Selasa (15/11) pihaknya pun langsung mengupayakan hukum banding.
“Per hari ini (kemarin, red), kami langsung meyatakan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) melalui PN Batam,” ujar Amanda, kemarin.
Baca Juga: Ini Kata Pihak Hotel 999 Terkait Kasus Prostitusi Anak di Bawah Umur
Menurut dia, upaya banding dilakukan karena menilai vonis majelis hakim PN Batam yang dipimpin hakim jeily terlalu ringan dengan satu bulan penjara. Vonis itu jauh dibanding tuntutan mereka yakni 8 bulan.
“Kami banding karena vonis hakim sangat ringan, kurang dari 2/3 atau 1/2 dari tuntutan kami. Karena sangat ringan hanya satu bulan, makanya kami banding,” tegas Amanda.
Ia berharap upaya banding yang dilakukan Kejari Batam dapat dikabulkan oleh pengadilan tinggi. Paling tidak sesuai dengan tuntutan jaksa yakni 8 bulan.
“Kami berharap hukuman sesuai dengan tuntutan,” tegas Amanda.
Sementara Humas PN Batam, Edi Sameaputty enggan menjelaskan terkait pertimbangan hakim atas vonis satu Erwin Depari satu bulan penjara, meski terbukti bersalah. Menurutnya, ia yang termasuk dalam majelis hakim sebagai hakim anggota perkara Erwin Depari, tak boleh berkomentar.
“Maaf, saya tak bisa komentari, karena ikut menyidangkan,” jelas Edi.
Baca Juga: Kapal Kayu Tenggelam di Batam, Balita jadi Korban
Diterangkan Edi, meski menjabat sebagai humas PN Batam, ia tetap tak bisa berkomentar terkait pertimbangan hukuman Erwin Depari. Alasannya karena ada kode etik.
“Tidak bisa, maaf. Kode etik,” imbuhnya.
Sebelumnya, Erwin Depari, perwira Polda Kepri dinyatakan terbukti bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Batam, Rabu (9/11). Pria berpangkat Aiptu ini pun dijatuhi hukuman 1 bulan penjara karena dinilai terbukti melakukan kekerasan terhadap siswa SPN Dirgantara Batam. Hukuman ini lebih ringan 7 bulan dari 8 bulan tuntutan JPU Abdullah.
Vonis hukuman terhadap Erwin dibacakan oleh majelis hakim yang dipimpin hakim Jeily didampingi dua hakim anggota. Dalam vonis, hakim Jeily mengatakan sependapat dengan JPU, yang mana terdakwa Erwin terbukti bersalah melanggar dakwaan Subsidair Pasal 80 Jo Pasal 76C UURI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Terbuktinya perbuaatan terdakwa bersalah, disimpulkan dari fakta-fakta di persidangan. Mulai dari barang bukti, keterangan saksi hingga terdakwa.
Baca Juga: Penyalur PMI Ilegal ke Malaysia Dituntut 4 Tahun dan Denda Rp100 Juta
Tidak hanya itu, terdakwa Erwin Depari juga diwajibkan membayar restitusi kepada keluarga korban sebesar Rp 14.694.900. Restitusi itu wajib dibayar dalam kurun waktu 14 hari terhitung sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap (Inchra).
Meski dinyatakan bersalah dan vonis 1 bulan, majelis hakim tak memerintah Erwin Depari langsung ditahan (selama proses perkara Erwin tak dilakukan penahanan)
Diketahui, Aiptu Erwin Depari, anggota polisi aktif Polda Kepulauan Riau (Kepri), yang menjabat sebagai pembina di SPN Dirgantara Batam, menjadi tersangka kasus penganiayaan setelah sejumlah orang tua siswa di sekolah tersebut membuat laporan ke Mapolda Kepri.
Erwin Depari ditetapkan sebagai tersangka sudah melalui proses penyelidikan yang cukup panjang dan sesuai prosedur yang berlaku. Penyidik juga telah memeriksa belasan saksi yang terdiri dari saksi ahli, saksi dari psikologi dan 5 orang korban.
Dalam kasus ini, sebanyak 9 orang siswa diduga menjadi korban kekerasan di SMK SPN Dirgantara Batam. Kasus tersebut dilaporkan dan teregister dalam laporan polisi (LP) bernomor LP-B/138/XI/2021/SPKT-Kepri. LP itu dibuat pada 19 November 2021 lalu.
Baca Juga: Polisi Dalami Kapal Kayu yang Tenggelam di Perairan Batam
Kasus serupa pernah heboh di pada tahun 2018 lalu, hanya saja tidak ada ketegasan dari Dinas Pendidikan Provinsi Kepri terkait hal ini. Namun pada tahun 2020, Erwin kembali dilaporkan atas kasus kekerasan, ia kemudian dinyatakan bersalah oleh majelis hakim PN Batam. Dimana Erwin dihukum 4 bulan penjara dengan masa percobaan 8 bulan pada Maret 2021 lalu.
Kini kasus tersebut kembali terjadi usai beredar foto siswa yang diborgol, dirantai pada lehernya serta diikat di ranjang tempat tidur. Di dalam sekolah juga ruangan layaknua penjara. Kasus tersebut mencuat dan dilaporkan oleh sejumlah orang tua siswa ke Mapolda Kepri.
Dalam dakwaan jaksa, Erwin dijerat dengan dakwaan Subsidair Pasal 80 Jo Pasal 76C UURI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan unsur “setiap orang dilarang, menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”.
Atau dakwaan Primair Pasal 80 Jo Pasal 76C UURI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dengan unsur “telah melakukan beberapa kejahatan, setiap orang dilarang, menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”. Erwin juga tidak di tahan, karena ancaman hukuman dalam pasal yang didakwakan dibawah 5 tahun. (*)
Reporter : Yashinta