batampos – Batam sejatinya atau hakekatnya ada wilayah atau kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Namun, aturan yang tumpang tindih dan ego sektoral, mencabut kebebasan dan keluwesan Batam itu.
Hal ini dinilai oleh pakar hukum, Ampuan Situmeang membuat perkembangan Batam tidak maksimal. Selain itu, tumpang tindih regulasi, menjadikan Batam kawasan yang banyak hantu-hantunya.
Salah satu aturan Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB), ada kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang tidak termasuk dalam daerah pabean yang artinya bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), dan cukai.
Baca Juga:Â Dalami Kasus Ballpress, Polda Kepri Koordinasi dengan Kementerian Perdagangan
“Di UU (Undang-Undang) KPBPB (Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas), pasal 1 mengatur demikian memang, barang yg masuk ke-KPBPB tidak dipungut PPN, PPnBm, dan Cukai. Namun, pelaksanaannya beda,” kata Ampuan saat diwawancarai Batam Pos, Sabtu (25/2).
Sehingga hal ini, kata Ampuan, merusak implementasi dan kekhususan Batam sebagai kawasan Free Trade Zone atau Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB).
“Inkonsisten,” ucap Ampuan.
Ampuan menilai, sebagai wilayah FTZ, selain kebutuhan industri, sejatinya barang-barang konsumsi Batam semuanya bebas cukai, termasuk rokok. Tapi faktanya, semakin hari semakin banyak yang tak bebas pajak lagi, padahal daerah FTZ hakekatnya wilayah non pabean.
Baca Juga:Â Amsakar Sambangi KPU Batam, Proses PAW Azhari Secepatnya
Rokok, kata Ampuan, sejak 2019 sudah wajib pakai label cukai. “Ada inkonsistensi aturan di sini,” ujar Ampuan.
Ia mengatakan, memang ada rembesan barang konsumsi tidak kena cukai atau fiskal ke wilayah lainnya di sekitar Batam. Harusnya, rembesan itu bisa dicegah petugas. Ampuan melihat ada hal yang aneh, rembesan tidak bisa dicegah. Malah regulasinya yang diubah.
Harusnya, kata Ampuan, bagaimana meningkatkan pencegahan atas rembesan itu.
Saat ditanya kenapa penyebab aturan yang tumpang tindih dan merusak kekhususan Batam itu. Ampuan menjawab penyebabnya adalah ego sektoral yang tidak koordinatif, tidak kolaboratif antar institusi dan instansi. Baik di pusat maupun daerah.
“Kebijakan yang disepakati melalui Undang-Undang tapi tidak konsisten serta diimplementasikan,” ungkap Ampuan.
Baca Juga:Â Kenakalan Pelajar versi Warga Bengkong: Check-in di Hotel dan Kunjungi Tempat Hiburan
Aturan ini semakin tidak jelas di Batam. Ampuan menilai kini malah ditetapkan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) di dalam KPBPB. “Padahal KEK itu daerah pabean. Sedangkan KPBPB terpisah dari daerah pabean,” ucap Ampuan.
Ampuan menilai, pemerintah pusat menyesali penetapan Batam sebagai KPBP. Makanya, pemerintah pusat terus mendorong titik KEK di wilayah Batam seperti Hang Nadim dan Nongsa Digital Park.
“Meskipun begitu, Batam masih tetap menarik,” ujar Ampuan. (*)
Reporter: FISKA JUANDA