batampos – Rencana kenaikan tarif bongkar muat di pelabuhan kontainer yang dikelola BP Batam sejatinya per 15 Juli ini. Namun, mayoritas pengusaha yang tergabung dalam berbagai organisasi menolak rencana kenaikan tarif itu.
Bahkan, polemik ini tidak hanya ramai dibahas di Batam, tapi bergulir sampai ke pemerintah pusat, setelah para pengusaha sepakat menyurati dan mendatangi Kemenko Perekonomian di Jakarta. Namun, ada juga beberapa pihak yang setuju tarif naik.
Pihak yang menerima kenaikan tarif mengatakan, besaran tarif yang naik itu tidak sebesar di Singapura maupun Tanjungpriok. Tarif yang ditetapkan, masih jauh lebih murah dibandingkan dua lokasi tersebut.
Sedangkan yang menolak, menyatakan kenaikan tarif bongkar muat, berdampak terhadap kenaikan tarif kontainer secara keseluruhan. Sehingga, hal ini tidak elok bagi dunia investasi dan masyarakat luas di Batam.
Dari informasi yang didapat Batam Pos, harusnya tarif bongkar muat itu sudah naik per 15 Juli ini. Namun, sampai saat ini masih menggunakan Peraturan Kepala BP Batam no 27 tahun 2021. Artinya masih menggunakan tarif bongkar muat yang lama.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Batam, Rafki Rasyid, salah satu yang getol menolak rencana kenaikan tarif itu. Ia menilai, kenaikan tarif bongkar muat memberikan dampak besar dan luas bagi Batam.
“Jika dinaikkan, bagi pengusaha akan menambah biaya. Bagi investor, mereka akan meragukan daya saing Batam sebagai daerah investasi. Hal ini menyebabkan daya saing Batam menurun. Lalu, akan berdampak pada perekonomian, serta kenaikan bahan pokok. Selain itu, dapat memicu inflasi yang menggerus daya beli,” ujar Rafki.
Rafki menilai, kenaikan tarif ini terlalu terburu-buru dan tidak disertai kajian yang matang. Jika memang ada kajian mendalam, kata Rafki, BP Batam pasti akan melihat dampak luas dari kenaikan tarif bongkar muat tersebut.
Ia menyampaikan, tarif kontainer dari Tanjungpriok, berbeda sekali dengan tarif dari Batam. Meskipun, Tanjungpriok dan Batam menggunakan sistem berbeda.
“Tanjungpriok port to port, sedangkan Batam door to door,” ujar Rafki.
Saat ditanya tarif ideal kontainer dari Batam tujuan Singapura, Rafki menyebut, tarif tahun 2020 diturunkan 50 persen, itulah seharusnya angka idealnya.
“Bisa meningkatkan daya saing di Batam dan masuknya investor,” tuturnya.
Saat negara tetangga memberikan kemudahan akan investasi, Batam, kata Rafki, malah menaikkan tarif bongkar muat.
Rafki mengatakan, alasan lainnya adalah pengusaha baru bisa bernapas lega usai pandemi Covid-19.
“Timing-nya belum tepat, dan perlu pengkajian yang lebih matang,” katanya.
Seharusnya, BP Batam yang memiliki komitmen mendatangkan investor ke Batam, dapat menciptakan tarif yang efisien dan kompetitif.
Apindo dan Kadin Kepulauan Riau, sudah menyatakan keberatan atas kenaikan tarif ini ke Kemenko Perekonomian.
“Respon Kemenko (atas pelaporan itu), akan dibicarakan kembali. Selain itu, Kemenko akan mengajak asosiasi dan BP Batam musyawarah membahas tarif ini nantinya,” ujar Rafki.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kepulauan Riau (Kepri), Akhmad Ma’ruf Maulana, tak kalah getolnya. Ia menolak keras rencana kenaikan tarif tersebut.
“Yang jelas akan terjadi kenaikan harga kebutuhan bahan pokok dan bahan baku industri. Karena, di Batam bahan pokok dan bahan baku industri mayoritas didatangkan dari luar, yang akan selalu melewati pelabuhan dengan menggunakan kontainer,” tutur Ma’ruf.
Ia mengatakan, biaya kontainer setiap tahun naiknya kurang lebih 10 persen. Tarif bongkar muat menyumbang sekitar 3 sampai 4 persen dari total keseluruhan biaya kontainer.
“Rencana kenaikan tarif bongkar muat, maka tarif kontainer akan naik. Seharusnya, keberadaan STS crane tarif harus lebih murah daripada crane konvensional,” katanya.
Ma’ruf mengatakan, dengan tarif kontainer yang mahal, Batam tidak akan menjadi pilihan investor. Tempat lain, lanjutnya, pelabuhan-pelabuhannya jauh lebih efisien, karena sarana prasarananya sangat memadai.
“Penyesuaian tarif ini memberi dampak kenaikan harga, dengan beralasan peningkatan layanan. Seharusnya BUP memang wajib melayani karena Pelabuhan Batuampar itu BLU (Badan Layanan Umum), sebaiknya BUP selaku regulator harusnya bisa menekan biaya kepelabuhan yang tinggi,” tuturnya.
Hal senada dikatakan Wakil Ketua Kadin Kepri, Martin Tandirura. Menurutnya, para pelaku usaha selaku user atau pengguna jasa kontainer setuju saja kalau memang tarif bongkar muat kontainer dinaikkan BP Batam, asalkan bisa berbanding lurus dengan kenyamanan dan kecepatan dalam aktivitas bongkar muat.
Faktanya di lapangan, lanjut Martin, antara biaya yang sudah ditetapkan BP Batam selaku pemilik fasilitas dengan pihak pengelola dalam hal ini agen kontainer, sangat timpang. Biaya bongkar muat barang kontainer di pelabuhan, jauh lebih mahal hingga empat kali lipat dibandingkan biaya yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini BP Batam.
“Semisal saja biaya LOLO atau Lift On Lift Off yakni kegiatan bongkar muat kontainer yang ada di kegiatan impor dan ekspor melalui jalur laut, biaya yang ditetapkan BP Batam hanya sekitar Rp 290 ribu, namun di lapangan melalui agen, kami harus membayar sebesar Rp 800 ribu lebih atau hampir empat kali lipatnya biaya resmi,” ungkapnya.
Belum lagi harus menunggu pada post clearance, tempat importir yang telah menerima Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) barulah importir dapat mengeluarkan barang dari terminal.
“Kalau ternyata SPPB tak bisa keluar cepat, kami harus menanggung biaya chasis, yakni barang kami harus ditarik oleh kendaraan menuju gudang persero menunggu antrean, dan itu biaya tidak sedikit loh,” ujarnya.
Tak sampai di situ, pengguna jasa kontainer seperti pengusaha juga masih menanggung biaya sewa gudang sebelum barang bisa dibawa keluar dari pelabuhan.
“Cost itulah yang membuat para pengusaha menjerit, yang berdampak langsung pada harga barang jadi mahal di masyarakat. Muaranya sektor usaha di Batam jadi tak kompetitif, dan itu otomatis adanya dan faktanya,” ujar pria kelahiran Makassar ini.
Mau tak mau akhirnya para pengguna jasa kontainer harus menggunakan cara langsung door to door ke owner atau pemilik kontainer. Namun di lapangan, kontainer tersebut di owner selalu tak ada atau kehabisan.
“Lucunya lagi, begitu kami lari ke agen yang beroperasi di pelabuhan, kontainer itu selalu tersedia, tak pernah ada istilahnya kehabisan. Ini kan aneh,” terangnya.
Permasalahan terkait banyaknya cost dan panjangnya proses bongkar muat kontainer di pelabuhan di Batam, diakui Martin sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu hingga saat ini tak kunjung ada yang mampu meluruskan dan memperbaikinya.
Ia juga mengungkapkan, proses bongkar muat barang kontainer di pelabuhan itu tak ada pengawasan dari pemerintah secara serius dan tegas. Hal ini membuat timbul biaya tambahan membengkak yang harus ditanggung pengusaha atau pengguna jasa kontainer.
Menurutnya, persoalan kontainer tak bisa disamakan dengan penumpang yang begitu turun dari kapal yang bisa langsung jalan sendiri tanpa harus melalui persyaratan lainnya.
“Sedangkan berbicara kontainer itu panjang prosesnya, ada jaminan nggak dari pemerintah, kalau dibilang mahal tak mahal itu relatif,” ujarnya.
Terkait persoalan atau polemik biaya bongkar muat barang kontainer di Pelabuhan Batam yang sulit diurai dan dibenahi siapapun pemerintahnya, sudah seringkali diadukan para pengusaha di Batam ke kementerian terkait, seperti Sesmenko Perekonomian. Namun, jawabannya sama saja, hanya bisa mencatat permasalahan saja, mengumpulkan permasalahan saja tanpa ada penyelesaian konkrit sama sekali.
“Penyakitnya dari dulu terkait aktivitas dan biaya bongkar muat barang kontainer di pelabuhan Batam sama, karena ada pihak-pihak kuat di tengah-tengah antara pengguna jasa kontainer yakni pengusaha dan pemerintah yakni BP Batam. Siapa pihak kuat yang dimaksud, misalnya saja pemilik kontainer, ataupun pihak agen di lapangan,” ujarnya.
Pihak pemerintah, lanjut Martin, selalu mengatakan hal itu adalah business to business (B to B) tanpa mau tahu fakta di dalamnya. Persoalan terkait kontainer itu klasik sejak dulu sampai sekarang dan belum ada yang bisa mengurai meski pemerintah sekalipun.
“Apalagi saat ini muncul biaya pemotongan sill yang dulunya kami potong sendiri tanpa ada biaya, sekarang ini wajib pakai agen sekali potong Rp 250 ribu. Sekarang pertanyaannya tahu nggak direktur BP akan hal itu, sekarang peran regulatornya seperti apa di BP ini, jalan nggak. Praktik itu kelihatan semua loh, ini bicara fakta dan data,” ungkapnya.
Pelaku industri galangan kapal di Batam juga ikut protes. Apalagi situasi industri galangan kapal yang baru saja membaik pasca dihantam wabah pandemi Covid-19 akan kembali terpengaruh jika kebijakan ini tetap diberlakukan. Pengusaha galangan kapal berharap pemerintah mendukung kemajuan industri galangan kapal di Batam dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak memberatkan pengusaha.
Direktur PT Banda Abadi Batam Maslina Simajuntak juga menyampaikan keluhan yang sama. Imbas kebijakan ini tentu akan langsung dirasakan dengan proyek pengerjaan kapal yang sedang dalam proses pengerjaan saat ini.
Penyesuaian tarif bongkar muat peti kemas ini tentu berdampak dengan naik biaya pembelian ataupun pengadaan komponen pembuatan kapal yang juga akan disesuaikan. Artinya ini akan memberatkan dunia industri galangan kapal.
“Kami anggota BSOA juga dan seperti yang disampaikan BSOA itu, tentu memberatkan kalau kebijakan itu diterapkan,” ujar Maslina.
Kenaikan tarif peti kemas ini tentunya juga akan jadi pertimbangan pihak pengusaha untuk menyesuaikan tarif atau draf pembuatan kapal, agar sesuai dengan pengeluaran biaya pengadaan barang atau komponen yang naik akibat tarif baru bongkar muat peti kemas tadi.
Ketua DPP Iperindo Anita Puji Utami juga angkat bicara. Menurutnya, dengan adanya kebijakan baru tentang kenaikan tarif bongkar muat kontainer ini, tentu akan membuat pengusaha galangan kapal men-draf ulang biaya pembuatan kapal.
“Akan kami draf ulang agar tarif pembuatan kapal sesuai dengan pasaran internasional saat ini,” ujar Anita.
Sementara itu, Ketua DPC Iperdindo Kepri Ali Ulai belum memberikan statemen. Namun, sebelumnya dia berharap agar apapun kebijakan pemerintah hendaknya tidak berbelit-belit dan menyusahkan pengusaha.
“Galangan kapal yang mulai membaik hendaknya didukung dengan kebijakan yang lebih mudah,” ujarnya.
Pandangan berbeda muncul dari Ketua Aliansi Maritim Indonesia (ALMI), Osman Hasyim. Ia mengatakan, biaya handling atau bongkar muat di Batam lebih murah dibandingkan di Singapura. Bahkan, juga lebih murah dibandingkan Tanjungpriok.
“Handling di Batam lebih murah empat kali, di Tanjungpriok satu setengah kali lebih murah. Tanjungpriok itu biayanya Rp 1,3 juta, Batam hanya Rp 603 ribu,” sebutnya.
Osman mengatakan, seminggu lalu dia membayar biaya bongkar muat kontainernya sebesar Rp 1,5 juta. Jika menggunakan aturan yang baru nantinya, Osman mengaku hanya membayar Rp 603 ribu saja.
“Jauh lebih murah,” tuturnya.
Ia juga mengatakan, kemajuan Batam harus berbarengan dengan memajukan pelabuhan. Agar percepatan pelabuhan di Batam, maka menurut Osman wajar pihak pengelola Pelabuhan Batuampar mendapatkan pendapatan yang layak.
“Pemerintah melakukan investasi, tidak boleh terus menerus defisit. Jika mendapatkan pendapatan yang cukup, tentu meningkatkan pengembangan pelabuhan. Jika meningkatkan pelabuhan, meningkatkan prasarana. Sehingga rentetannya menjadi peningkatan pelayanan,” ujar Osman.
Oleh sebab itu, Osman mengaku mendorong BP Batam mengelola pelabuhan secara profesional.
Atas problem tarif bongkar muat ini, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, mengatakan, sampai saat ini belum ada kenaikan tarif.
“Masih menggunakan tarif yang diatur dalam Perka 27 tahun 2021 jo Perka 34 tahun 2021,” ujar Ariastuty.
Ia mengatakan, dibandingkan dengan pelabuhan lain (Jakarta, Surabaya, Medan), tarif di Pelabuhan Batuampar masih masih lebih murah,” tuturnya.
Tuty mengatakan, tarif bongkar muat bukanlah variabel dominan atau utama yang memengaruhi tarif logistik. Ada beberapa item lainnya, yang memengaruhi tarif bongkar muat.
Atas rencana kenaikan tarif bongkar muat itu. Tuty mengatakan, penentuannya melibatkan asosiasi kepelabuhanan terkait di Batam. (*)
Reporter: Tim Batampos