Senin, 25 November 2024

Mencari Titik Terang di Pulau Rempang

Berita Terkait

spot_img
Warga Sembulang, Awang Cik menunjukan bukti pembayaran PBB atas kepemilikan tanah dan bangunan yang ditempatinya di Tanjungbanun, Sembulang, Rempang, Jumat (22/9). F Dalil Harahap/Batam Pos.

“Rumah itu saya bangun dari hasil memancing. Bukan hasil menipu orang. Makanya, setiap malam saya peluk tembok-tembok rumah itu. Saya berbicara dengan tembok itu, saya tak mau berpisah denganya. Ya tuhan, tolong jangan sampai kami direlokasi,” ujar pria itu.

FISKA JUANDA, Rempang


Rumah itu bercat hijau telur itik. Rumah sederhana, hanya memiliki dua bilik saja. Rumah itu, dibangun dari jerih payah seorang nelayan. Namanya Yudith bin Kamis bin Musa. Dia warga asli Sembulang, Rempang. Sudah bermalam-malam kebingungan atas situasi yang dialaminya saat ini.

Tak jauh dari rumah tersebut, ada pemakaman umum warga Sembulang. Di pemakaman itu, Batam Pos bertemu dengan Yudith bin Kamis bin Musa, 54, akhir Otober 2023.

Sembari membersihkan makam ayahnya, Kamis bin Musa, Yudith bercerita mengenai pertama kali mendengar informasi mengenai relokasi Sembulang.

“Beberapa bulan lalu, saya menginap di Batam. Lalu, karena sudah empat malam di rumah anak, saya ingin tengok sampan (di Sembulang). Saat balik itulah salah satu kerabat membicarakan relokasi,” kata Yudith.

Perbincangan dengan kerabatnya itu, membuat Yudith kaget. Karena, dirinya harus keluar dari Sembulang.

“Kaget saya. Tumpah darah saya di Sembulang,” ujar Yudith.

Sejak masa kakeknya, ayahnya hingga dirinya, Yudith sudah menetap di Sembulang. Sehingga, sangat sulit baginya untuk pindah dari Sembulang.

“Keturunan kami sudah tinggal di sini, bahkan sebelum Indonesia ini merdeka,” ucap Yudith.

Ia mengaku, nama Sembulang diberikan oleh nenek moyangnya. Sembulang berasal dari burung elang yang ramai berumah kawasan itu. “Elang ini makan dan tidur di sana, sampai sumbunya berbau. Makanya disebut sumbu burung elang. Lama kelamaan disebut Sembulang,” tutur Yudith.

Sejak soal relokasi diketahuinya tiap malam tidurnya tak nyenyak.

“Saya bertanya-tanya apa salah saya. Sebab, rumah itu saya bangun dari peluh hasil memancing. Saya setiap malam seperti orang bingung,” ujarnya.

Yudith meminta, agar tidak direlokasi. Sebab, sejak nenek moyangnya sudah berada di Sembulang.

“Tempat lahir, budaye kami di sini,” tuturnya.

Hal senada disampaikan Amlah. Nenek itu mengaku lahir tahun 1918. Berarti usianya sudah 105 tahun. Kepada Batam Pos, Amlah mengatakan, sudah berada di sini sejak lama.
Ia mengaku, berkerabat dengan Batin Bidin (tokoh masyarakat Rempang zaman dahulu).
“Aku besar di sini, aku lahir di sini, kebunku di sini,” tuturnya.

Soal relokasi, Amlah baru tahu setelah ada ribut-ribut demonstrasi pada 7 September. Sebelum itu, Amlah tidak mengetahui, tanah yang ditempatinya bukan lagi miliknya.

Amlah pasrah, dengan kondisi saat ini. Ia hanya meminta, agar anaknya selamat.

“Tanah lahir di sini, kalau tak dapat. Apa boleh buat. Doa aku selamat sajalah,” tuturnya.
Hal yang sama disampaikan Nur Aini. Warga Pasir Panjang ini mengaku, tidak ingin direlokasi. Karena, sudah lahir dan besar di Pasir Panjang.

“Kepada Pak Jokowi, kalau dapat tempat kami janganlah direlokasi. Sebab, ini sudah jadi sejarah nenek moyang kami. Abad ke abad, sampai anak cucu,” kata Nur Aini.

Ia tidak dapat membayangkan hal ini terjadi. Pasir Panjang sudah terpatri dalam sanubarinya
“Tak tahu lagi nak ngomong ape. Kalau bisa Pak Jokowi, minta tolonglah kami. Mohon kebijaksanaan bapak,” tutur Nur Aini.

Nur Aini tidak dapat membayangkan, jika tinggal di rusun. “Tak tahu lagi nak ngomong ape (apa),” ujarnya.

Yudith maupun Nur Aini bukanlah masyarakat yang menolak investasi. Namun, mereka menolak untuk direlokasi.

***

Salah satu pelaku sejarah dari masuknya PT Makmur Elok Graha (MEG) untuk mengelola Rempang, Taba Iskandar yang juga mantan Pimpinan DPRD Kota Batam tahun 2004 itu mengatakan, awal mula proyek ini adalah amanat Perda nomor 3 tahun 2003 tentang pariwisata.

Kawasan Rempang dulunya akan dikembangkan bersama oleh Pemerintah Kota (Pemko) Batam dan Badan Pengusahaan (BP) Batam.

“Dulu konsepnya tidak seperti ini. Mau dibuatkan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE),” ujar Taba saat ditemui Batam Pos beberapa waktu lalu.

DPRD Batam kala itu membuat rekomendasi dan kajian dalam rangka pengembangan kawasan Rempang sebagai KWTE.

Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan PT MEG saat itu. Salah satunya keberadaan kampung tua atau permukiman yang sudah turun temurun.

“Tidak boleh menggusur atau menghilangkan kampung tua,” tuturnya.

Namun, dalam perjalanannya, pengembangan KWTE Rempang tidak pernah terealisasi. “Sudah banyak rencana-rencana untuk rempang,” kata Taba.

Pernyataan Taba ini sesuai dengan data yang dimiliki Batam Pos. Wacana pengembangan Rempang ini, bahkan sudah direncanakan sebelum 2004.

Dari catatan Batam Pos 17 Mei 2002, Menteri Negara Riset dan Teknologi yang kala itu dijabat Ir M Hatta Rajasa menyampaikan, rencana pembangunan Bio Island di Rempang. Kala itu, Hatta menjelaskan, Rempang akan menjadi pusat pengembangan bioteknologi.

Lahan seluas 600 hektare disiapkan di pulau tersebut. “Jadi proyek nasional (Bio Island Rempang) ini, untuk meningkatkan devisa negara,” kata Hatta Rajasa saat itu di Hotel Melia Panorama.

Pengembangan Rempang ini bak gayung bersambut. Ketua Badan Otorita Batam (BP Batam saat ini) yang kala itu dijabat Ismeth Abdullah mengatakan, konsep bio island adalah pengelolaan lingkungan, tanpa merusak habitatnya.

Kala itu (Mei 2022), Ismeth mengatakan, ada empat investor asal Singapura menyatakan kesediaannya, untuk membangun bio island di Rempang. Pengembangan bio island ini disebut investasinya senilai 991 juta Dolar Amerika.

Salah seorang investor yang akan masuk saat itu, Sani Chia menyatakan, kesiapan juga membangun masyarakat hinterland.

Namun, konsep bio island ini hilang dengan sendirinya, tanpa ada kepastian yang jelas. Usai itu, barulah masuk MEG dengan konsep KWTE. Karena terkendala hutan buru, konsep KWTE juga tidak ada kepastian.

Barulah pada 2022, terdengar kembali pengembangan Rempang.

Dari data yang dikumpulkan Batam Pos, proses pengembangan Rempang ini cukup cepat. Warga Rempang mendengar isu pengembangan Rempang ini di akhir tahun 2022.

Isu awalnya hanya sekedar perbincangan di warung kopi. Namun, isu ini bertambah kencang di Januari 2023. Saat itu, Wali Kota Batam, Muhammad Rudi menyampaikan tidak ada program Pembangunan Sarana dan Prasarana Kelurahan (PSPK) di Rempang Cate dan Sembulang.

Tidak ada alasan jelas, tidak dikucurkannya PSPK. Hal itu makin membuat isu pengembangan Pulau Rempang semakin kencang.

Dari Januari hingga awal April, tidak ada penjelasan dari pemerintah soal investasi Rempang. Masyarakat hanya mendengar isu, tanpa ada kepastian yang jelas.

Kepastian pengembangan Pulau Rempang, baru didapat setelah Kemenko Perekonomian meluncurkan rencana pengembangan Rempang Eco City, 12 April 2023. Saat itu, disampaikan, nilai investasi Rp381 triliun dan akan menyerap 306.000 tenaga kerja.

Pernyataan itu juga diperkuat enteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia.

Pada 21 Juli 2023, BP Batam, Pemko, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepri, Kejaksaan dan Kepolisian Daerah (Polda) Kepri menggelar pertemuan dengan masyarakat Rempang-Galang.

Kegiatan ini adalah sosialisasi pertama, sejak isu pengembangan Pulau Rempang berbulan-bulan bergulir di masyarakat.

Paparan tentang Rempang Eco City disampaikan Direktur Pengamanan Batam, Status lahan dijelaskan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kepri. Saat itu, warga merespons dengan menyatakan sikap menolak rencana penggusuran.

Sepanjang Juni 2023, warga mulai didatangi tim terpadu di rumah-rumah. Warga banyak terima undangan klarifikasi terkait lahan yang mereka tempati.

Ketegangan di Pulau Rempang semakin meningkat. Pada 13 Agustus 2023, warga menggelar doa bersama dan zikir. Saat itu, beredar isu Ketua Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Gerisman Ahmad akan dijemput paksa oleh polisi. Saat bersamaan, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia datang ke Rempang, disambut warga dengan spanduk menolak penggusuran di sepanjang jalan.

Tim terpadu mulai merangsek masuk ke Pulau Rempang, 21 Agustus 2023. Namun, warga menghadang tim terpadu di Jembatan 4 Barelang. Tim Terpadu mundur. Sehari kemudian, 22 Agustus 2023, Wali Kota Batam atau Kepala BP Batam, Muhammad Rudi datang ke Rempang.

Aliansi Pemuda Melayu mengadakan aksi demonstrasi damai di Kantor BP Batam, 23 Agustus 2023. Sepanjang aksi, berlangsung lancar dan tertib.

BP Batam menggelar pertemuan di Harmoni One Hotel, menghadirkan warga Rempang pada 6 September 2023. Tapi, sebagian besar Warga Rempang tidak hadir.

Tim terpadu kembali mencoba masuk ke Pulau Rempang, 7 September 2023. Warga mengadang tim terpadu masuk. Sehingga, bentrok antara tim terpadu dan masyarakat Rempang terjadi. Akibat kejadian itu, delapan orang ditangkap.

Kejadian ini juga menyebabkan, 16 anak sekolah masuk rumah sakit akibat gas air mata.
Saat bisa masuk ke Pulau Rempang pada 8 September 2023, tim terpadu membangun tujuh titik posko di Pulau Rempang.

Pada 10 September 2023, ada wacana demonstrasi. Namun, Aliansi Pemuda Melayu membatalkan rencana aksi. Saat itu, Wali Kota Batam dan Kapolresta Barelang menjanjikan penangguhan penahanan pada delapan tersangka pada aksi 7 September.

Sehari kemudian, 11 September 2023, demonstrasi di BP Batam berlangsung. Namun, demo berakhir ricuh di Gedung BP Batam. Beberapa aparat dan pendemo terluka. Akibat demo yang ricuh ini, sebanyak 43 orang ditangkap, 35 diantaranya ditetapkan sebagai tersangka.

Meskipun berbagai upaya hukum dilakukan oleh lembaga bantuan hukum, sampai saat ini 35 orang tersebut masih ditahan. Sedangkan, delapan orang menjalani wajib lapor.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Mawar Saron, Mangara Sijabat membenarkan, ada puluhan warga masih ditahan oleh kepolisian. Lalu, delapan orang, masih menjalani wajib lapor 2 kali seminggu.

Sebagai bagian dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional, Mangara mengaku, sudah meminta pihak-pihak terkait agar melakukan restorative justice kepada orang-orang tersebut. Mangara mengatakan 43 orang tersebut hanya warga biasa yang ingin mempertahankan haknya serta orang-orang yang bersimpati atas penggusuran masyarakat di Rempang.

Mangara menjelaskan, dari kasus demonstrasi 7 September 2023 di Jembatan IV Barelang, ditetapkan delapan tersangka. Kasus ini ditangani di Polresta Barelang. Meskipun delapan orang ini telah dibebaskan, namun mereka harus menjalani wajib lapor.

“Sehingga hal ini mengganggu aktivitas bekerja mereka, terkait hal tersebut kami dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, dari awal meminta agar perkara mereka dihentikan oleh penyidik demi hukum. Hal itu juga telah kami mohonkan secara tertulis ke Polresta Barelang tanggal, 6 Oktober 2023,” kata Mangara.

Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang menilai, penetapan tersangka terhadap mereka tidaklah tepat dan layak untuk dihentikan penyidikannya. Sehingga status delapan tersangka ini gugur.

Lalu, terkait dengan demo di depan Kantor BP Batam, 11 September 2023, tim advokasi telah mengajukan pra peradilan. Ia mengatakan, harapan tim advokasi harusnya permohonan tersebut, tidak ada alasan secara hukum untuk ditolak oleh hakim.

“Pra peradilannya ditolak hakim. Harapan kami tinggal menunggu sidang pembuktian pokok perkaranya, setelah nanti penyidik melimpahkan perkaranya ke Kejaksaan,” ujarnya.

Ia berharap, para tersangka ini keluarkan saja dari tahanan, dan mendaoatkan restorative justice. “Kasihan juga mereka rata-rata tulang punggung keluarga,” tuturnya.

Beberapa waktu lalu, Kasat Reskrim Polresta Barelang, Kompol Budi Hartono menyatakan, penetapan 35 tersangka sudah sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). Termasuk di antaranya melengkapi alat bukti dan menggelar perkara.

“Kami yakin, apa yang kami kerjakan sudah sesuai SOP,” ujarnya.

***

Batam Pos mengonfirmasi pernyataan warga Rempang, yang menyatakan sudah turun temurun tinggal di Rempang ke peneliti di Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Arman.

Saat diwawancara, 18 November 2023 di Graha Pena Lantai III, Dedi membenarkan klaim dari beberapa warga Rempang itu.

Ia mengatakan, dari literatur beberapa tulisan telah menyebutkan ada manusia di Rempang, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Adanya manusia di Pulau Rempang, tercatat dalam jurnal Elisa Netscher berjudul, beschrijvinge van een gedeerlte der residentie riouw. Tulisan pegawai Hindia Belanda ini, berlatar belakang tahun 1849. Di tulisan itu, Elisa menyebutkan, ada dua tokoh orang darat (suku asli di Rempang) menghadap Residen Riau.

Jurnal itu menyebutkan di Rempang tidak hanya dihuni orang darat saja. Namun, juga masyarakat Tionghoa, Mayu dan Bugis. Dedi menuturkan, masyarakat Tionghoa memiliki loji perkebunan gambir.

Di loji-loji itu mereka mempekerjakan orang Melayu dan Bugis. “Saat itu di Kepri banyak bangsal gambir. Salah satu yang terbesar di Rempang,” tutur Dedi.

Tak hanya dari laporan Elisa saja. Rempang juga disebut dalam laporan J.G Schot, de Battam Archipel tahun 1882. Tulisan J.G Schot, kata Dedi, sangat merinci suku-suku yang tinggal di Batam, termasuk di Rempang.

Tulisan ini juga membagi wilayah di Batam. JG Schot menjelaskan siapa yang memerintah di tiap wilayah. Saat itu wilayah Rempang, pusat pemerintahannya di Pulau Buluh.

“JG Schot menyebut ada orang darat (Rempang), orang Mukakuning, orang Sekanak dan orang Galang. Klasifikasi JG Schot terkait dengan suku-suku laut yang ada di Batam,” tutur Dedi.

Rempang kembali disebut dalam laporan P Wink (Controleur Onderafdeeling Tanjungpinang). Di dalam laporannya berjudul verslag van ee bezoek aan de orang darat van Rempang, P Wink mencatat nama-nama orang darat yang bermukim di Rempang.

“Laporan P Wink sangat detail soal Rempang,” tuturnya.

Setelah kemerdekaan, Rempang kembali ditulis oleh Has Kahler (peneliti asal Jerman) tahun 1960. Hans menulis mengenai riset etnografi dan linguistik.

Dari berbagai literatur, Dedi mengatakan, saat orde baru di media 1970-an ada program memukimkan suku laut. Rempang menjadi salah satu wilayah, yang memukimkan suku laut.

“Mereka di resettlement (dimukimkan), bangun rumah dan sekolah. Ada beberapa tulisan mencatat itu, salah satunya laporan Pak Rida K Liamsi di Majalah Tempo tahun 1975,” tuturnya.

Dedi membenarkan, cerita-cerita orang asli Rempang, yang menyatakan memiliki sejarah panjang di pulau tersebut. Ia mengatakan, dari berbagai literatur disebutkan juga ada Temenggung di Pulau Bulang.

“Pulau itu tak jauh dari Rempang. Temenggung adalah penguasa laut, dan memiliki bala tentara di Rempang dan Galang. Ada beberapa laporan Belanda yang memperkuat hal ini,” tuturnya.

Secara administrasi Rempang awalnya masuk dalam Kabupaten Kepri. Lalu, begitu Kota Batam berdiri otonom tahun 1999, yang sebelumnya hanyalah kota administratif saja.

“Jika ada yang klaim Rempang bukanlah daerah tak berpenghuni, klaim itu tak sesuai dengan literatur sejarah,” tuturnya.

Bahkan di Rempang, sudah ada surat penguasaan lahan yang ditandatangani oleh camat (perwakilan pemerintah). Tentunya, penguasaan lahan di Rempang dinyatakan legal.

“Camat adalah bagian dari pemerintah itu sendiri, yang membantu melegalkan kepemilikan tanah masyarakat,” tuturnya.

Dari arsip yang didapat Batam Pos, Surat Keterangan Tanah ini dikeluarkan tahun 1984. Dalam surat itu secara jelas disampaikan batas-batas serta luas tanah. Surat itu ditandatangani oleh dua orang yakni Kepala Desa Sembulang Amin Bujur dan Camat Galang Drs Zainal Arifin Paderan.

Bahkan Batam Pos mendapatkan arsip kepemilikan tanah di Rempang bertanggal 22 Juli 1965. Surat tanah ini juga menjelaskan batas wilayah. Surat ini ditandatangani oleh dua orang yakni kepala kampung dan Wedana Bintan Selatan. Surat ini dibubuhi tanda tangan basah dan tiga materai.

“Ada sejarah panjang di Rempang,” ujarnya.

Dedi mengatakan, Rempang dulunya tidak memiliki kedekatan dengan Batam, namun, dekat dengan Tanjungpinang. Orang-orang di Rempang bersekolah di Tanjungpinang. Makanya, Pelabuhan Sembulang di Rempang memiliki peranan penting.

“Pelabuhan Sembulang menghubungkan orang Rempang dengan Tanjungpinang,” ucapnya.

Hal ini tak bisa ditepikan atau dihilangkan. Saat ini, dengan adanya proyek Rempang Eco City, BP Batam harus memiliki kajian yang tepat dan solusi terkait warga Rempang.

Sebab, Rempang bukanlah daerah kosong tanpa manusia, namun, Rempang adalah daerah yang sudah dihuni sejak zaman pemerintahan Kerajaan Riau Lingga.

Dedi melihat, dengan kebijakan relokasi atau pergeseran, perlu ada kajian matang soal dampak sosial dan budaya. Sebab, orang yang akan direlokasi, bukanlah tinggal setahun atau dua tahun saja.

“Mereka orang-orang yang memiliki sejarah panjang. Sehingga, keterikatan batin atas tanah leluhur itu sangat luar biasa,” tuturnya.

Menurut Dedi, BP Batam harus membedakan masyarakat yang sudah tinggal dalam waktu lama, dengan yang baru tinggal di Rempang saat mengambil keputusan.

“Bedakan orang asli dengan pendatang,” ujarnya.

***

Terkait kepemilikan tanah yang turun temurun di Rempang, mantan Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Tjahjo Arianto ikut berkomentar.

Lektor Magister dan Doktor Teknik Geomatika Universitas Gadjah Mada itu menyebutkan, Rempang bukan hal yang baru baginya. Saat masih aktif menjadi dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Tjahjo sudah dua kali ke Rempang. “Tahun 2015 dan 2016,” kata Tjahjo, saat diwawancarai Batam Pos, Selasa (21/11).

Dari penelitiannya saat itu, terungkap bahwa di Rempang dan sekitarnya sudah banyak bermukim masyarakat.

“Turun temurun mereka di sana. Fakta turun temurun kepemilikan ini, tidak bisa dibantah oleh siapapun,” ujarnya.

Ia mengatakan, negara tidak dapat memaksa melakukan relokasi terhadap masyarakat yang sudah menguasai lahan turun temurun. “Diakui negara. (Jika negara ingin menguasai) harus diganti,” ujarnya.

Dalam tulisannya, Tjahjo mengatakan, apabila tanah masyarakat Kampung Tua ingin digarap, masyarakat harus rela dengan tersenyum melepas tanahnya, sehingga, mereka merasa tidak ganti rugi, tetapi ganti untung, seperti penggantian tanah tol yang terjadi di Pulau Jawa.

“Di Jawa, sudah dilakukan itu. Banyak masyarakat merasa senang, tidak ada pemaksaan. Karena, ganti untung,” tuturnya.

Selain tanah tempat berdirinya rumah, tanah garapan masyarakat seperti kebun atau lading, semua tanaman di kebun juga harus diganti oleh pemerintah. “Saya kira masyarakat mau jika digeser sedikit, tapi mendapatkan ganti untung,” ujarnya.

Mantan Kepala Kantor Pertanahan Surabaya 2008-2009 mengatakan pemerintah seharusnya tidak memperlakukan masyarakat Rempang sama, sebab, dari data yang dimilikinya, tak semua orang di Rempang, tinggal secara turun temurun di sana.

“Harus ada kebijakan khusus, bagi yang turun temurun dengan mereka yang baru. Bedakan kepemilikan turun temurun dan mereka menduduki HGU Hutan,” ujarnya.
Tjahjo permasalahan di Rempang, sangat sederhana penyelesaiannya. “Saran saya, ganti untung. Itu saja,” tuturnya.

Sementara itu, Pakar Hukum dan Akademisi, Ampuan Situmeang menilai, carut marut penanganan investasi di Rempang akibat adanya miskomunikasi. Ampuan sepakat dengan pernyataan Presiden Jokowi.

“Kalau presiden sudah ngomong begitu, artinya tinggal memperbaiki komunikasi yang keliru itu saja. Memang butuh proses,” tuturnya.

Terkait wilayah kerja BP Batam, awal mulanya hanya Pulau Batam, namun, dengan berkembang pesatnya industri di Batam, ada penambahan wilayah kerja BP Batam.
Berdasarkan Keppres 28 tahun 1992, wilayah kerja BP Batam juga di Rempang dan Galang. Ampuan membenarkan, hal tersebut.

“Rempang menjadi wilayah kerja Otorita Batam, yang kemudian beralih menjadi BP Batam. HPL-nya akan diberikan pemerintah, namun butuh tahapan dan proses,” tuturnya.

Meskipun BP Batam memiliki pegangan atas wilayah Rempang dan Galang berdasarkan Keppres 28 tahun 1992, Ampuan menilai tanah Rempang atau Galang langsung dikuasai BP Batam.
Ia mengatakan, kepemilikan lahan masyarakat Rempang dilindungi oleh hukum. Bahkan, semua hak-hak masyarakat Rempang, tidak dapat diabaikan begitu saja.

“Cuma proses dan prosedurnya (wilayah Rempang sepenuhnya dikelola BP Batam) memang berliku-liku. Inilah yang membutuhkan komunikasi itu,” tuturnya.

Keppres 28 tahun 1992, kata Ampuan juga tidak dapat membuat BP Batam dapat memaksa masyarakat Rempang keluar atau pindah dari wilayah yang mereka tempati sejak turun temurun.

“Pemaksaan itu tidak dibenarkan oleh hukum,” ujarnya.

Ampuan mengatakan, perlindungan hukum terhadap masyarakat Rempang harus dijamin oleh negara. Keppres tidak bisa menjadi alasan memaksa. “Presiden sudah menyatakan untuk memperbaiki komunikasi dengan masyarakat,” tutur Ampuan

Kepada semua pihak yang terlibat di konflik Rempang, BP Batam maupun aparat dan juga masyarakat, ia berpesan agar selalu menaati hukum yang berlaku.

“Kesimpulan rapat di Komisi VI DPR RI tempo hari sudah ada. Itu saja ditindaklanjuti, sekalipun memang tidak mudah melaksanakan kesimpulan rapat itu. Namun itu sudah menjadi kesepakatan saat itu di Komisi VI DPR RI,” ujarnya.

Salah satu simpulan dalam rapat itu adalah meminta Kementerian Investasi dan BP Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam membuat skema penyelesaian masalah lahan di Pulau Rempang secara menyeluruh yang bisa diterima semua pihak.

Sosialisasi, pendataan dan pendaftaran masyarakat terdampak dilakukan secara humanis, dengan melibatkan tokoh masyarakat serta aparat pemerintah daerah. Kemudian implementasi dalam mengundang investor asing ke Indonesia menggunakan azas equal treatment.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Riau, Boy Ferry Evan Sembiring melihat dari kacamata yang berbeda atas konflik Rempang. Ia mengatakan, pembangunan Rempang Eco-city merupakan kebijakan utama, yang memicu konflik di Pulau Rempang-Galang.

Apalagi saat Rempang Eco City masuk Proyek Strategis Nasional (PSN). Dalam prosesnya, proyek ini juga dimulai dari awal yang tidak partisipatif dan tidak dialogis. “Wajar penolakan masif terus terjadi,” tuturnya.

Boy mengatakan, BP Batam masih belum memiliki dasar legalitas yang jelas yakni Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Menurut Boy, BP Batam tidak memperhatikan aspek histori dari penguasaan tanah dan riwayat masyarakat di Rempang.

“Kepemilikan tanah tidak sekadar diukur dari surat semata, harus dilihat dari riwayat penguasaan,” tuturnya.

Meskipun saat ini tak banyak lagi protes atau demo, Boy melihat, konflik ini masih belum reda. Karena, BP Batam masih melanjutkan proyek PSN Rempang, meskipun sebagian besar masyarakat menolak.

Saat ditanya, cara terbaik menyelesaikan konflik ini, ia mengatakan, negara harus hadir sebagai pelindung rakyatnya, memenuhi janji kebijakan korektifnya dan memberikan fasilitas pengembangan ekonomi masyarakat.

“PSN bukan kitab suci yang tidak bisa dikoreksi. Sebagai kebijakan ia (PSN) dapat dievaluasi, apabila jelas ditolak masyarakat dan berdampak buruk pada fungsi kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup,” ujarnya.

***

Investasi PT MEG di Rempang digadang akan menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Batam. Rempang akan menjadi mesin kedua Batam untuk melaju lebih kencang. Investasi jumbo di wilayah Rempang-Galang ini, ditaksir bakal jadi mesin ekonomi baru tidak hanya bagi Batam, tapi bagi Indonesia.

Pihak BP Batam mengatakan Proyek Strategis Nasional Rempang Eco-City memberikan tujuh keuntungan ke masyarakat Rempang dan sekitarnya. Ketujuh keuntungan ini dapat langsung dirasakan masyarakat, begitu proyek ini berjalan.

Berdasarkan data BP Batam, keuntungan pertama yang didapat masyarakat adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) akan terangkat, Rempang Eco-City diyakini dapat memberikan eskalasi bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan warga Rempang-Galang.

Bahkan saat masa pembangunan, diperkirakan ekonomi masyarakat dapat ikut terangkat dengan kegiatan ekonomi mikro kecil dan menengah. Pertumbuhan realisasi investasi akan diimbangi dengan keterlibatan UMKM.

Dampak kedua yakni investasi. “Investasi ini sangat besar. Kita sedang berkompetisi (dengan negara tetangga) untuk mendapatkan Investasi Rp174 triliun dari Xinyi dan Rp381 triliun dari PT MEG. Sedangkan rata-rata total investasi di Batam per tahun adalah sebesar Rp13,63 triliun,” kata Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol, Ariastuty Sirait.

Kehadiran Xinyi disebutnya dapat menarik investasi lainnya, sehingga tercipta ekosistem usaha yang berdampak bagi kawasan (multiplier effect).

“Pengembangan yang dilakukan akan terus mengedepankan kearifan lokal. Sehingga bukan hanya daerahnya yang akan maju, melainkan masyarakat akan terangkat pula,” kata Tuty.

Investasi besar ini, kata dia juga mendatangkan efek meningkatkan permintaan tenaga kerja.

“Kemudian, yang tak kalah penting adalah terbukanya lapangan kerja seluas-luasnya untuk masyarakat Rempang. Dengan adanya bonus demografi hingga 2040, maka pemerintah wajib menyediakan lapangan kerja seluasnya bagi generasi usia kerja yang berjumlah 70 persen dari populasi,” kata Tuty.

Investasi ini, memberikan kesempatan anak penduduk tempatan, memperoleh haknya untuk mendapatkan pendidikan yang terpadu dan sukses di daerah sendiri.

“Ada kemudahan beasiswa hingga menjadi tenaga kerja yang skill full. Mereka tak perlu pergi keluar wilayah untuk mencari pekerjaan,” ujar Tuty.

Secara garis besar, investasi di Rempang memberikan dampak atas peningkatan infrastruktur, sosial ekonomi dan kesehatan. Dari sisi Infrastruktur, Rempang akan tertata rapi dan menjadi wilayah yang maju. Pemerataan pembangunan di Rempang mengalami eskalasi serta peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan warga.

Pembangunan dermaga akan memudahkan nelayan untuk berlayar dan beraktivitas. Taraf kehidupan sosial di Rempang akan bertumbuh dan merata. Pengembangan Kawasan Rempang Eco-City juga akan meningkatkan kesehatan ekologis dan sosial jangka panjang.

“Kawasan Pariwisata juga akan dikembangkan lebih optimal, sehingga wilayah ini tidak akan mengalami ketertinggalan. Maju, namun tidak meninggalkan kearifan lokal yang telah ada,” kata Tuty.

Tuty mengatakan masyarakat Rempang mendapatkan keuntungan legalitas hunian. Penataan pemukiman penduduk tempatan akan terintegrasi dengan fasilitas dan infrastruktur yang baik.

Tuty mengatakan, inti dari pengembangan Rempang adalah kawasan itu akan sama dengan Batam. Bahkan, bisa lebih hebat dari Batam. Sehingga, apa yang dinikmati masyarakat di Pulau Batam, akan bisa dinikmati masyarakat di Pulau Rempang.

Saat ditanya, perusahaan apa saja yang sudah masuk. Tuty mengatakan, sejauh ini diketahuinya baru Xinyi.

Tuty mengatakan, saat ini BP Batam masih fokus dalam relokasi penduduk, karena sesuai regulasinya, seluruh lahan harus kosong dahulu. “Clear dan clean,” ucapnya.

Saat ini, Rempang masih berstatus Hutan Produksi Konversi, sehingga, perlu diturunkan lagi statusnya. Saat ini Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) masih dalam proses.

“Semuanya step by step dan diskusi. Pertemuan demi pertemuan, seperti kami bertemu KLHK (bahas Amdal),” kata Tuty.

Tuty tak menampik, soal komunikasi menjadi salah satu penyebab konflik Rempang. Ia mengaku, seperti disampaikan Presiden Jokowi, kelemahan proyek ini adalah komunikasi.
Ia mengakui, selama ini BP Batam jarang bertemu dengan problem sosial atau bersentuhan dengan masyarakat langsung. BP Batam selama ini berurusan dengan investasi.

Begitu ada proyek Rempang Eco City, BP Batam harus berhadapan langsung dengan masyarakat.

“Kemungkinan cara kami berkomunikasi, tak sebaik teman-teman Pemerintah Kota (Pemko),” ujarnya.

Namun kini, kata Tuty, masyarakat Rempang sudah mulai menerima cara-cara yang dilakukan BP Batam. Tapi, tentunya tidak bisa langsung memaksa. Proses ini diakuinya memakan waktu yang panjang dan lama.

Tuty menekankan BP Batam akan mengambil langkah-langkah humanis dalam penyelesaian masalah di Rempang.

“Kami meminta perusahaan (investor) bersabar,” tuturnya.

Saat ditanya kapan pertama kali proyek Rempang ini mencuat. Tuty menjawab, sekitar medio tahun 2020. Proses negosiasi Rempang berlangsung saat kasus Covid-19 lagi tinggi-tingginya. Berbekal semangat itu meningkatkan perekonomian, proses negosiasi investasi ini terus dijajaki.

“Prosesnya berlangsung sampai sekarang,” ujarnya.

Banyak isu mengenai Rempang, bahwa PT MEG tahun 2004 dan saat ini berbeda. Tuty mengatakan, bahwa investornya masih orang yang sama, Tomy Winata. “Memang konsepnya beda, 2004 KWTE. Kini, lebih industri,” ungkapnya.

Terkait dengan perlakuan masyarakat Rempang, Tuty mengaku semuanya diperlakukan sama. Tidak ada perbedaan, antara masyarakat satu dan lainnya. “Kami menyandang prinsip equal,” ungkapnya.

Proses pergantian yang diberikan, kata Tuty adalah ganti untung. Karena masyarakat diberikan tanah dan dibangunkan rumah. Selain itu, masyarakat diberikan uang sewa rumah senilai Rp 1,2 juta per kepala keluarga. Lalu, diberikan uang makan Rp 1,2 juta orang.

“Kami berikan itu di awal per tiga bulan, setelah itu per satu bulan. Proyek pembangunan rumah warga ini masih terus berproses,” ujarnya.

Tidak hanya itu, BP Batam juga memberikan ganti rugi atas pohon-pohon yang dimiliki masyarakat. Namun, ada regulasi dan syaratnya.

Tuty optimistis proyek ini bisa terlaksana. Rempang Eco City sebagai proyek strategis nasional, tentunya tidak hanya memberi kontribusi bagi Batam. Tapi juga untuk Indonesia.

“Terima kasih kepada masyarakat Rempang. Luar biasa supportnya. Kami sangat terbantu dengan mereka. Apresiasi sekali. Rela bergeser sementara. Hunian mereka dibangun. Semua dibangun dengan waktu yang telah ditetapkan. Tahun depan, rumah mereka sudah selesai,” ujarnya.

Hingga kini, ada sebanyak 83 kepala keluarga yang bersedia direlokasi. Sedangkan, ratusan lainnya masih dalam proses.

Rempang masa depan diprediksi bakal lebih modern. Satu kawasan besar yang terintegrasi satu sama lain. Ada industri, residensial, komersial, tower Rempang, agribisnis, perhotelan dan pelabuhan. Lalu, jalan-jalan lebar akan dibangun Perekonomian masyarakat akan meningkat, menjadi daerah maju dan pusat pendidikan vokasi.

Tentunya, pulau tersebut akan diisi oleh generasi-generasi muda Rempang. PT MEG, kata Tuty sudah memulai dengan merekrut pemuda Rempang.

“Bayangkan Rempang nantinya seperti SCBD (Sudirman Central Business District),” ujar Tuty. (*)

spot_img

Baca Juga

Update