batampos – Setiap hari kerja, kursi panjang yang merapat ke dinding Gedung Pengadilan Agama Batam di Sekupang itu selalu penuh. Pasangan-pasangan datang dan mengantre untuk mendaftarkan kasus perceraian mereka.
Ada yang datang sendiri, ada yang ditemani orangtua, dan ada juga yang datang bersama pasangannya. Mereka yang datang bersama pasangannya umumnya tidak saling sapa, meski duduk berdekatan. Terkadang, mereka duduk berjauhan. Ini menjadi gambaran bagaimana hati mereka terluka, hingga rumah tangga mereka harus berakhir di pengadilan agama.
Pada pertengahan Mei lalu, tampak seorang wanita muda duduk di salah satu kursi panjang yang terbuat dari logam. Namanya Yanti. Dari raut wajahnya tergambar luka hati, kelelahan, dan kesedihan mendalam. Ia datang untuk mendaftarkan gugatan cerai terhadap suaminya.
”Kami sudah tidak tinggal serumah lagi,” ujarnya lirih.
Selain jarang pulang, suami yang menikahinya dua tahun lalu juga tidak memberi kabar dan nafkah kepada Yanti dan anak mereka.
”Mungkin ini jalan terbaik. Sudah sering saya maafkan, tapi dia tidak pernah berubah. Bahkan setiap kali bertengkar, ia selalu tidak pulang ke rumah,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Awalnya, Yanti enggan mengungkapkan permasalahan rumah tangganya. Namun, ia memutuskan untuk berbagi sebagai pembelajaran bagi wanita lainnya.
”Hampir setiap kali berantem, ia memilih menghabiskan hari-harinya di luar tanpa merasa bersalah. Padahal, anak kami masih kecil dan butuh banyak perhatian,” sesal Yanti.
Yanti hanyalah satu dari ribuan wanita yang menggugat cerai suaminya. Di Batam, dari sekitar 2.000 kasus perceraian setiap tahunnya yang didaftarkan ke Pengadilan Agama Batam, mayoritas merupakan cerai gugat, di mana istri yang menggugat cerai. Sisanya cerai talak yang diajukan suami.
Dengan kata lain, jika setiap tahunnya rata-rata 2.000 kasus cerai, maka ada 4.000 hati terluka, baik dari pihak istri maupun suami, sehingga harus berakhir di meja pengadilan yang mayoritas berujung cerai.
Data yang dikumpulkan Batam Pos selama lima tahun terakhir menunjukkan, angka perceraian di Batam memang sangat tinggi. Contohnya, pada tahun 2020 ada 1.908 kasus, tahun 2021 ada 2.015 kasus, tahun 2022 ada 2.046 kasus, tahun 2023 ada 2.106 kasus, dan tahun 2024 diprediksi bisa menembus 2.100 kasus. Sebab, hingga pekan ketiga Agustus 2024, sudah ada 1.325 kasus yang masuk ke Pengadilan Agama Batam.
Angka ini jauh melebihi rata-rata nasional, yang berada di kisaran 600 kasus per tahun.
Humas Pengadilan Agama Kota Batam, Azizon, membenarkan bahwa perkara perceraian di Batam cukup tinggi. Setiap bulan, jumlah perkara yang masuk seolah tidak ada habisnya, baik cerai talak maupun cerai gugat.
Azizon juga mengonfirmasi bahwa mayoritas kasus perceraian di Batam masih didominasi cerai gugat yang diajukan istri.
”Setiap tahunnya polanya seperti itu,” ujar Azizon pada 26 Agustus lalu.
Ia menambahkan, alasan klasik yang paling sering dijadikan dasar permohonan cerai adalah masalah ekonomi. Banyak istri yang mengeluhkan nafkah yang diberikan suami tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sementara itu, cerai talak lebih banyak disebabkan perselisihan rumah tangga yang terus berlanjut. Selain itu, ada pula alasan seperti istri meninggalkan tempat tinggal dalam waktu lama, perselingkuhan, atau kehadiran orang ketiga.
”Kondisi ekonomi yang tidak stabil memang berdampak pada hubungan rumah tangga,” terangnya.
Kelompok usia yang paling banyak melakukan perceraian adalah usia muda, yakni rentang usia 25 hingga 40 tahun.
Fenomena banyaknya hati terluka yang akhirnya berujung pada perceraian menjadi perhatian banyak pihak. Salah satu yang turut menyoroti hal ini adalah Psikolog dari RS Bhayangkara Batam, Aribowo Abdurrahman.
Ari, yang telah menangani ratusan kasus perceraian di Batam, mengidentifikasi sejumlah pola yang mendasari tren ini. Menurutnya, tekanan ekonomi, kurangnya komunikasi akibat kesibukan bekerja, perselingkuhan, serta perbedaan kepribadian dan nilai menjadi faktor utama yang sering memicu perceraian.
Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga menjadi penyebab dominan. Konflik yang melibatkan pihak ketiga, seperti campur tangan keluarga besar atau orang tua, turut memperburuk situasi.
”Kata-kata kasar sudah termasuk KDRT, dan ini sering kali menjadi awal dari keretakan rumah tangga,” ujar Aribowo, Kamis (26/9).
Dampak Sosial dan Ekonomi
Perceraian di Batam tidak hanya berdampak pada pasangan yang terlibat, tetapi juga pada anak-anak dan masyarakat secara keseluruhan.
Anak-anak yang berasal dari keluarga broken home cenderung mengalami masalah emosional dan akademik, serta kesulitan dalam penyesuaian sosial.
Dampak ekonomi juga tidak bisa diabaikan, terutama bagi ibu dan anak-anak yang sering kali terjebak dalam kemiskinan setelah perceraian.
“Perceraian ini berujung pada trauma psikologis, risiko kenakalan remaja, dan beban ekonomi yang signifikan, terutama bagi perempuan,” kata Ari.
Trauma dan masalah psikologis sering menjadi hambatan bagi individu untuk bangkit dan kembali ke kehidupan normal.
Upaya Pencegahan dan Layanan Konseling
Sebagai respons terhadap masalah ini, Pemerintah Kota (Pemko) Batam telah meluncurkan sejumlah program untuk menekan angka perceraian, termasuk konseling pernikahan dan pelatihan manajemen keuangan keluarga. Namun, hasil yang signifikan belum terlihat.
Salah satu layanan yang diharapkan bisa membantu adalah Poli Psikologi di RS Bhayangkara Batam. Layanan ini menyediakan terapi psikologis, termasuk art therapy, relaksasi untuk mengurangi stres, hingga hipnoterapi bagi mereka yang mengalami depresi atau kecemasan.
“Poli Psikologi ini hadir untuk menangani masalah perceraian dan adiksi yang kini marak, seperti kecanduan gadget dan judi online,” ujar Ari.
Ia menambahkan, terapi psikologis yang disediakan di RS Bhayangkara Batam dapat membantu mengubah pola pikir dan memberikan solusi bagi pasangan yang mengalami konflik. Meski begitu, ia menekankan bahwa keberhasilan terapi sangat bergantung pada komitmen masing-masing individu untuk pulih dan memperbaiki hubungan.
Dengan angka perceraian yang terus meningkat, upaya bersama dari pemerintah, psikolog, dan masyarakat diperlukan untuk menangani permasalahan sosial yang mengancam stabilitas keluarga di Batam.
”Kami ada di sini untuk masyarakat, dan kami berharap layanan ini bisa dimanfaatkan secara optimal,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Kasi Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Batam, Muhammad Dirham, menambahkan, ketidakmatangan pasangan suami-istri dalam menghadapi kenyataan hidup seringkali menyebabkan mereka kesulitan dalam menyesuaikan diri pada tahun-tahun awal pernikahan.
”Jika kita melihat data dari Pengadilan Agama Batam, hampir 70 persen kasus perceraian terjadi pada perkawinan yang berusia di bawah 5 tahun,” ujarnya.
Dirham mengakui, banyak pasangan yang hendak menikah belum cukup mumpuni, baik dari segi ekonomi maupun mental. Oleh karena itu, bimbingan pranikah sangat diperlukan agar di masa depan pasangan dapat menyelesaikan masalah rumah tangga secara kekeluargaan dan tidak menempuh jalur persidangan.
”Selama ini, masyarakat cenderung tidak memiliki persiapan matang untuk menikah. Padahal, hal itu sangat penting,” tuturnya.
Dirinya menjelaskan, bimbingan pranikah digelar oleh masing-masing KUA. Dalam bimbingan tersebut, para pasangan diberikan materi dan penjelasan mengenai kehidupan setelah menikah, mulai dari pembinaan akhlak moral hingga kewajiban pasangan suami-istri.
Tidak hanya itu, Kementerian Agama melalui KUA juga terus melakukan pembinaan bagi keluarga setelah menikah. Bersama dengan Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), mereka membimbing pasangan muda yang rentan terhadap perceraian.
”Jadi, tidak hanya pra atau sebelum nikah saja, tetapi pasca nikah juga terus dilakukan pembinaan,” jelasnya. (*)
Reporter : ARJUNA