batampos – Setelah dua dekade aktivitas ekspor sedimentasi dan pasir laut disetop pada era Presiden Megawati, namun pada penghujung masa jabatan Presiden Jokowi, menganulir moratorium tersebut dengan membuka kembali izin itu dengan dalih untuk mengatasi kedangkalan jalur pelayaran.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KKP) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Dokumen Perencanaan Penge-lolaan hasil Sendimentasi di Laut, Provinsi Kepri menjadi lokasi prioritas atau sasaran untuk pelaksa-naan penambangan sendimentasi.
Masih merujuk dalam Permen KKP Nomor 16 Tahun 2024 tersebut, adapun luas perairan Provinsi Kepri yang akan menjadi sasaran dari pengerukan sendimentasi tersebut adalah 3.030.320.445,37 m2 yang terbentang sampai ke Laut Natuna Utara. Adapun daerah-daerahnya adalah Laut Natuna, Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan.
Dalam Permen tersebut juga ditegaskan, kedalaman sendimentasi laut yang akan dikeruk atau disedot untuk diekspor adalah 3 meter. Sedangkan potensi volume hasil sedimentasi di laut di wilayah Provinsi Kepri adalah sebanyak 9.090.961.336,11 m3.
“Merujuk pada Permen KKP Nomor 16 Tahun 2024, sasaran yang akan diekspor adalah sendimentasi, bukan pasir laut,” ujar Kepala Dinas E-nergi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kepri, Muhammad Darwin, Selasa (1/10) di Tanjungpinang.
Katanya, pemanfataan ruang laut Kepri, begitu juga dengan pasir laut, semua kajiannya ada di dalam Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kep-ri.
Menurutnya, ekspor sendimentasi di laut adalah ranahnya pemerintah pusat dalam hal ini adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Artinya, perizinan dan sebagainya berada di KKP. Namun sampai saat ini, belum ada penjelasan lebih lanjut perusahaan mana yang akan melakukan aktivitas tersebut di wilayah Provinsi Kepri,” jelasnya.
Sementara itu, legislator Komisi II DPRD Provinsi Kepri, Rudy Chua, mengatakan, terbitnya legalitas untuk ekspor sendimentasi di laut seperti pisau yang bermata dua.
”Dari sisi ekonomi, adalah beredarnya uang besar yang akan dirasakan oleh masyarakat. Namun dari sisi lainnya, kebijakan ini akan memberikan dampak yang tidak baik untuk keberlangsungan nelayan dan wilayah pesisir,” ujarnya.
Politisi Partai Hanura ini juga mengatakan, disetopnya izin ekspor sendimentasi dan pasir laut di era Presiden Megawati, karena dinilai dampak negatifnya sangat besar. Namun, Presiden saat ini berdalih aktivitas tersebut dilakukan untuk daerah-daerah pelayaran yang mengalami pendangkalan karena sedimentasi.
“Saya melihat mudaratnya lebih besar, dan tidak setimpal dengan kerusakan yang disebabkan dari aktivitas tambang. Kita tahu sejumlah pulau di Kepri tenggelam karena aktivitas ini,” katanya.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, ekspor pasir laut dari Kepri tidak begitu memberikan dampak yang signifikan bagi pembangunan daerah. Maka dari itu, ia berharap kebijakan ini ditinjau ulang, karena ada sumber daya lainnya yang lebih menjanjikan untuk dimanfaatkan.
“Kepri adalah daerah kepulauan yang menyimpan banyak potensi kelautan dan perikanan. Namun sampai saat ini, sektor ini belum bisa menjadi penggerak pembangunan Kepri,” tegasnya.
10 Lokasi Tambang Pasir Laut di Kepri
Lewat Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi, sudah menyepakati 10 titik kawasan pertambangan strategis nonlogam (pasir laut). Arena tambang ini tersebar di Karimun, Batam, dan Lingga.
Merujuk dari Ranperda RZWP3K Provinsi Kepri, adapun luas ruang laut yang akan dijadikan kawasan pertambangan nonlogam adalah 52.720,98 hektare.
Berdasarkan draf Ranperda yang sudah dibukukan pada 2018 lalu, di Bumi Berazam, Karimun, terdapat enam titik pertambangan pasir laut dengan luas area 46.759,17 ha. Kemudian, di Batam sudah disepakati Galang dan Belakangpadang sebagai lokasi pertambangan pasir laut yang memanfaatkan ruang laut seluas 2.320,91 ha.
Sedangkan di Kabupaten Lingga hanya ada satu titik yang ditetapkan, yakni dengan luas 3.640,90 ha. Masih di dalam Ranperda RZWP3K, juga sudah disepakati area-area pertambangan logam, yakni Karimun dan Lingga. Di Kabupaten Karimun ada empat lokasi pertambangan dengan luas area 54.329,53 ha. Sedangkan di Bunda Tanah Melayu, Lingga, ada dua titik dengan luas area 104.822,01 ha.
“Ya memang benar, di dalam Ranperda RZWP3K Provinsi Kepri, kita sudah mengatur tentang wilayah tambang logam dan nonlogam di Provinsi Kepri,” ujar mantan Ketua Pansus Ranperda RZWP3K Provinsi Kepri, Sahat Sianturi, belum lama ini.
Dijelasknnya, lewat Ranperda RZWP3K Kepri ini, Pemerintah Provinsi Kepri sudah memplot Batam dan Karimun sebagai kawasan pertambangan strategis. Yakni, pertambangan pasir laut dan timah. Penetapan Batam dan Karimun sebagai daerah pertambangan pasir laut dan timah tentunya dengan melihat potensi yang ada sekarang ini.
“Maka kedua daerah tersebut dimasukkan sebagai daerah pertambangan,” jelas politisi senior PDI Perjuangan ini.
Lebih lanjut, katanya, dengan berbagai pertimbangan, maka Karimun dan Batam sebagai daerah strategis pertambangan pasir laut dan timah. Namun sampai saat ini, Ranperda RZWP3K Kepri masih dilakukan penyesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
“Lewat Ranperda RZWP3K ini juga, kita mengatur, aktivitas tambang harus dilakukan pada zonasi 4 mil ke atas. Karena menyangkut dengan wilayah tangkapan nelayan, konservasi, dan kawasan pesisir,” jelasnya.
Disebutkannya, saat penyusunan Ranperda RZWP3K Provinsi Kepri, Asosiasi Penambang Pasir Laut (APPL) Provinsi Kepri telah membuat kajian. Pemeritah daerah akan mendapatkan benefit 2 dolar per kubik. Dengan asumsi, bisa memperoleh Rp2 triliun tiap tahunnya.
“Secara teknis, perhitungan ini, ketika tambang pasir laut dikelola penuh oleh daerah. Namun, melihat dari PP tersebut, akan dikelola oleh pemerintah pusat,” tutup Sahat.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kepri, Muhammad Darwin, mengatakan, sampai saat ini ada delapan perusahaan yang masih aktif Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produk pasir laut di Provinsi Kepri. Selain itu, ada dua Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
“Secara keseluruhan baik perusahaan dan perseorangan, jumlah ada 10. Untuk penambahan baru masih belum ada,” ujar Darwin, Selasa (1/10).
Dari penjelasan KKP, ada 7.004 hektare (ha) dari 21 provinsi di Indonesia yang akan melakukan reklamasi. Termasuk Provinsi Kepri yang tercatat ada 4.272,85 ha dari beberapa daerah.
“Dari jumlah ini, estimasi pasir laut yang dibutuhkan sebanyak 700.365.530 meter kubik. Makanya, kebutuhan dalam negeri menjadi prioritas, dibandingkan kepentingan ekspor,” ujar Darwin.
Menurutnya, pemanfaatan hasil sedimentasi laut akan dilakukan di luar Daerah Lingkungan Kerja (DLKR) dan Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan (DLKP). Selain itu, juga akan dilaksanakan di luar wilayah zona pertambangan mineral dan nonmineral.
“Secara detail kebijakan ini nanti, teknisnya adalah lewat Peraturan Menteri. Khusus untuk pengelolaan sedimentasi laut, adalah kewenangannya KKP,” tuturnya.
Terpisah, Akar Bhumi Indonesia, NGO yang fokus pada isu-isu lingkungan, khususnya kelautan menyayangkan izin ekspor pasir laut ini.
Founder Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan ”monster lama” yang dibangkitkan kembali. Dampak buruk dari kebijakan ini diperkirakan akan lebih dahsyat dibandingkan dua dekade lalu. Kepri pernah mengalami kerusakan ekosistem laut akibat penambangan pasir, bahkan hampir kehilangan Pulau Nipah di Batam.
Menurut dia, kebijakan ini sangat bermasalah karena dianggap instan dan tidak mempertimbangkan kajian mendalam. “Ini terkesan mengejar target akhir masa pemerintahan Presiden Jokowi tanpa memikirkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan,” ujarnya.
Hendrik juga menyinggung gosip yang beredar bahwa Singapura sebagai pembeli utama pasir laut, menjadikan ketersediaan material reklamasi dari Indonesia sebagai syarat bagi investor mereka di IKN. Seolah-olah ada barter yang dilakukan, kerusakan hutan Kalimantan dibayar dengan kerusakan laut Kepri.
Akar Bhumi Indonesia menyoroti potensi kerusakan lingkungan yang sangat besar, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi Kepri. ”Kepri memiliki 2.028 pulau, dan pulau-pulau kecilnya sangat rentan. Selain itu, perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut juga sudah menjadi ancaman nyata. Kini, ditambah dengan kebijakan ini, pulau-pulau kecil semakin terancam keberadaannya,” ujar Hendrik.
Kegiatan pengambilan sedimentasi di laut, menurutnya, akan merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang dan biota laut lainnya. Akar Bhumi Indonesia juga telah melakukan kunjungan ke Kabupaten Karimun, salah satu wilayah yang terdampak oleh kebijakan ini. Hasilnya, mayo-ritas nelayan menolak kegiatan ini karena diyakini akan semakin memperburuk kehidupan mereka yang sudah terganggu oleh penambangan timah.
Hendrik menegaskan bahwa Akar Bhumi Indonesia menolak PP 26 Tahun 2023 dan menyebutnya sebagai kebijakan yang cacat sejak awal. Indonesia seolah kembali menjadi toko bangunan bagi negara lain dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang kelautan.
Akar Bhumi berencana menempuh jalur aspiratif melalui Komisi IV DPR RI. Mereka juga telah mengajukan permohonan untuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait masalah ini.
“Jika kebijakan ini tetap dijalankan, maka pengawasan yang ketat akan sangat diperlukan, terutama dalam hal volume pemanfaatan sedimentasi di laut. Kami merekomendasikan adanya satgas gabungan dari berbagai pihak, termasuk NGO, praktisi, dan media massa, untuk mengawasi kebijakan ini,” katanya.
Tidak hanya lingkungan, dampak sosial dari kebijakan ini juga dinilai sangat besar, terutama bagi masyarakat pesisir dan nelayan. Kepri, dengan 96 persen lautan, justru membuat kehidupan masyarakat pesisir semakin sulit.
”Nelayan yang sudah terdesak akibat pencemaran pesisir dan reklamasi ilegal, kini harus menghadapi ancaman kerusakan laut mereka,” kata dia.
Lalu, ia melihat adanya ketidakadilan lingkungan yang terjadi. Laut bukan sekadar sumber penghidupan bagi nelayan, tetapi juga merupakan spirit bagi mereka. Merusak laut berarti menghancurkan spirit masyarakat pesisir.
Kekhawatiran lain yang diutarakan oleh Akar Bhumi Indonesia adalah ancaman abrasi, erosi pantai, dan penurunan kualitas air akibat penambangan pasir laut. “Banyak yang tidak tahu bahwa laut adalah penghasil oksigen terbesar dan penyerapan karbon terbesar di bumi (blue carbon). Ekosistem laut seperti terumbu karang dan padang lamun berperan besar dalam menjaga keseimbangan ini. Eksploitasi sumber daya laut yang tidak hati-hati sama saja dengan menjual masa depan kita,” kata Hendrik.
Akar Bhumi Indonesia berharap pemerintah dapat mempertimbangkan ulang kebijakan ini dan melakukan kajian yang lebih komprehensif dengan melibatkan semua pihak terkait. Termasuk masyarakat pesisir yang paling terdampak. (*)
Reporter : Jailani – Eusebius Sara – Arjuna