batampos – Rencana pemerintah pusat untuk kembali membuka pertambangan sedimentasi pasir laut dan sekaligus membuka keran ekspor ditentang masyarakat, khususnya nelayan di Kepulauan Riau (Kepri). Hampir semua nelayan di sejumlah kabupaten/kota di Kepri menolak kebijakan tersebut.
Dari Kabupaten Karimun, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Nelayan Teluk Setimbul, Kecamatan Meral Barat, Kabupaten Karimun, Jakar, yang dikonfirmasi Batam Pos, Minggu (13/10), mengatakan bahwa jika kapal pasir laut masuk dan beroperasi di perairan Karimun, hal ini tentu akan mengganggu masyarakat nelayan yang mencari penghidupan di laut. Menurutnya, aktivitas tambang sedimentasi pasir laut dapat memberikan dampak negatif bagi nelayan, khususnya nelayan tradisional.
”Pokmaswas dan juga nelayan tidak setuju jika ada kapal pasir laut yang beroperasi di laut Karimun ini. Kami, nelayan tradisional, sudah turun-temurun mencari penghidupan di laut guna memenuhi kebutuhan keluarga,” ujarnya.
Menurutnya, aktivitas tambang pasir laut akan menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan, bahkan bukan tidak mungkin nelayan tidak dapat melaut lagi.
Jakar mencontohkan bahwa beberapa bulan lalu ada kapal yang masuk ke perairan Meral Barat untuk melakukan pengecaman titik-titik pasir laut, yang sudah mengganggu aktivitas nelayan. Apalagi, jika sampai kapal pasir laut beroperasi, anak cucu di masa mendatang tentu tidak bisa menangkap ikan di laut lagi.
”Kami berharap pemerintah meninjau kembali kebijakan ini. Kalau bisa, jangan ada kegiatan penambangan pasir laut di laut Karimun. Beberapa waktu lalu ada pihak yang mengatasnamakan nelayan dan menyatakan setuju dengan penambangan pasir laut. Kami tidak tahu nelayan mana yang dimaksud. Kami jelas-jelas menolaknya,” tegas Jakar.
Kas, nelayan asal Kecamatan Buru, menyebutkan bahwa jika pertambangan pasir laut kembali beroperasi, hasil tangkapan nelayan sudah tentu akan berkurang. ”Laut menjadi keruh, ikan dan udang tidak akan ada lagi. Saya sudah mengalami situasi ini ketika pertambangan pasir laut dulu beroperasi. Hasil tangkapan jauh berkurang,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan Uma, nelayan lainnya, yang mengatakan bahwa jika air laut menjadi keruh, ikan tidak akan ada. ”Saya adalah nelayan jaring kurau. Kalau air keruh, sudah pasti tidak ada ikannya. Seperti manusia, kalau air kotor, mana mau mandi. Begitu juga dengan ikan, mereka akan pergi dari lokasi yang airnya tercemar,” jelasnya.
Nelayan dari Batam juga memiliki pendapat yang sama. Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan Kota Batam, Mansar, dengan tegas menyampaikan bahwa kebijakan ini tidak memberikan manfaat langsung bagi nelayan.
Menurutnya, nelayan justru akan merasakan dampak buruk dari pengerukan pasir laut, yang merusak habitat ikan dan biota laut lainnya. ”Kalau untuk nelayan, tidak ada manfaatnya bagi kami. Dampaknya lebih banyak daripada manfaatnya,” ujar Mansar kepada Batam Pos, Minggu (13/10).
”Saya sudah beberapa kali menyampaikan hal ini dalam forum resmi, baik di kantor Dinas Perikanan Batam maupun saat pertemuan dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Pengerukan pasir laut hanya akan meng-hancurkan karang-karang, yang menjadi tempat ikan bertelur dan berkembang,” tambahnya.
Menurut Mansar, salah satu dampak nyata yang dikhawatirkan adalah hilangnya karang yang berfungsi sebagai habitat alami ikan di perairan sekitar Batam. Ia menyebutkan bahwa banyak nelayan Batam, termasuk dirinya, mengandalkan alat tangkap tradisional seperti bubu.
”Kalau pasir itu disedot, karang-karang akan hancur. Kami sudah beberapa kali memasang bubu di laut perbatasan dan menandai titik-titik tertentu. Kalau pasir dikeruk, karang yang bagus itu akan hilang, dan dampaknya akan langsung terasa oleh nelayan. Mungkin satu atau dua tahun ke depan, kami akan kesulitan menangkap ikan,” lanjut Mansar.
Ia juga menyoroti contoh konkret dari pengerukan pasir yang pernah terjadi di sekitar Belakangpadang. Setelah pengerukan pasir dilakukan oleh sebuah perusahaan, nelayan setempat mengalami penurunan hasil tangkapan yang drastis.
”Sampai sekarang mereka masih kesulitan. Sudah bertahun-tahun sejak pengerukan itu, nelayan masih belum bisa mendapatkan ikan seperti dulu,” ujarnya.
Mansar juga menggarisbawahi bahwa meskipun nelayan menolak kebijakan ini, keputusan pemerintah sering kali tetap berjalan. Menurutnya, hal ini menjadi salah satu keprihatinan besar bagi para nelayan.
”Kami sudah sampaikan, tidak ada untungnya bagi kami, bahkan mungkin bagi nelayan lainnya juga. Namun, ketika kebijakan sudah ditetapkan dengan keputusan presiden, sulit bagi kami untuk berbicara banyak,” ungkapnya.
Ia berharap kebijakan ini dapat dikaji ulang dengan mempertimbangkan dampak nyata bagi masyarakat nelayan. Menurutnya, jika kebijakan ini tetap dilanjutkan tanpa evaluasi mendalam, nelayan kecil yang hidupnya bergantung pada laut akan semakin terpuruk.
”Kalau kebijakan ini memang untuk kepentingan negara, tolong dipertimbangkan lebih lanjut. Apa manfaatnya untuk rakyat? Kalau memang ada, sampaikan kepada kami. Jika tidak, lebih baik dihentikan sebelum terlambat. Kalau nelayan diberikan gaji setiap bulan, mungkin bisa. Tetapi kalau tidak, laut ini adalah sumber penghidupan kami. Kalau laut sudah tidak bisa lagi dijadikan tempat mencari ikan, ke mana lagi kami akan mencari nafkah?” ucap Mansar.
Ia juga menggarisbawahi bahwa sebagian besar nelayan di Batam adalah nelayan tradisional yang sudah bergelut di laut sejak kecil. Banyak di antaranya hanya berpendidikan dasar, sehingga sulit bagi mereka untuk beralih profesi. Mereka sangat bergantung pada kelestarian laut sebagai sumber penghidupan utama.
”Kami ini nelayan dari dulu. Tidak ada pendidikan tinggi. Profesi ini sudah kami jalani sejak kecil. Kalau reklamasi atau hal lain masih bisa kami hindari, kami bisa mencari ikan ke laut yang lain. Tapi kalau lautnya sendiri sudah dikorek, kami mau ke mana lagi? Laut adalah hidup kami,” ujar Mansar.
Demikian halnya dengan kalangan nelayan yang ada di Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan juga tegas menolak. Nelayan khawatir, adanya pengerukan pasir dalam laut, dapat menimbulkan kerusakan terhadap ekosistem laut.
Jali, 55, nelayan di Teluk Keriting, Tanjungpinang, ini, sangat menolak kebijakan pemerintah yang bakal melakukan tambang pasir di perairan Bintan. Apalagi, perairan Bintan merupakan tempat ia mencari ikan, yang nantinya akan dijual ke Tanjungpinang.
”(Pengerukan sedimentasi pasir laut) sangat menyusah-kan nelayan lah. Karena kalau dikeruk, air lautnya jadi tercemar. Sebagai nelayan, laut lah yang kita harapkan,” tegas Jali saat ditemui di kediamannya, Minggu (13/10).
Jali yang menjadi nelayan sudah puluhan tahun itu mengaku tidak rela, jika pasir di perairan tempat ia mencari nafkah dikeruk dan di ekspor ke negara tetangga. Pengerukan pasir laut, tentunya dapat merusak ekosistem laut, hingga berdampak dengan hasil tangkap para nelayan.
Selama jadi nelayan, Jali yang hampir setiap harinya melaut di perairan Bintan hanya memperoleh 3 kilogram hingga 5 kilogram ikan dalam sehari. Jali pun sangat khawatir, pengerukan pasir laut di Bintan dapat membuat hasil tangkap yang ia peroleh berkurang.
”Makin dikeruk (pasir laut) nelayan makin teruk. Belum dikeruk saja hasil tangkap kita masih kurang, cuma 3 kilogram sampai 5 kilogram saja. Apalagi sudah dikeruk,” tegasnya.
Jali berharap kepada pemerintah untuk membatalkan kebijakan tersebut. Sebab, kata dia, kebijakan itu dapat menindas para nelayan, terutama di Tanjungpinang dan Bintan.
”Intinya kita menolak, semua nelayan pastinya menolak. Karena menyusahkan rakyat kecil. Kita harap, jangan dikeruk pasir di laut, semua nelayan pasti berharap seperti itu,” tambahnya.
Sudah sejak lama, penolakan kebijakan sedimentasi pasir laut telah diutarakan oleh nelayan yang ada di Bintan. Limbah pengerukan pasir yang dapat mencemari lingkungan, berdampak besar bagi semua nelayan di Bintan.
”Intinya kita tidak setuju, sejak dulu sudah kita tidak setuju. Karena dapat mencemari lingkungan, akibat limbah pengerukan pasir tersebut,” tegas Baini, nelayan di Kijang, Bintan, sekaligus Penasihat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepri.
Ia mengaku heran dengan kebijakan pemerintah yang tega merusak laut negara sendiri, demi untuk mengekspor pasir laut ke negara lain. Sehingga, semua nelayan yang tertampung di dalam HNSI Kepri sangat menolak dengan kebijakan tersebut.
”Mau diekspor ke mana pun kita tidak setuju, karena dapat merusak lingkungan. Contoh kapal pasir ilegal di Batam yang ditangkap, itu menambang pasir dengan jumlah besar,” pungkasnya.
Lain lagi di Kabupaten Anambas, bukan hanya nelayan. Bahkan Pemerintah Kabupaten Anambas pun menolak pengerukan sedimentasi laut. Apalagi diketahui saat ini, kondisi laut Anambas masih asri.
Hal ini berkat dukungan Pemerintah Kabupaten Anambas yang meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menetapkan 1,2 hektare perairan Anambas sebagai kawasan konservasi pada 2022.
Aktivitas di laut Anambas masih terjamin tidak ada oknum yang ingin merusak ekosistem. Walaupun ada, hanya aktivitas pengeboman ikan serta reklamasi secara ilegal. Namun, untuk pengerukan pasir laut tidak pernah terjadi.
”Alhamdulillah, sedari dulu tidak pernah ada aktivitas tambang pasir laut di sini. Kita bersyukur sekali,” ujar nelayan Anambas, Triyono Susanto.
Triyono menjelaskan potensi pasir laut di Anambas sangat besar, namun tidak pernah tersentuh sama sekali oleh oknum. ”Laut kita ini banyak mengandung pasir. Tapi sejauh ini kan tidak ada yang mengambil. Kecuali pasir darat,” tutur Triyono.
Nelayan, sambungnya, saat ini khawatir keran ekspor pasir laut yang dibuka Presiden Joko Widodo dapat berimbas di Anambas.
”Waktu Presien (Jokowi) setuju untuk buka ekspor pasir laut, kita khawatir. Apalagi tidak ada aturan yang jelas. Dan aktivitas ini dengan cara brutal ya habislah ekosistem laut, bang,” kata Triyono.
Ketika ekosistem laut rusak, ribuan nelayan Anambas bakal terancam susah untuk mendapatkan ikan. Apalagi, saat ini Anambas merupakan lumbung perikanan Provinsi Kepri.
”Mayoritas kita di sini nelayan tradisional. Tangkap ikan dengan cara pasang bubu dan pancing tarik ulur. Kalau ekosistem rusak karena tambang pasir laut, susah lah kita dapat hasil nanti,” ujar Triyono.
Triyono mendesak Pemkab Anambas untuk lebih aktif ke KKP agar laut di daerah itu tidak terjamah penambang pasir laut. ”Walaupun sudah ada penetapan kawasan konservasi oleh KKP. Tapi, Pemkab Anambas harus jemput bola ke pusat minta agar laut Anambas dilarang menjadi pusat tambang pasir,” pinta Triyono.
Sementara itu, Kepala Bagian Perekonomian dan Sumber Daya Alam Anambas, Yohanes, menegaskan bahwa Pemkab Anambas menolak aktivitas tambang pasir laut.
”Tentu menolak. Karena kita ini banyak pulau kecil dan mengganggu biota laut,” tegas Yohanes.
Sejauh ini dari catatan Pemkab Anambas, kata dia, belum ada ditemukan aktivitas pengerukan pasir laut baik secara legal maupun ilegal. ”Memang barang ini (pasir laut) dibutuhkan. Cuma sampai saat ini tidak ada aktivitas itu di tempat kita,” kata Yohanes. (*)
Reporter : Rengga Yuliandra / Jailani / Sandi Pramosinto / Ihsan Imaduddin