batampos – Meskipun baru menjabat sebagai presiden RI, Prabowo Subianto terus membuat gebrakan membumi. Setelah memerintahkan memberagus semua bentuk perjudian, menaikkan gaji guru, sang jenderal kini meminta upah minimum buruh 2025 naik di angka 6,5 persen.
Sang jenderal mengumumkan langsung kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen tersebut, Jumat (29/11) lalu, usai berdialog langsung dengan perwakilan serikat buruh atau pekerja. Kebijakan ini disampaikan sebagai langkah pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Sembari menunggu hitam di atas putih kebijakan sang jenderal untuk buruh tersebut, upah minimum provinsi (UMP) Kepri maupun upah minimum kota/kabupaten (UMK) di Kepri sudah bisa dihitung. Batam Pos mencoba mengkalkulasi perkiraan UMP Kepri 2025 dan UMK se-Kepri 2025.
Merujuk besaran UMP tahun sebelumnya (2024) dengan besaran kenaikan 6,5 persen untuk 2025 sesuai arahan Presiden Prabowo, maka besaran UMP Kepri 2025 mencapai Rp 3.623.653. Naik Rp 221.161 dari UMP 2024 yang besarannya Rp 3.402.492.
Dengan pola penghitungan yang sama dengan kenaikan 6,5 persen, maka besaran UMK se-Kepri 2025 sudah bisa diperkirakan besarannya mulai dari yang terkecil hingga terbesar angkanya.
UMK Lingga 2025 diperkirakan naik Rp 221.161 dari UMK 2024 (Rp 3.402.492) menjadi Rp 3.623.653.
UMK Tanjungpinang 2025 diperkirakan naik Rp 221.161 dari UMK 2024 (Rp 3.402.492) menjadi Rp 3.623.653.
UMK Natuna 2025 diperkirakan naik Rp 221.427 dari UMK 2024 (Rp 3.406.575) menjadi Rp 3.628.002.
UMK Karimun 2025 diperkirakan naik Rp 241.475 dari UMK 2024 (Rp 3.715.000) menjadi Rp 3.956.475 atau dibulatkan Rp 4 juta.
UMK Kepulauan Anambas 2025 diperkirakan naik Rp 249.314 dari UMK 2024 (Rp 3.835.605) menjadi Rp 4.084.919.
UMK Bintan 2025 diperkirakan naik Rp 256.753 dari UMK 2024 (Rp 3.950.050) menjadi Rp 4.206.803.
Sedangkan UMK Batam 2025 besarannya diperkirakan mencapai Rp 4.989.578 atau dibulatkan menjadi Rp 5 Juta. Naik sebesar Rp 304.528 dari UMK sebelumnya (2024) yang hanya Rp 4.685.050. (Lihat grafis pergerakan UMP Kepri dan UMK Batam dari tahun ke tahun).
Meski demikian, keputusan sang jenderal memunculkan beragam tanggapan dari berbagai pihak, termasuk dunia usaha dan serikat pekerja di Kepri.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam, Rafki Rasyid mengatakan, ia belum dapat memberikan tanggapan resmi terkait kebijakan tersebut.
“Kami belum bisa memberikan tanggapan apa-apa karena kita belum baca aturan yang melandasinya,” ujarnya, Sabtu (30/11).
Akan tetapi, menurut dia, sejauh ini informasi yang diterima baru sebatas pernyataan lisan dari Presiden. Pelaku usaha di Batam masih menunggu kepastian aturan resmi mengenai kenaikan upah minimum tersebut.
“Kami belum tahu penerapannya nanti seperti apa. Apakah merata di seluruh Indonesia, atau ada pengecualian, kita belum tahu. Lalu ada rencana pemerintah membedakan antara upah minimum padat karya dan padat modal. Apakah ini berlaku untuk keduanya atau hanya salah satu? Semua masih menunggu,” kata dia.
Dunia usaha, lanjutnya, membutuhkan kepastian regulasi agar dapat melakukan perencanaan biaya produksi untuk tahun mendatang. Semakin lama aturan ini tertunda, semakin besar potensi kerugian yang akan dialami oleh dunia usaha.
“Intinya sebelum aturan mengenai upah minimum diterbitkan pemerintah, semua ini masih sebatas wacana saja. Kita berharap pemerintah secepatnya mengeluarkan regulasi terkait,” ujar Rafki.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Batam, Jadi Rajagukguk, juga menyoroti pentingnya mekanisme yang adil dalam penentuan besaran upah.
Menurutnya, hakekat upah merupakan hak dan kewajiban yang secara absolut berada di tangan pengusaha. Sebagai pemberi upah, pengusaha harus mempertimbangkan dua hal utama, yakni harga jual produk yang kompetitif dan keberlanjutan bisnisnya.
“Jika harga jual produk terlalu tinggi, produk menjadi tidak laku di pasaran. Sebaliknya, jika harga jual terlalu rendah, pengusaha akan rugi karena biaya produksi tidak lagi masuk akal,” katanya, Sabtu (30/11).
Hal serupa berlaku dalam penentuan upah tenaga kerja. Apabila upah terlalu rendah, tidak ada pekerja yang bersedia bekerja. Namun, jika terlalu tinggi, keberlangsungan usaha akan terancam karena biaya produksi yang tidak feasible.
Jadi mengatakan, penentuan upah tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Faktor-faktor seperti subsidi pemerintah dan regulasi terkait dunia usaha jadi elemen penting yang memengaruhi besaran upah.
“Harus ada perhitungan yang jelas untuk memastikan keadilan. Tidak bisa asal menentukan upah naik atau turun sekian persen tanpa dasar yang konkret,” katanya.
Sesuai mekanisme, pemerintah bukanlah pihak yang berwenang secara langsung untuk menentukan upah minimum. Penentuan upah dilakukan melalui Dewan Pengupahan, yang melibatkan unsur tripartit, yakni pemerintah, dunia usaha, dan perwakilan pekerja.
“Pemerintah di dalam Dewan Pengupahan hanya berperan sebagai fasilitator dan mediator, bukan sebagai penentu. Maka, mestinya ada kesepakatan bersama antara ketiga pihak tersebut,” kata Jadi.
Sementara itu, Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Batam, Yapet Ramon, menyambut baik langkah Presiden Prabowo itu. Namun, ia menilai kenaikan 6,5 persen tersebut belum mencukupi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja, khususnya di Batam.
“Kami mengapresiasi langkah Presiden yang mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168. Tetapi angka 6,5 persen masih jauh dari kebutuhan hidup layak, terutama di kota seperti Batam,” katanya.
Ramon menyebut, survei KHL yang dilakukan FSPMI di tiga pasar utama di Batam, menunjukkan lonjakan harga kebutuhan pokok. Berdasarkan survei tersebut, rata-rata kebutuhan hidup layak pekerja di Batam mencapai Rp6,1 juta per bulan.
“Dari survei itu, terlihat bahwa kebutuhan hidup layak di Batam memerlukan kenaikan sekitar 30 persen dari UMK Batam 2024,†katanya.
Meskipun kenaikan 6,5 persen merupakan langkah positif, angka tersebut masih jauh dari realitas kebutuhan pekerja. Ia harap, pemerintah dapat mempertimbangkan data kebutuhan hidup pekerja di setiap daerah, terutama di wilayah industri seperti Batam.
“Keputusan ini memang menunjukkan komitmen Presiden terhadap kesejahteraan pekerja. Namun, penting untuk memastikan kebijakan upah mencerminkan kebutuhan pekerja secara nyata,” ujar Ramon.
Serikat pekerja yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Batam juga memberikan apresiasi terhadap kebijakan ini. Mereka berharap pemerintah lebih serius dalam mempertimbangkan masukan dari pekerja terkait upah minimum.
“Kami berharap pemerintah terus melibatkan pekerja dalam proses pengambilan keputusan agar kebijakan yang dihasilkan lebih adil,” ujarnya. (*)