Rabu, 18 Desember 2024

Ikon Wisata Batam Terancam, Pembangunan Ruko di Sekitar WTB Tuai Sorotan

Berita Terkait

spot_img
F. Cecep Mulyana/Batam Pos
Sejumlah wisatawan mengunjungi kawasan Welcome to Batam (WTB), Senin (14/10) lalu. Wisatawan menjadikan ikon Welcome to Batam untuk berswafoto. Seiring dengan pembangunan sejumlah ruko, keberadaan WTB mulai terancam.

batampos – Pembangunan ruko di sekitar ikon wisata Welcome to Batam (WTB) menuai perhatian serius dari Anggota Komisi III DPRD Batam, Suryanto, serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam. Ikon yang terpampang di punggung Bukit Clara selama ini menjadi salah satu daya tarik utama wisata di Batam terancam kehilangan daya tarik visual akibat pembangunan tersebut.

Anggota DPRD Batam dari Fraksi PKS, Suryanto, menegaskan bahwa masalah ini seharusnya menjadi tanggung jawab bersama Dinas Pariwisata dan Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang. Menurutnya, koordinasi lintas sektoral masih kurang dalam menyikapi persoalan ini, termasuk terkait pengalokasian lahan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam.


“WTB itu ikon wisata yang tanggung jawabnya ada di Dinas Pariwisata dan Dinas Cipta Karya. Pembangunan ruko ini jelas berdampak, tetapi apakah sudah ada komunikasi terhadap dampak yang ditimbulkan? Karena pembangunan ini butuh proses panjang,” ujar Suryanto, Selasa (17/12).

Ia menyayangkan kurangnya koordinasi yang jelas antarinstansi terkait, meski keputusan akhir tetap berada di tangan Wali Kota Batam. “Jadi, peran Dinas Pariwisata dalam menjaga ikon wisata serta Dinas Cipta Karya yang berwenang dalam perizinan pembangunan harus berjalan beriringan,” katanya.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam, Ardiwinata, menyampaikan bahwa ikon Welcome to Batam telah lama menjadi lokasi favorit wisatawan untuk berfoto, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Ia mengakui bahwa kehadiran ruko yang tengah dibangun di dekat ikon tersebut menimbulkan gangguan bagi pengunjung yang ingin berfoto atau membuat konten.

“WTB adalah spot ikonik bagi wisatawan yang datang ke Batam. Mereka datang untuk melihat, berfoto, bahkan membuat konten di sana. Dengan adanya bangunan ruko ini, tentu keindahan dan daya tarik ikon tersebut terganggu,” kata Ardi.

Ardi menambahkan bahwa pihaknya telah menjalin komunikasi dengan agen perjalanan wisata agar persoalan ini menjadi perhatian, terutama bagi wisatawan yang datang secara personal maupun melalui agen perjalanan. Namun, ia juga menyadari bahwa kewenangan Dinas Pariwisata dalam persoalan ini sangat terbatas.

“Kami berharap para pemilik lahan dan pemangku kepentingan terkait bisa memahami pentingnya menjaga ikon wisata Batam ini. Banyak pihak yang menanyakan hal ini, dan saya sudah menjelaskan secara personal bahwa WTB adalah destinasi yang harus dipertahankan karena Batam membutuhkan daya tarik seperti ini,” ujarnya.

Masalah ini dinilai membutuhkan koordinasi lintas sektoral yang lebih baik antara Dinas Pariwisata, Dinas Cipta Karya, dan pihak-pihak terkait lainnya. Suryanto pun berharap persoalan ini segera diselesaikan melalui komunikasi dan solusi yang menguntungkan semua pihak tanpa mengabaikan kepentingan pariwisata.

“DPRD Batam bersama dinas terkait akan terus memantau perkembangan ini dan memastikan bahwa ikon Welcome to Batam tetap terjaga sebagai wajah pariwisata Kota Batam,” ujarnya.

Sementara itu, praktisi pariwisata Kepri, Buralimar, menilai keberadaan WTB sebagai ikon pariwisata Batam sangat penting. Ia menilai ancaman pembangunan di sekitar WTB dapat merusak citra Batam sebagai kota pariwisata.

Buralimar menyayangkan kondisi ini yang tidak hanya menuai kekecewaan dari warga Batam tetapi juga wisatawan mancanegara (wisman). ”Bukit Clara dengan tulisan Welcome to Batam sudah menjadi ikon Batam selama bertahun-tahun. Sangat disayangkan jika tertutup oleh pembangunan. Seharusnya pemerintah daerah menjaga ikon yang sudah menjadi daya tarik wisata ini,” ujarnya.

Landmark WTB selama ini dikenal sebagai salah satu lokasi favorit bagi wisatawan untuk berfoto, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Jika ikon ini tertutup sepenuhnya tanpa ada solusi, Batam akan kehilangan salah satu daya tarik utamanya.

”Kalau wisman kecewa, itu wajar. Kita, sebagai warga Batam saja, ikut kecewa,” katanya.
Buralimar juga menyoroti pentingnya mempertahankan Bukit Clara sebagai bagian dari sejarah dan budaya kota. Ia menyebut adanya patok peninggalan zaman Belanda di lokasi tersebut yang seharusnya mendapat perhatian lebih.

”Bukit ini sebaiknya dijadikan cagar budaya dan dijaga kelestariannya,” katanya.

Ia mendorong pemerintah daerah dan pemangku kebijakan, termasuk BP Batam, untuk segera mencari solusi bersama. ”Stakeholder terkait perlu duduk bersama untuk mencari solusi agar tulisan Welcome to Batam dan Bukit Clara tetap bisa dipertahankan,” tambahnya.
Sebaliknya, Ketua Asosiasi Pariwisata Nasional (Asparnas) Batam, Andi Xie, menilai kawasan WTB sudah tak begitu layak jadi ikon pariwisata di Batam. Ia berpendapat bahwa kawasan tersebut tak lagi tertata dengan baik.

”Di sana itu sudah tak tertata. Kawasan sudah kotor dan berserakan. Kiranya perlu kita membangun destinasi wisata atau ikon wisata yang baru untuk Batam,” ujarnya.
Meski demikian, dia tetap tidak setuju dengan pembangunan yang sedang berlangsung di Bukit Clara itu. ”Walaupun kawasan itu saya nilai sudah tak begitu layak untuk wisatawan, tapi membangun gedung di sana adalah sebuah kesalahan. Bukit di WTB itu harus bersih dan steril. Pemerintah harus turun tangan mengatasi ini,” katanya.

Sebelumnya, Sekretaris Daerah Kota Batam, Jefridin Hamid, menegaskan bahwa meskipun pembangunan di kawasan tersebut memiliki izin, pihaknya tidak akan mengizinkan pembangunan yang menghalangi pandangan terhadap WTB.

”Bangunan baru tidak boleh lebih tinggi dari Welcome to Batam,” ujarnya, Jumat (25/10) lalu.

Meningkatnya jumlah gedung baru di sekitar WTB telah berdampak negatif pada daya tarik kawasan ini. Pedagang setempat, seperti Roni dari bazar WTB, melaporkan penurunan jumlah pengunjung.

”Semenjak bangunan baru muncul, pengunjung jadi lebih sedikit. Sebelumnya, banyak orang datang untuk berfoto dan bersantai,” ungkapnya.

Kekhawatiran para pedagang semakin mendalam jika ikon WTB tertutup total, yang dapat mengancam kelangsungan usaha mereka. ”Tujuan orang datang ke sini biasanya untuk jajan kuliner dan bersantai. Jika itu hilang, daya tarik kawasan ini pun akan berkurang,” keluhnya.

2016 lalu, permasalahan serupa pernah mencuat. Saat itu rencananya akan dibangun gedung bertingkat di kawasan itu. Sejumlah pihak langsung menolak keberadaan bangunan yang bakal menutupi ikon wisata Batam itu.

“Salah satu ikon Batam yakni Welcome to Batam akan hilang, tertutup hotel. Kami akan tolak habis-habisan,” kata Anggota Komisi III DPRD Kota Batam, Muhammad Jefri Simanjuntak, kala itu (12/3/2016).

DPRD Kota Batam menyayangkan rencana pembangunan hotel dan apartemen di depan Bukit Clara, Batam Center. Apalagi jika Badan Pengusahaan (BP) Batam telah memberikan restu dengan mengeluarkan fatwa planologi.

Menurutnya, lahan seluas sekitar tiga hektare itu sudah lama mangrak. “Kenapa baru sekarang ada rencana pembangunan, itupun menutup ikon Batam,” tuturnya saat itu.

Ketua Komisi III DPRD Kota Batam saat itu, Djoko Mulyono, meminta pemerintah menolak pendirian hotel. Untuk menyelamatkan ikon Batam, pemko jangan mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

“Tak mungkin Bukit Clara ditinggikan, karena itu pembangunannya harus kita tolak,” tegas Djoko.

Djoko menuturkan, pihaknya bukan antipembangunan, namun keberadaannya harus sesuai dengan RTRW, estetika. “Serta tidak merusak infrastruktur yang sudah ada,” katanya. Warga Batam pun banyak yang menyayangkan.

Direktur Humas dan Promosi BP Batam yang saat itu dijabat Purnomo Andi Antono, mengatakan bahwa pihaknya akan mengecek ke bagian lahan. Apakah pengembang sudah mengantongi fatwa planologi atau belum. “Sudah saya tanyakan, tapi belum ada jawaban,” kilahnya. (*)

 

Reporter : AZIS MAULANA / ARJUNA

spot_img

Update