batampos – Situasi di Rempang Galang, Kepulauan Riau, yang sempat memanas akibat konflik antara masyarakat setempat dan pihak pengelola proyek strategis nasional Rempang Eco City, mulai berangsur kondusif. Pasca kerusuhan yang terjadi pada Rabu (18/12) dini hari, sejumlah pihak menyerukan perlunya penegakan hukum yang tegas dan adil.
Anggota DPRD Kepri, Taba Iskandar, menegaskan bahwa proses hukum akan berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku. “Negara kita adalah negara hukum. Kita percaya pada hukum. Proses penegakan hukum harus berjalan tanpa pandang bulu,” tegas Taba saat ditemui di sela-sela pertemuan dengan masyarakat.
Ia mengimbau agar masyarakat tidak terprovokasi dan tetap menjaga keamanan pribadi serta keamanan wilayah Sembulang.
Taba juga mengingatkan bahwa kepolisian telah memiliki aturan dan pedoman yang jelas dalam menangani kasus ini. “Polisi tahu apa yang harus ditegakkan. Tujuan kita adalah menegakkan hukum, bukan melanggar hukum,” ujarnya.
Sementara itu, Panglima Utama LSM Lang Laut Kepulauan Riau, Suherman, mengungkapkan bahwa masyarakat Rempang telah sepakat memantau bersama perkembangan kasus ini. Ia juga mengungkapkan bahwa pasca insiden berdarah tersebut, pihak PT MEG telah menarik pekerjanya dari wilayah Rempang.
“Kasus ini juga kita pantau bersama. Masyarakat Rempang Galang meminta agar pemerintah turun tangan dalam penyelesaian masalah ini. Jangan ada pelanggaran hukum lagi. Kalau ada yang melanggar, proses hukum harus berjalan,” tegas Suherman.
Mediasi yang digelar bersama Polri dan TNI di Presta Barelang pada hari berikutnya juga menghasilkan beberapa kesepakatan.
Tokoh masyarakat Rempang, Grisman Ahmad, mengungkapkan bahwa tidak ada gejolak pasca mediasi. “Polisi sudah komitmen akan memproses kejadian kemarin secara tegas. Rakyat ingin aman, damai, dan nyaman. Investor dipersilakan berinvestasi, tapi jangan sampai merugikan atau mengusik warga,” jelas Grisman.
Ia juga mengingatkan bahwa wilayah yang menjadi lokasi proyek Rempang Eco City dulunya adalah bekas area pengungsian warga Vietnam. “Sebenarnya, ini urusan pemerintah. Setelah urusan antara pemerintah dan masyarakat selesai, barulah diserahkan ke pihak ketiga,” tambah Grisman.
Kapolsek Galang, Iptu Alex Yasral, mengonfirmasi bahwa proses hukum sedang berlangsung. “Mediasi sudah berjalan, dan kedua belah pihak diminta untuk menahan diri. Laporan yang masuk sedang kami tindak lanjuti. Mari kita ciptakan situasi yang aman dan damai,” imbau Alex.
Pertemuan akbar yang digelar di lapangan Sembulang juga memperkuat solidaritas masyarakat Kampung Tua. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh adat, tokoh masyarakat, dan perwakilan paguyuban Melayu, dengan tujuan memperkuat posisi masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya.
“Kami ingin kejelasan dan perlindungan, bukan kekerasan,” ujar Aldi, salah satu warga yang hadir dalam pertemuan tersebut. Aspirasi ini sejalan dengan pernyataan Nenek Awe, seorang tokoh masyarakat dari lima kampung tua di Rempang. “Kita pantau bersama, jangan tinggalkan kami lima kampung dari 12 kampung tua. Kita jangan tidur, kita berjuang bersama demi tanah ulayat kita,” ujarnya dengan semangat.
Kekhawatiran masyarakat terhadap proyek Rempang Eco City telah lama mencuat. Mereka berharap bahwa segala kebijakan terkait pengelolaan lahan tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat lokal. Tokoh masyarakat mengingatkan agar masyarakat tidak terprovokasi dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Taba Iskandar juga menekankan pentingnya kepastian kebijakan pemerintah. “Saya sebagai wakil rakyat tidak perlu menunggu pelantikan kepala daerah terpilih. Saya akan tindak lanjuti dan laporkan ke pemerintah daerah dan provinsi. Kita ingin tahu ke mana arah kebijakan pemerintah, agar ada kejelasan dan tidak simpang siur,” tegas Taba.
Ia menekankan bahwa kepastian kebijakan ini penting untuk menciptakan rasa aman bagi semua pihak. “Kalau kebijakan pemerintah mengarah pada kesejahteraan masyarakat, kita dukung. Tapi kalau kebijakan itu merugikan masyarakat kita, tentu kita akan berjuang untuk melindungi hak-hak rakyat,” tegasnya.
Dukungan dari paguyuban Melayu dan tokoh adat turut memperkuat posisi masyarakat. Para tokoh masyarakat meminta agar warga dapat menyampaikan aspirasinya dengan cara yang santun, misalnya dengan menggunakan spanduk, tanpa mengandung provokasi atau unsur SARA.
Sementara itu, Suherman dari LSM Lang Laut Kepri menegaskan bahwa konflik ini harus diselesaikan melalui jalur pemerintahan. “Kita minta pemerintah yang akan mengelola dan menyelesaikan masalah ke depan. Jangan sampai ada pihak lain yang mengambil alih sebelum masalah ini tuntas,” ujarnya.
Situasi di Rempang yang sempat memanas kini mulai berangsur pulih. Delapan warga yang sebelumnya menjadi korban kekerasan telah mendapatkan perawatan medis. Dari delapan korban tersebut, tujuh orang telah diperbolehkan pulang setelah menjalani perawatan rawat jalan. Satu orang lainnya yang mengalami luka robek di kepala masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
Pemerintah, tokoh masyarakat, dan aparat keamanan berharap proses mediasi dan penegakan hukum dapat menciptakan ketenangan di tengah masyarakat. Semua pihak diingatkan untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi, demi menciptakan situasi yang aman dan damai di Rempang.
Tentang PSN Rempang Eco City
Rempang Eco-City adalah proyek pengembangan terpadu di Pulau Rempang, Kota Batam, yang mencakup sektor industri, perdagangan, residensial, dan pariwisata. Proyek ini ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) pada tahun 2023, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023.
Pengembangan kawasan ini melibatkan Badan Pengusahaan (BP) Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata. Nilai investasi proyek ini diperkirakan mencapai Rp381 triliun hingga tahun 2080 dan diharapkan dapat menyerap sekitar 306.000 tenaga kerja.
Salah satu investor utama dalam proyek ini adalah Xinyi Group dari China, yang berencana membangun pabrik kaca terbesar kedua di dunia di Pulau Rempang dengan nilai investasi sekitar Rp174 triliun.
Namun, proyek ini menghadapi tantangan signifikan, terutama terkait relokasi sekitar 7.500 penduduk Pulau Rempang yang telah mendiami wilayah tersebut secara turun-temurun. Rencana relokasi ini memicu penolakan dan protes dari warga setempat, yang berpuncak pada bentrokan dengan aparat keamanan pada September 2023.
Pemerintah telah menawarkan kompensasi berupa rumah tipe 45 senilai Rp120 juta dengan luas tanah 500 meter persegi, serta berbagai keringanan biaya lainnya, kepada warga yang terdampak. Namun, hingga Desember 2024, proses relokasi masih menghadapi hambatan akibat penolakan dari sebagian masyarakat.
Meskipun demikian, pemerintah dan BP Batam terus berupaya melanjutkan proyek ini dengan prioritas pada kesejahteraan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi lokal. Langkah-langkah seperti penyediaan lapangan kerja, pelatihan keterampilan, dan program pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sedang digalakkan untuk memastikan bahwa pengembangan Rempang Eco-City membawa manfaat bagi penduduk setempat. (*)
Reporter: Eusebius Sara