Perburuan ikan dingkis telah menjadi tradisi tahunan bagi nelayan di Batam dan sekitarnya. Awal Januari, laut menjadi saksi perjuangan para nelayan mencari ikan rezeki, yang akan mencapai puncaknya menjelang perayaan Imlek, 29 Januari.
FISKA JUANDA, Batam
Tidak seperti perburuan ikan lainnya yang mengandalkan alat modern, perburuan dingkis dilakukan dengan cara tradisional. Para nelayan hanya menggunakan kayu, jaring, dan bubu sebagai alat tangkap.
Namun, hasilnya tidak bisa diprediksi. Untung-untungan. Ada kalanya bubu penuh dengan ikan dingkis, namun tidak jarang juga pulang dengan tangan kosong.
Meski penuh ketidakpastian, nelayan tetap antusias menanti momen ini. Ikan dingkis memang memiliki daya tarik tersendiri, terutama saat mendekati Imlek. Harga ikan ini melambung hingga Rp400 ribu per kilogram, terutama jika ikan tersebut bertelur. Ukuran telur dan besar kecilnya ikan menjadi penentu harga yang membuat para nelayan berlomba-lomba mencari tangkapan terbaik.
Menariknya, ikan dingkis sebenarnya bertelur tiga kali dalam setahun. Namun, masa menjelang Imlek selalu menjadi waktu yang istimewa. “Ikan dingkis ini seperti berkah di kala Imlek. Kalau dapat banyak, rezeki nelayan juga banyak,” kata Kepala Dinas Perikanan Kota Batam, Yudi Atmadji.
Tradisi perburuan ikan dingkis bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga sarat akan nilai-nilai budaya. Suara gelak tawa nelayan, gemuruh ombak, hingga cerita-cerita yang dibagikan di atas perahu menjadi warna yang melengkapi suasana. Semangat dan doa terus mereka panjatkan agar bubu yang terangkat dari dasar laut membawa banyak rezeki.
“Semalam (kemarin) tak dapat, hari ini begini. Air keruh pula. Belum ada dapat seekor dingkis pun,” kata salah seorang nelayan yang ditemui Batam Pos di Perairan Pulau Pecong, Jali.
Dia mengatakan, isu buaya juga membuatnya agak merasa was-was. Sehingga, dia tak sendirian untuk memanen dingkis. “Sama anak,” ucapnya singkat.
Hal yang senada diucapkan oleh Tayib. Isu buaya juga membuatnya agak takut-takut. Meskipun begitu, panen dingkis adalah sebuah keharusan. Harga dingkis, kata Tayib sekitar 27 Dolar Singapura per kilogramnya atau setara Rp300 ribuan.
“Mau tak mau panen. Tak tak sebanyak semalam (kemarin),” ujarnya.
Dia mengatakan, ikan dingkis dipanennya Minggu (26/1) seberat 30 kilogram. Ikan tersebut didapatnya dari 4 kelong dimilikinya. “Keberuntungan lagi tak bagus,” tuturnya diiringi gelak tawa.
Namun, keberuntungan di hari Senin (27/1), tak menjadi alasan baginya tak memanen dingkis esok harinya. Waktu panen dingkis masih ada sekitar 2 hari lagi.
Tayib optimis, esok atau lusa, ikan dingkis didapatnya agak jauh lebih banyak dan besar. Sikap optimistis bukan tanpa alasan. Berdasarkan pengalamannya bertahun-tahun, ikan dingkis akan jauh lebis besar dan banyak didapat di H-1 dan hari H imlek.
“Telur-telurnya bisa lebih besar. Semoge saje,” ucap dengan dialek melayu yang cukup kental.
Bagi masyarakat Tionghoa, ikan dingkis diolah untuk berbagai jenis makanan khas Imlek. Masyarakat Melayu pesisir juga memiliki olahan khas, salah satunya ikan dingkis asam pedas.
Kak Tien, begitulah panggilan akrab perempuan yang batampos temui di Pulau Pecong. Dia mengatakan, ada tiga cara umum dalam mengolah ikan dingkis.
“Lengse (di goreng dengan minyak yang minim), bakar dan asam pedas,” ucapnya.
Tiga cara pengolahan ikan dingkis ini, sama-sama sedapnya. Dia mengatakan, ikan dingkis di kala Imlek agar berbeda di banding periode lainnya. “Ikannya tak terlalu amis, dan punya telur-telur yang lezat,” ujarnya.
Batam Pos berkesempatan menyicipi olahan ikan dingkis khas Kak Tien, yang menyimpan cita rasa autentik masyarakat pesisir. Siang itu, aroma asap dari pemanggangan ikan sudah menguar bahkan sebelum ikan matang.
Kak Tien dengan cekatan membakar ikan dingkis yang baru saja ditangkap dari kelong. “Ini cuma bumbu sederhana, perasan jeruk sama garam saja,” katanya sembari membolak-balik ikan di atas bara.
Begitu ikan matang, warna cokelat keemasan dengan sedikit gosong di tepinya tampak menggoda. Saat dicicipi, sensasi smoky berpadu dengan legitnya ikan segar langsung menyeruak. Meski hanya dengan bumbu sederhana, rasa ikan dingkis bakar ini sungguh maknyos.
“Bumbu tak perlu banyak, yang penting ikan segar,” ujar Kak Tien sambil tersenyum.
Selain dibakar, Kak Tien juga menghidangkan ikan dingkis masak lengse. Teknik memasak lengse ini khas Pulau Pecong, yakni dengan menggoreng ikan menggunakan sedikit minyak. Hasilnya, tekstur ikan menjadi pas, tidak terlalu kering, tetapi tetap lembut.
Saat suapan pertama, rasa manis dan gurih ikan dingkis terasa dominan. Ditambah sambal asam khas Pulau Pecong, hidangan sederhana ini menjadi luar biasa. Nasi panas, sambal asam, dan ikan lengse ini sudah lebih dari cukup untuk bikin kenyang bahagia. Makanan ini tak hanya tentang rasa, tetapi juga tentang pengalaman, cerita, dan kehangatan tradisi pesisir yang akan selalu diingat.
Namun, makan ikan dingkis saat Imlek, kata Tien pahit. Istilah ini bukan merujuk ke rasa. Tapi, bagi masyarakat melayu istilah ini merujuk akan harga ikan dingkis. “Pahitt. Harganya mahal, bagus dijual. Paling kita makan seekor atau dua ekor je. Selebihnya jual, nanti makan dingkis pas tak Imlek saje,” ucapnya.
Ikan Dingkis menjadi komoditas paling menjanjikan di kala Imlek. Hal itu dibenarkan oleh Kepala Dinas Perikanan Kota Batam, Yudi Atmadji. “Nilai ekspornya luar biasa jelang Imlek, jika dibandingkan bulan lainnya,” ucap Yudi.
Yudi mengatakan, berdasarkan data Dinas Perikanan Batam di tahun 2024, periode Januari hingga Maret nilai ekspor ikan dingkis mencapai Rp16,4 miliar. “Periode penjualan ikan dingkis memang saat di Januari, Februari dan Maret,” ujarnya.
Data Dinas Perikanan Batam menunjukkan, pada Januari 2024 sebanyak 7.540 kilogram ikan dingkis diekspor ke Singapura. Angka itu melonjak menjadi 23.145 kilogram di Februari, dan mencapai 1.091.404 kilogram pada Maret.
Sementara di bulan lainnya, seperti April dan Mei rata-rata ekspor sekitar 6ribuan kilogram ikan dingkis. “Juni sama Desember di ekspor 3.500 sampai 4.000 kilogram ikan dingkis,” tuturnya.
Komoditas dingkis, menjadi salah satu andalan eskpor sektor perikanan di Januari dan Maret. Sehingga hal ini membuat nelayan mendirikan ratusan kelong dingkis. “Jumlah ini bisa bertambah. Sebab, untuk membangun satu kelong biayanya mulai dari Rp10 jutaan. Sementara untungnya lumayan. Sebab, sekali buat kelong bisa tahan hingga 4 atau 5 tahun,” ucap Yudi.
Saat musim dingkis, menjadi berkah tersendiri bagi nelayan di Batam. Akibat dingkis, beberapa nelayan bisa menunaikan hajatnya, naik haji, sekolahkan anak, umrah atau menabung.
“Tapi di musim kali ini, agak takut-takut juga para nelayan. Buaya menjadi ancaman. Banyak nelayan tak sendirian, mereka bawa anak atau sanak saudaranya,” ucap Yudi.
Sebab, untuk panen dingkis ini harus menyelam, demi memastikan ikan sudah masuk perangkap bubu. Sementara, isu buaya agak membuat nelayan khawatir untuk panen dingkis.
“Apalagi air keruh, pasti tak kelihatan apa yang ada di dalam air,” tuturnya.
Dia berharap panen dingkis ini berjalan normal. Sehingga, masyarakat nelayan bisa memanen maksimal dingkis-dingkis yang penuh berkah tersebut. (*)