Sabtu, 8 Februari 2025

Nek Awe: Ikon Perlawanan Sejati Rempang

Berita Terkait

spot_img
Foto: Nek Awe usai melakukan pemeriksaan di Polresta Barelang. (Arjuna)
“Terima kasih, Nak, sudah bantu kami berjuang,” ucapnya pelan, ketika semua formalitas di kantor polisi telah usai. Duduk di sofa hitam itu, ia terlihat tenang, meskipun di balik ketenangan itu ada amarah dan kesedihan yang dalam.
Pada siang yang kelabu di Polresta Barelang, langkah-langkah tegar seorang perempuan paruh baya mengisi udara. Siti Hawa, atau yang akrab disapa Nek Awe, memasuki gedung itu dengan kepala tegak. Usianya 67 tahun, tetapi dalam sorot matanya, terlihat semangat seorang pejuang yang tak pernah padam.
Ia mengenakan busana serba hitam, sederhana namun penuh wibawa. Hijab rapi membingkai wajah yang mengisahkan perjuangan panjang, sementara sebuah bros emas sederhana menempel di dadanya, seolah menjadi simbol ketangguhan dan keanggunan yang tak gentar. Di tangan kanannya, balutan perban masih setia menutupi luka akibat bentrokan tragis yang terjadi dua bulan lalu.
Nek Awe dipanggil untuk menjalani pemeriksaan polisi pada 6 Februari 2025. Tuduhan yang diarahkan kepadanya bukan main-main—Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan seseorang. Ia dan dua warga lainnya dituding telah menahan karyawan PT Makmur Elok Graha (MEG) sebelum bentrokan besar lanjutan yang mengguncang Rempang pada 18 Desember 2024.
Namun, dari segala tekanan itu, ia tak sendiri. Puluhan warga Rempang mengiringinya, menjadi saksi perjuangan yang tak lekang oleh waktu. Mereka adalah suar-suar kecil yang menyala di tengah kegelapan, tetap setia mendukung sang nenek yang kini telah menjadi simbol perlawanan.
Nek Awe lahir dan besar di tanah Rempang, sebuah tempat yang kini menjadi arena perebutan antara masyarakat lokal dan kepentingan besar yang dimotori PT MEG. Ia adalah keturunan ketujuh dari keluarga yang telah mendiami tanah itu sejak zaman Kerajaan Riau-Lingga.
“Kami di Rempang itu sudah tujuh turunan, Nak. Sampai nyang (buyut) Mak (sebutan dirinya padaku), pun dah ada sejak zaman dulu. Keluarga kami dulu ikut berjuang melawan penjajah,” kisahnya.
Ia menghabiskan hari-harinya dengan berjualan ayam penyet untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Pendapatan dari jualannya tak seberapa, tetapi cukup untuk kehidupan sehari-hari.
“Bapak dah tak kerja. Jadi, ini lah yang Mak bisa buat,” ujarnya.
Sekarang, segalanya berubah. Tanah yang diwariskan leluhur mereka terancam hilang, diambil alih demi pembangunan proyek yang mengatasnamakan kemajuan.
Bentrokan yang terjadi pada Desember 2024 itu meninggalkan luka yang tak hanya fisik tetapi juga emosional bagi warga Rempang. Bagi Nek Awe, peristiwa itu adalah pengingat pahit tentang bagaimana kekuasaan bisa begitu meremehkan hak-hak masyarakat kecil.
“Pas bentrok itu, polisi sama tentara ada di sana. Kalau betul kami menahan orang PT MEG, kenapa mereka tak bertindak saat itu? Kenapa baru sekarang kami dituduh macam ni?” tanyanya dengan nada getir.
Tangan kanannya yang masih diperban adalah saksi bisu dari kekerasan yang ia alami. Namun, luka itu tidak membuatnya gentar.
“Sekarang Mak dah tak takut, mau dipanggil polisi, dituduh ini itu, Mak dah tak takut,” katanya dengan suara mantap.
Perjuangan Nek Awe dan masyarakat Rempang lain bukan untuk diri mereka sendiri. Usianya sudah lanjut, dan ia tahu bahwa waktunya di dunia seakan tak lama. Tetapi, dia ingin memastikan bahwa anak, cucu, dan cicitnya tidak kehilangan hak atas tanah yang telah diwariskan selama tujuh generasi.
“Selagi berjuang, tetap berjuang sampai akhir. Ini perjuangan untuk anak cucu cicit Mak,” ujarnya.
Perjuangan ini tidak mudah. Ia menyadari ada sebagian masyarakat yang memilih jalan berbeda. Beberapa dari mereka, menurutnya, bahkan berkhianat demi kepentingan pribadi.
“Tapi tak apa lah. Itu jalan mereka. Kami di sini tetap melawan,” tambahnya.
Tuduhan yang diarahkan kepada Nek Awe terasa janggal. Ia mempertanyakan logika di balik pasal yang dikenakan padanya.
“Kami ini dah tua. Macam mana kami mau tahan mereka?” tanyanya dengan nada yang terdengar lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.
Menurut dia dan masyarakat Rempang, perjuangan ini bukan hanya soal mempertahankan tanah. Ini adalah soal harga diri, soal keadilan, dan soal hak untuk tetap hidup di tanah yang telah menjadi saksi sejarah keluarga mereka.
Di mata warga, Nek Awe bukan cuma seorang ibu atau nenek. Ia adalah simbol ketabahan, sosok yang berani berdiri tegak di tengah topan. Dalam langkahnya yang perlahan namun mantap, ada pesan yang ingin ia sampaikan kepada dunia: tanah ini bukan sekadar tanah, ini adalah warisan, identitas, dan kehidupan.
Di tengah tekanan yang terus mengimpit, Nek Awe tetap teguh. Ia tahu bahwa perjuangan ini tidak mudah dan mungkin akan berlangsung lama. Namun, ia percaya, kebenaran akan menemukan jalannya.
“Kami di sini tetap melawan,” ucapnya, dengan suara yang penuh keyakinan.
Di sofa hitam itu, setelah pemeriksaan di kantor polisi selesai, ia duduk dengan tenang. Namun, ketenangan itu tidak bisa menghapus ketegangan. Meski begitu, satu hal pasti: Nek Awe nampaknya takkan menyerah.
Di balik sosoknya yang kecil dan sederhana, Nek Awe membawa semangat perjuangan yang besar. Ia adalah suara dari mereka yang sering kali tak terdengar, simbol dari ketabahan yang tetap menyala di tengah gelapnya jalan.
Bagi masyarakat Rempang, ia adalah pelita yang menerangi jalan menuju keadilan. Bagi dunia, ia adalah pengingat bahwa tanah yang direbut, ada kisah, ada perjuangan, dan ada manusia yang berhak diperjuangkan. (*)
Reporter: Arjuna
spot_img

Update