Rabu, 25 September 2024

Aktivis HAM Serukan Investigasi Mendalam terhadap 5 WNI yang Dideportasi dari Malaysia,

Berita Terkait

spot_img
PMI Dideportasi scaled
Lima PMI yang dideportasi dari Malaysia saat baru tiba di Pelabuhan Batam Center, Selasa (24/9/2024). F Yashinta/Batam Pos

batampos – Selasa, 24 September 2024, hari di mana lima Warga Negara Indonesia (WNI) dideportasi dari Malaysia dengan cerita hidup yang begitu pilu. Semua dari mereka adalah perempuan, terjebak dalam nasib getir di tanah asing.

Di antara mereka, terdapat seorang bayi yang baru berusia 1 bulan, sementara yang lainnya berjuang melawan kondisi kesehatan yang parah–satu mengalami gangguan mental, seorang lagi buta, dan ada pula yang lumpuh.



Proses deportasi ini berlangsung dari Pelabuhan Stulang Laut di Johor Bahru, Malaysia, dengan tujuan Pelabuhan Feri Internasional Batamcenter, Kota Batam. Mereka bertolak sekitar pukul 14.00 WIB dan tiba di Batam dua jam kemudian, pukul 16.00 WIB.

Setiap langkah mereka seakan mengisyaratkan kepulangan yang tak menyisakan harapan, yang ada hanya kesedihan mendalam. Salah seorang Aktivis HAM, Chrisanctus Paschalis Saturnus, atau akrab disapa Romo Paschal, angkat bicara soal nasib tragis para Pekerja Migran Indonesia (PMI) ini.

“Kita turut prihatin dengan kondisi yang dialami oleh para pekerja migran,” katanya penuh simpati.

Romo Paschal menekankan pentingnya investigasi mendalam terkait asal mula perjalanan mereka hingga akhirnya harus menghadapi proses deportasi ini.

“Momen ini sebenarnya bisa jadi pintu untuk menyelidiki lebih dalam. Dari mana mereka berasal, apa yang terjadi pada mereka? Siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab atas kisah-kisah seperti ini?” ujar dia.

Dirinya menyerukan kepada Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), agar tidak hanya memastikan mereka kembali ke rumah dengan selamat, tetapi juga memberikan pengobatan dan bantuan yang dibutuhkan. Selain itu, investigasi lebih lanjut diperlukan untuk memahami bagaimana kondisi perlindungan hak asasi manusia terhadap pekerja migran, terutama terkait kesehatan fisik dan mental mereka.

Meski Undang-Undang di Indonesia menjamin perlindungan bagi pekerja migran yang mengikuti prosedur resmi, nasib PMI non-prosedural tampaknya tidak seberuntung itu. “Untuk konteks PMI non-prosedural, tidak ada jaminan,” katanya, mengungkap fakta pahit yang sering diabaikan.

Ketika ditanya tentang apa yang seharusnya dilakukan pemerintah Indonesia dalam menanggapi kasus ini, ia menyebut bahwa pemerintah harus tetap bertanggung jawab terhadap warganya, baik PMI prosedural maupun non-prosedural.

Dia sarankan agar pemerintah mengalokasikan anggaran khusus atau bekerja sama dengan organisasi kemanusiaan untuk memberikan perlindungan dan bantuan yang memadai.

Romo Paschal pun memberikan rekomendasi tegas untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. “Rendah hati, baca undang-undang, dan jalankan apa yang sudah ditetapkan dalam gugus tugas. Sebenarnya, kita sudah punya segalanya, tinggal hati kita saja, mau atau tidak menjalankannya,” katanya.

Nasib para pekerja migran yang terlantar di tanah asing, apalagi dengan kondisi yang sedemikian memprihatinkan, adalah cerminan dari masih adanya celah dalam sistem perlindungan tenaga kerja Indonesia. Hati nurani dan kebijakan yang tepat sangat dibutuhkan untuk memastikan takada lagi kisah tragis yang terulang di hari mendatang. (*)

 

spot_img

Update