
batampos– Fenomena sejumlah anggota DPRD Kota Batam yang kerap mendampingi kepala daerah dalam berbagai kegiatan, dari yang bersifat seremonial hingga inspeksi mendadak (sidak), menuai sorotan publik.
Tak sedikit yang mempertanyakan independensi legislatif yang seolah melebur dengan eksekutif, hingga menimbulkan kesan bahwa anggota dewan kini menjelma menjadi ‘pengawal’ kepala daerah.
Kehadiran anggota dewan dalam kegiatan kepala daerah bukan tanpa alasan. Hendra Asman, salah satu pimpinan DPRD Batam yang acap kali terlibat, mengatakan bahwa dirinya hadir dalam berbagai kegiatan kepala daerah bukan untuk mendampingi secara simbolis, melainkan dalam kapasitas sebagai penyelenggara pemerintahan daerah.
Menurut dia, DPRD bukanlah lembaga independen yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari unsur penyelenggara pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kerangka ini, DPRD memiliki tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan.
BACA JUGA: Ketika Legislator Menyisihkan Fungsi Kontrol, Fenomena ‘Pengawalan’ DPRD ke Kepala Daerah di Batam
“Tugas pengawasan itu bisa kami jalankan dalam berbagai bentuk, seperti rapat kerja, kunjungan lapangan, rapat dengar pendapat, hingga menindaklanjuti aduan masyarakat,” katanya, Senin (14/4).
Ia menambahkan, aduan masyarakat sering kali datang secara lisan, dan kehadiran langsung bersama kepala daerah dalam sidak dinilai sebagai langkah cepat dan responsif. Isu-isu krusial seperti penanganan sampah, banjir, serta pelayanan publik yang lamban menjadi pemicu utama keterlibatan intensif para legislator. Pihaknya tidak tinggal diam terhadap keluhan masyarakat yang kian memuncak sejak akhir 2024.
“Sebagai perwakilan rakyat, kami berkewajiban menyampaikan aspirasi masyarakat kepada eksekutif. Turun ke lapangan bersama kepala daerah adalah bentuk konkret dari pengawasan yang aktif dan langsung,” ujarnya.
Namun, posisi Hendra dan koleganya ini tidak lepas dari kritik. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau Kepulauan (Unrika), Rahmayandi Mulda, mengingatkan, terlalu seringnya anggota dewan terlihat mendampingi kepala daerah bisa menimbulkan persepsi negatif.
“Jika anggota dewan terkesan menjadi pengawal wali kota, itu menunjukkan ketidakpahaman terhadap fungsi pengawasan legislatif. Ini bisa melemahkan prinsip check and balance dalam pemerintahan,” katanya.
Dia menilai, fenomena ini juga membuka potensi pelanggaran etika dan konflik kepentingan, mengingat tugas legislatif dan eksekutif secara prinsip sangat berbeda. Satu berkutat pada legislasi dan pengawasan, satu lagi pada eksekusi kebijakan.
Faktor budaya, politik, dan ekonomi disebutnya menjadi penyebab melemahnya independensi lembaga legislatif. Dalam banyak kasus, relasi antara legislatif dan eksekutif tidak lagi menjaga batas profesional, tapi justru cenderung transaksional.
“Partai politik memiliki peran besar dalam memperkuat atau justru melemahkan independensi ini. Apalagi pasca-Pemilu 2024, banyak koalisi besar yang terbentuk dan cukup solid. Ini bisa memicu terjadinya ‘perselingkuhan’ antara dua lembaga,” kata Rahmayandi.
Dampaknya, kebijakan yang dihasilkan terkesan lebih mengakomodasi kepentingan kekuasaan ketimbang kepentingan rakyat. Produk hukum seperti perda atau kebijakan anggaran bisa saja menjadi alat legitimasi kekuasaan apabila pengawasan tak berjalan semestinya.
Sementara Hendra sendiri tidak menampik bahwa kedekatannya dengan kepala daerah turut dipengaruhi oleh afiliasi partai. Namun, ia menegaskan, dukungannya terhadap program-program wali kota tetap berada dalam koridor hukum dan pengawasan yang kritis.
“Sebagai kader Partai Golkar, memang kami bagian dari partai pengusung kepala daerah. Tapi secara moral dan etika, kami wajib memastikan program kepala daerah berjalan sesuai aturan tanpa harus kehilangan daya kritis sebagai wakil rakyat,” ujar Hendra.
Menurutnya, keberhasilan kepala daerah dalam mewujudkan visi Batam sebagai Bandar Dunia Madani yang berkelanjutan dan berbudaya juga menjadi tanggung jawab DPRD, sebab legislatif memegang kendali atas anggaran dan peraturan daerah yang menopang visi tersebut.
Hendra menegaskan, keterlibatan legislatif diperlukan untuk memastikan setiap program prioritas bisa berjalan efektif dan efisien. Tanpa pengawasan yang melekat, pelaksanaan program bisa menyimpang dari rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).
Namun, Rahmayandi kembali mengingatkan pengawasan tidak berarti harus selalu tampil bersama kepala daerah. Justru, pengawasan idealnya dilakukan secara objektif dan berjarak, agar tetap menjaga integritas fungsi kontrol yang diemban oleh dewan.
Ia pun mendorong masyarakat untuk lebih kritis dan vokal terhadap situasi ini. Media sosial disebutnya sebagai alat penting untuk menyuarakan kritik dan tekanan publik terhadap pejabat publik, agar mereka tetap berpijak pada amanat rakyat.
“Jika masyarakat diam, maka potensi penyimpangan akan semakin besar. Peran masyarakat sangat penting untuk mengontrol dinamika kekuasaan agar tetap berpihak pada kepentingan publik,” ujar Rahmayandi.
Di sisi lain, DPRD juga didorong untuk membangun kembali kepercayaan publik melalui penguatan ikatan emosional dengan masyarakat. Menurut Rahmayandi, hal ini penting agar fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat.
Sebagai ujung tombak demokrasi lokal, DPRD semestinya menjadi benteng pertama dalam menjaga akuntabilitas pemerintahan daerah. Ketika fungsi itu lemah, maka rakyatlah yang paling dirugikan.
Fenomena ‘anggota dewan jadi pengawal’ ini menjadi pengingat, seyogyanya batas antara kekuasaan dan pengawasan tidak boleh kabur. Transparansi dan integritas harus tetap dijaga, di tengah tuntutan kolaborasi antar lembaga dalam membangun daerah. (*)
Reporter: Arjuna