Kamis, 25 April 2024
spot_img

Apindo Batam Ajak Pekerja Awasi Dana JHT

Berita Terkait

spot_img
BPJS Ketenagakerjaan BP Jamsostek
Ilustrasi

batampos – Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan aturan baru terkait pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT), yakni Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.

Dalam aturan baru tersebut, manfaat JHT hanya dapat dicairkan apabila usia peserta BPJS Ketenagakerjaan mencapai 56 tahun. Sehingga aturan baru tersebut mendapat penolakan dari buruh dengan melakukan aksi unjuk rasa.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Batam, Rafki Rasyid sangat memahami kekecewaan yang dirasakan oleh buruh dengan dikeluarkannya aturan baru tersebut. Menurutnya, manfaat JHT yang baru bisa dicairkan ketika sudah 56 tahun akan membuat perbedaan yang sangat signifikan.

Dibandingkan dengan yang sebelumnya, manfaat JHT bisa dicairkan ketika buruh terkena PHK atau pemutusan kontrak. Sehingga, buruh yang terkena PHK dan pemutusan kontrak itu bisa menyambung hidup sementara dengan JHT itu.

“Kalau sekarang tentu ada perbedaan dan mereka tidak bisa lagi mencairkan sampai usia 56 tahun,” ujarnya, Rabu (15/2).

Meski demikian, pemerintah kata Rafki, telah mempersiapkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), meskipun besarannya tidak sama dengan JHT. Dimana, pemerintah akan memberikan 45 persen dari gaji yang diterima selama 3 bulan dan 25 persen pada 3 bulan berikutnya.

“Program itu sebagai bentuk tanggungan pemerintah untuk orang yang kehilangan pekerjaan,” katanya.

Meski demikian Rafki kembali menekankan bahwa besaran yang akan diterima pekerja itu tidak sebesar JHT.

“Ketika dia bekerja 5 tahun misalkan, itu lumayan untuk menyambung hidupnya sampai mendapatkan pekerjaan baru,” tuturnya.

Ia juga memahami dan menghormati aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh buruh. Karena aksi itu adalah bentuk kekecewaan dari buruh. Namun, ia kembali mengajak pekerja untuk berpikir realistis.

Definisi JHT itu tidak lain adalah jaminan kepada seseorang yang sudah memasuki usia yang tidak produktif. Dikatakannya, saat ini tidak akan terasa. Namun kedepannya ketika sudah tidak bisa lagi bekerja baru akan terasa.

“ni positifnya disitu. Ketika ditahan sampai hari tua, itu akan ada jaminan kepada pekerja untuk tidak terlantar ketika sudah tidak bekerja,” katanya.

Disisi lain, ia juga melihat aturan ini sedikit kaku. Ia mencontohkan, ketika seseorang berusia 35 tahun kehilangan pekerjaan dan sudah melamar kerja baru di tempat lain, namun tidak diterima karena masalah usia. Sementara JHT yang ia miliki tidak bisa dicairkan. Tentunya hal ini akan menjadi beban pekerja.

Sehingga, ia memberi masukan kepada pemerintah untuk tidak kaku. Seharusnya dalam aturan tersebut juga disebutkan, ketika seseorang sudah tidak bekerja dalam sekian waktu, maka JHT itu dapat dicairkan dan seseorang itu bisa membuka usaha kecil-kecilan.

“Tapi ini kan tidak bisa, nunggu sampai usia 56 tahun. Sementara dia sudah tidak bisa sambung lagi pekerjaannya. Jangan sampai semua nunggu 56 tahun,” katanya.

Dilanjutkannya, ia melihat banyaknya penolakan pada aturan baru ini karena tidak adanya kepercayaan masyarakat kepada pihak yang mengelola uang jaminan asuransi maupun pensiun. Seperti contoh, adanya kasus korupsi hingga triliunan rupiah di perusahaan ASABRI dan perusahaan asuransi lainnya.

“Jadi pekerja melihat uang ditaruh disitu sekian tahun, apa jaminannya tidak dikorupsi? Apa jaminannya ini tidak akan hilang?” bebernya.

Meskipun Apindo tidak punya hak dengan JHT itu, ia menegaskan bahwa pengusaha juga ikut membayar iuran itu setiap bulannya. Sehingga, ia megajak seluruh pekerja bersama-sama mengawasi uang yang dibayarkan setiap bulan tersebut.

“Artinya secara organisasi, Apindo dan serikat itu harus betul-betul mengawasi BPJS ini. Jangan sampai terjadi hal-hal yang membuat hilangnya atau berkurangnya uang yang diletakkan di BPJS itu,” katanya.

Apalagi, dalam beberapa waktu yang lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa uang yang berada di BPJS Ketenagakerjaan digunakan untuk investasi ke bursa saham dan merugi hingga Rp 32 triliun. Sehingga, jika dibiarkan dan tidak diambil langkah pencegahan, maka uang yang disetorkan setiap bulan itu juga bakal hilang.

“Artinya ketika pekerja nanti pensiun, kalau uangnya tidak ada, itu yang ditakutkan oleh masyarakat,” katanya.

Untuk itu, ia mengajak seluruh pekerja untuk mengawasi ini. Meskipun tidak ada perubahan aturan setelah adanya desakan dari buruh. Karena, iuran ini harus tetap dibayarkan setiap bulannya dan jika terkena PHK, pekerja bisa dipastikan menerima dana pensiun.

Dengan adanya pengawasan itu, dana JHT yang jumlahnya cukup besar itu juga akan menjadi jelas bagaimana pengunaannya, pemanfaatannya, dan bagaimana penempatannya.

“Memang selama ini, kita juga dilibatkan sebagai pengawas di BPJS Ketenagakerjaan. Tapi tentu harus kompak dalam mengawasi ini,” imbuhnya. (*)

Reporter : Eggi Idriansyah

spot_img

Update