batampos – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Batam menolak rencana penerapan pemotongan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) oleh pemerintah. Pemberlakuan Tapera disinyalir akan memberatkan bagi pekerja dan pengusaha.
Hal ini dipaparkan Ketua Apindo Batam, Rafki Rasyid. Ia mengatakan karena pungu-tan iuran Tapera akan membebani kedua belah pihak baik pengusaha maupun pekerja.
”Sejak awal Apindo sudah menyatakan menolak program ini,” kata dia kepada Batam Pos, Rabu (29/5).
Apindo menilai aturan Tapera terbaru dinilai semakin menambah beban baru, baik baik pemberi kerja maupun pekerja.
Saat ini, beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24-19,74 persen dari penghasilan pekerja dengan rincian berikut. Pertama, Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK). Berdasarkan UU No. 3/1999 Jaminan Hari Tua 3,7 persen. Jaminan Kematian 0,3 persen. Jaminan Kecelakaan Kerja 0,241,74 persen, dan Jaminan Pensiun 2 persen.
Jaminan Sosial Kesehatan, berdasarkan UU No.40/2004 SJSN Jaminan Kesehatan 4 persen. Cadangan Pesangon berdasarkan UU No. 13/2003 Ketenagakerjaan sesuai dengan PSAK Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 24/2004 berdasarkan perhitungan aktual sekitar 8 persen.
Adanya pemotongan Tapera ini akan jadi beban semakin berat dengan adanya depresiasi Rupiah dan melemahnya permintaan pasar. ”Menurut kita pemerintah diharapkan dapat lebih me-ngoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan,” ujarnya.
Sesuai PP maksimal 30 persen atau Rp138 triliun, maka aset JHT sebesar Rp460 triliun dapat digunakan untuk program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja. Dana MLT yang tersedia sangat besar dan sa-ngat sedikit pemanfaatannya.
”Untuk sikap lebih lanjut kita menunggu arahan lebih lanjut dari DPN Apindo menyikapi kebijakan baru ini,” terangnya. Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sendiri aturannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020.
Ketua FSPMI Kota Batam, Yafet Ramon, mengungkapkan, wacana Tapera sebenarnya sudah pernah menjadi pembahasan di kalangan para buruh pada 2020 lalu. Ia mengatakan, kebutuhan rumah untuk pekerja itu tidak masalah, namun jangan sampai menambah beban kepada pekerja.
Perumahan untuk rakyat adalah kebutuhan perumahan untuk buruh, kelas pekerja dan rakyat adalah kebutuhan primer seperti halnya kebutuhan makanan dan pakaian (sandang, pangan, dan papan). Yafet menegaskan, bahkan di dalam UUD 1945 negara diperintahkan untuk menyiapkan perumahan sebagai hak rakyat.
Tapera yang dibutuhkan buruh dan rakyat adalah kepastian untuk mendapatkan rumah yang layak melalui dana APBN dan APBD. Tetapi persoalannya, kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera. Karena membebani buruh dan rakyat.
Ia berharap Tapera tidak menambah beban. Pertama, belum ada kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera. Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.
Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen dibayar pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di-PHK.
Sekarang ini, upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3 persen per bulan maka iurannya adalah sekitar Rp105.000 per bulan atau Rp1.260.000 per tahun.
Karena Tapera adalah tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000.
Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga Rp12,6 juta atau Rp25,2 juta dalam 20 tahun ke depan. Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah.
Ia mengatakan dengan iuran 3 persen yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah.
Alasan kedua mengapa Tapera membebani buruh dan rakyat saat ini adalah, dalam lima tahun terakhir ini, upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30 persen. Hal ini akibat upah tidak naik hampir 3 tahun berturut-turut, dan tahun ini kenaikan upah murah sekali. Bila dipotong lagi 3 persen untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat, apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha.
”Kami menolak program Tapera dijalankan saat ini karena akan semakin memberatkan kondisi ekonomi buruh, rakyat dan peserta Tapera. Kami sedang mempersiapkan aksi besar-besaran utuk isu Tapera, Omnibus Law UU Cipta Kerja, dan program KRIS dalam Jaminan Kesehatan yang semuanya membebani rakyat,” tegasnya.
Hal senada diungkap oleh ujar Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar. ”Jadi kadang memang kita kebanyakan ikut seminar motivasi. Pemerintah sering ikut seminar motivasi jadi terlalu inovatif. Sampai yang nggak masuk akal pun dipajakin. Akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa Indonesia ini unik,” katanya, Rabu (29/5).
Tidak ada satu negara di dunia yang memaksa pekerjanya untuk berkontribusi secara masif dan mengerikan seperti Indonesia. Bahkan Media menyebut, seolah-olah negara melakukan perampokan. Kenapa? Karena memaksa para pekerja untuk melakukan iuran perumahan dan baru akan bisa diambil ketika sudah pensiun.
Jika Presiden Joko Widodo mengibaratkan iuran BP Tapera seperti BPJS Kesehatan, Media menilai sepertinya kurang pas. Sebab, kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan itu merupakan dasar dan bersifat melekat. Sehingga kebutuhannya relatif umum dan wajar ketika golongan yang mampu membantu yang miskin.
Begitu pula BPJS Ketenagakerjaan. Karena para pekerja terdapat dihadapkan pada risiko kecelakaan kerja. Yang mana sifat iurannya sebagai asuransi. Misalnya, ketika seorang ayah meninggal saat bekerja dan merupakan satu-satunya pencari nafkah di keluarga. Praktis akan memengaruhi kondisi ekonomi maupun keuangan istri dan anaknya.
“Bisa miskin tiba-tiba. Dan itu risetnya clear. Jadi dua itu, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, bahwa memang ketika ada asuransi atau jaminan ketika terjadi shock secara finansial akibat kesehatan, meninggal, atau kecelakaan kerja itu ditopang oleh asuransi. Jadi negara step up kemudian menyediakan fasilitas asuransi melalui mobilisasi uang publik untuk disalurkan bagi mereka yang membutuhkan,” jelas Media.
Secara teori ekonomi sektor publik, kesehatan, pendidikan, dan keselamatan tenaga kerja merupakan public goods. Artinya tiga aspek tersebut harus disediakan oleh negara. Sedangkan, perumahan di negara manapun akan selalu menjadi kebutuhan privat. Karena memang alaminya perumahan itu sangat individualis. Terdapat aspek ownership dan keputusan untuk membeli rumah atau tidak.
“Apakah mau tinggal di rumah orangtua? Mau rumah mewah atau sederhana? Artinya ada kebutuhan yang tidak terbatas. Sehingga ketika itu dijadikan public goods, kekacauan pasti akan terjadi,” terangnya.
Dari sisi akuntabilitas, kapasitas BP Tapera dalam mengelola uang yang sedemikian besar belum jelas. Iuran 3 persen dari para pekerja di Indonesia itu bisa mencapai triliunan rupiah hanya dalam sekali penarikan iuran. Ada pula istilah bank kustodian yang ditunjuk untuk mengelola uang itu. “Ini mengerikan sekali risiko penyelewengan dananya. Karena yang dikelola besar sekali,” tegasnya.
Dari sisi pekerja, tentu akan berpengaruh negatif terhadap konsumsi, kesejahteraan, bahkan semua orang akan berusaha menghindari pajak. Ini berbahaya. Terutama bagi masyarakat yang sudah punya rumah, akhirnya mereka seperti mengalami perampokan.
”Maksudnya, seseorang ketika hendak berinfak, maka infak saja. Tapi boleh lo kalau tidak mau berinfak. Itu kan hak kita. Masa negara seperti ini?” tegas Media.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo ikut merespons kebijakan Tapera. Bamsoet, sapaan akrabnya mengatakan, aturan tersebut harus dikaji ulang secara mendalam, karena menimbulkan pro kontra di tengah-tengah masyarakat. ”Harus dikaji kembali,” terangnya di kompleks parlemen, Senayan, kemarin.
Mantan Ketua DPR RI itu menyatakan, yang perlu dilakukan pemerintah adalah meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat. Bukan malah memotong pendapatan masyarakat tanpa mengetahui manfaatnya.
Jadi, pendapatan setiap rumah tangga harus terus ditingkatkan, sehingga daya beli masyarakat bisa meningkatkan. ”Jangan malah dipotong pendapatannya, karena masyarakat akhirnya tidak bisa mewujudkan kebutuhan rilisnya,” bebernya.
Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Demokrat Herman Khaeron memberikan sejumlah catatan terhadap kebijakan Tapera. Pertama, kata dia, pembayaran iuran pemotongan gaji harus dikelola badan pengelola yang akuntabel. ”Dan juga harus memberikan jaminan jangka panjang,” terangnya di kompleks parlemen, Senayan, kemarin.
Ketua DPP Partai Demokrat itu mengatakan, Tapera merupakan program yang panjang dan berkesinambungan. Sebab, tenor Tapera bisa mencapai 30 tahun. Catatan kedua, lanjut Herman, apakah iuran tersebut hanya akan diberikan dalam bentuk rumah atau bisa diberikan berupa uang?
Berikutnya soal lokasi perumahan dari program Tapera. Menurutnya, hal itu menjadi pertanyaan penting, apakah lokasi perumahan sudah ditentukan saat melakukan pendaftaran?. ”Pelaksanaan Tapera untuk PNS yang selama ini sudah berjalan bisa menjadi pelajaran,” katanya.
Senada, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak program Tapera dijakankan saat ini. Sebab, program ini disinyalir akan semakin memberatkan kondisi ekonomi buruh, PNS, TNI, Polri dan peserta Tapera.
Diakui Presiden KSPI Said Iqbal, kebutuhan perumahan untuk kelas pekerja dan rakyat memang merupakan kebutuhan primer. Sama halnya kebutuhan makanan dan pakaian (sandang, pangan, dan papan).
”Di dalam UUD 1945, negara diperintahkan untuk menyiapkan perumahan sebagai hak rakyat. Kemudian, dalam 13 platform Partai Buruh, jaminan perumahan adalah jaminan sosial yang akan kami perjuangkan,” ujarnya.
Meski begitu, Iqbal memberi catatan bahwa, Tapera yang dibutuh buruh dan rakyat adalah kepastian untuk mendapatkan upah yang layak melalui dana APBN dan APBD. Bukan dipotong dari upah buruh.
”Kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera. Karena membebani buruh dan rakyat,” tegasnya.
Bukan hanya itu, dia juga menyoroti soal belum adanya kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program ini. Sehingga, apabila masih dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.
”Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen dengan 0,5 persen dibayar pengusaha dan dibayar buruh 2,5 persen, maka tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK,” tegasnya. (*)
Reporter: Yulitavia