Kamis, 18 April 2024
spot_img

Bambang Soediono Soeroso, Pembina Yayasan Manunggal Cipta Rasa Karsa dan Karya    

Berita Terkait

spot_img
F 1 Figur Pak Bambang SMK MHS Sabtu 11 Maret 2023 4
Bambang Soediono, Sabtu 11 Maret 2023. F Suprizal Tanjung

Kebijakan Sering Berubah, Sekolah Swasta Kurang Siswa

PANTANG menyerah dalam keadaan apapun. Begitulah sosok dari Pembina Yayasan Manunggal Cipta Rasa Karsa dan Karya, Bambang Soediono Soeroso (77). Di usianya yang senior ini, Bambang tetap tidak kehilangan ciri khasnya. Bersemangat. Ingatannya tajam. Mendetil. Padahal masalah yang ditanya adalah peristiwa sekitar 50-60 tahun lalu.

BACA JUGA: Drs Buralimar MSi, Mantan Birokrat Bergabung di PDI-P Kepri

Dengan kepribadiannya yang relatif lengkap tersebut, dia telah menerjuni berbagai pekerjaan. Pernah Ketua KONI Batam hingga ketua persatuan pecinta burung di Batam. Bagaimana lengkapnya? Kepada redaktur Batam Pos, Suprizal Tanjung di Jalan Kuda Laut Kaveling 121 Kelurahan Jodoh, Kecamatan Batuampar, Batam, Sabtu (11/3/2023), Bambang membagikan suka duka perjalanan  hidupnya dari Kalimantan Barat (Kalbar), Singapura dan sampai ke Batam. Termasuk menceritakan banyak kisah unik, lucu, soal nakalnya anak muda, namun itu hanya menjadi kenangan diri pribadi dan orang terdekat.

BACA JUGA: Ns Didi Yunaspi MKep, Wakil Rektor IKMB Batam

Bagaimana sejarahnya Anda tiba di Batam?

Ceritanya cukup panjang. Singkatnya. Saya dulu tamat kuliah Jurusan Akademi Perhubungan Maritim Surabaya, Jawa Timur (Jatim) sekitar tahun 1967-1971. Tamat dari situ. Dalam usia masih muda saya Sign on (masuk, red) bekerja  di Perhutani Proyek Khusus Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) tahun 1971.  Di Pontianak ketika itu, pabrik tak jalan, mati, tak ada kayu. Oleh pimpinan, saya disuruh menjadi surveyor untuk menentukan apakah kayu itu bisa diekploitasi atau tidak.

BACA JUGA: Sirajudin Nur, Wakil Ketua Komisi IV DRPD Kepri

Mulailah saya memasuki tahap pertama yaitu datang dengan rombongan dengan speed boat merek Evinrude, 124 PK. Singgah di beberapa lock pound (kantor, pos administrasi, kamp, red). Kami bawa beras mie, rokok, kornet dan aneka makanan instant lainnya. Saya bagikan kepada masyarakat Dayak di kampung terdekat di tepi sungai. Saya menyatu dan tinggal dengan  orang Dayak yang dituakan (ketua, red) di sana. Mereka berbahasa Melayu Kalimantan dan saya berbahasa Indonesia. Ya. Ada sedikit berbeda. Namun kami bisa saling mengerti. Kami saling menghormati dan menghargai agama dan budaya masing-masing. Sama seperti di tempat lain. Ini adalah strategi berkomunikasi menjelang survei kayu.

Begitu komunikasi lancar, saya pun mengutarakan keinginan kepada ketua masyarakat Dayak tadi untuk minta izin masuk hutan. Minto tolong tunjukkan di titik mana bisa masuk  hutan, dan bisa ”melihat” hutan mana yang bisa diolah. Sebab kalau tidak minta izin secara spiritual, jangan heran kita nanti tidak bisa melihat hutan sama sekali di belantara tanaman raksasa tersebut.

Saat sudah bisa masuk hutan di titik yang tepat, mulailan saya buat makalah, mensurvei, melihat titik koordinat kayu, menganalisa jenis kayu seperti ramin, mentibu dan jelutung. Menganalisa keadaan, membuat garis lurus untuk mendapatkan kayu. Saya dibantu 15-20 masyarakat Dayak, menebas rotan jelutung, membuat  jalan setapak, sampai membuat rel kereta untuk mengangkut kayu. Kayu itu digunakan untuk dipakai dalam negeri dan juga luar negeri. Banyak pengalaman di hutan belantara, termasuk menjumpai hal-hal bersifat spritiual.

Lama bekerja di sana?

Cuma tiga tahun. Saya merasa mengekploitasi hutan bukan bidang saya. Saya bidangnya di kemaritiman. Sekitar tahun 1973, saya minta kepada pimpinan agar bisa berhenti dan menjadi shipmen (pelaut) dan bisa pergi keluar negeri. Namun pimpinan tidak setuju begitu juga dengan kawan-kawan dan  pengusaha di sana. Sebab saya banyak memberikan manfaat untuk kemajuan Perhutani dalam mendapatkan kayu dan lainnya. Saya tetap minta berhenti. Akhirnya saya diizinkan naik kapal dan berlayar menuju Singapura tahun 1973. Dua bulan di kapal, saya tidak cocok. Mabuk laut, muntah-muntah terus. Bagaimana mau kerja di kapal? Mabuk laut laut. Pimpinan dari kapten kapal  itu kawan saya. Jadi mereka segan dengan saya. Saya tidak bekerja tapi tetap dapat uang jangkar (gaji tip, red) sebanyak 10 dolar setiap hari sebagai pelaut. Uang jangkar kecil sekali dibandingkan gaji saya di Perhutani. Gaya pelaut yang mabuk di bar, pakai anting dan lainnya saya ikuti. Tapi itu bukan hidup dan bidang saya. Saya bertekat untuk berhenti.

Mendarat di Singapura, saya turun dan datang ke Embassi, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura. Saya orang lapangan. Biasa bebas bersikap dan bergaul dengan level manusia mana saja. Di Negeri Singa itu saya sign off (keluar, berhenti, red) dari Perhutani. Saya melamar kerja di Pertamina Otorita Batam (OB)  yang kantornya di KBRI Singapura. Saat itu, Ketua OB adalah Ibnu Sotowo (1971-1976) dan Pelaksana  Harian OB adalah Kolonel Abi Hasan Said. Saya diterima Pak Abi Hasan Said. Besoknya langsung disuruh berangkat ke Batam. Itulah awal singkat saya dari Surabaya, Pontianak, Singapura dan ke Batam.

Lancar?

Alhamdulillah. Semua atas usaha dan pertolongan Allah. Di OB yang berada atas Bumi Melayu ini saya bekerja dengan penuh semangat. Sesuai dengan jiwa muda saya yang suka tantangan dan terus bergejolak. Di tengah pekerjaan itu, saya merasa  ada yang tidak cocok. Saya berhenti sekitar tahun 1978. Jadi di BOB sekitar 5-6 tahun saja. Selain soal jabatan tadi, juga soal gaji Rp 40 ribu. Dan semua fasilitas saya free (gratis). Saya lihat penghasilan itu tak cocok. Kerja 24 jam, gaji Rp 40 ribu atau sekitar 700 dolar Singapura. Dengan kurs, Rp 63  per satu dolar. Tapi tak diberhenti hentikan. Saya minta izin bisa usaha kepada pihak OB. Saya urus dokumentasi Tenaga Kerja Asing (TKA) yang harus melalui enam departemen di pemerintahan. Saya juga usaha lagi rental office mobil. Ketika  itu ada 5 All Company. Satu company ada dua mobil.

Saya kemudian usaha lagi. Minta lahan kepada Pak Mayjen TNI (Purn) Soedarsono Darmosoewito yang menjabat sebagai Kabalak OB mulai tahun 1978 dekat SMK MHS saat ini. Lahan itu itu saya bangun kantor dan disewakan kepada all company (industri berat, red) yang bergerak di bidang pelayaran. Usaha saya lancar, namun kadang ada macet juga. Lama hidup, banyak pemimpin saya temui dan idolakan. Salah satunya Ketika Pak BJ Habibie menjadi Ketua OB (1978-1998).

Tadi sebut ada macet.

Tepat. Tahun 2007, saya mulai melirik usaha pendidikan dengan mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Multi Studi High School (MHS) di atas lahan eluas 5.600 meter persegi itu. Anak saya Aji Sawung Pamungkas yang sudah selesai kuliah di Selandia Baru (New Zealand) akan bekerja di Australia, saya suruh pulang. Namun Aji tak mau. Dia minta agar membuka usaha.  Usaha apa? Pendidikan. Oke. Saya dirikan SMK MHS ini. Saya mau Aji pulang tidak bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau bekerja dengan orang lain. Buka usaha saja.

Kepala Sekolah (Kepsek) pertama di SMK MHS ini adalah Untung Suyitno. Dia adalah mantan  Kepsek SMPN 4 dan mantan Kanpora Batam. Saya minta Pak Untung mengurus berbagai perizinan kepada Kadis Pendidikan Batam, Pak Muslim Bidin. Kita mengadakan ruangan belajar, komputer diadakan sekian puluh unit, laboratorium, perpustakaan dan lainnya. Urusan secara akademik bagian Untung. Urusan secara non akademik (keuangan pergaulan dan lainnya, red)  itu bagian saya. Saya learning by doing. Kita kerja sama.

Banyak siswa mendaftar?

Alhamdulillah. Saya minta Pak Untung datang ke berbagai SMP di Batam mengenalkan SMK MHS. Itu cukup berhasil. Awalnya, siswa kita sekitar 130 orang. Kini makin bertambah. Gedung di SMK MHS ini awalnya diperkirakan bisa menampung 600 sampai 800 siswa. Tapi itu tidak terealisasi. Sebab semua ruangan di gedung ini harus dibagi lagi  untuk laboratorium, ruang komputer, perpustakaan, ruang guru, ruang kepala sekolah, ruang yayasan, dan lainnya. Itu  harus ada. Kantin saja, akhirnya kita jadikan ruang belajar. Laboratorium dulu 4 ruangan, kini 7 ruangan. Dari beberapa kelas kini ada 27 kelas dan sekitar 40 guru.

Jurusan di MHS?

Ada empat yaitu: Teknik Komputer dan Jaringan; Rekayasa Perangkat Lunak; Seni Tari dan Budaya; Akuntansi dan Multimedia.

Ada masalah terkait guru?

Ini menarik. Kita kekurangan guru terus. Guru kita berhenti karena masuk sebagai PNS. Tiap tahun ada penerimaan guru PNS. Soal gaji. Kita bayar dua kali sebulan karena siswa tidak on time membayar SPP.  Saya membantu guru agar menerima keadaan ini. Karena saya sendiri tidak mampu lagi mengatasi ini. Guru-guru muda bisa menerima keadaan ini. Tidak dengan guru senior. Kamipun  hanya menerima guru muda di sini, guru idealis. Bukan senior.

Kita juga mengambil praktisi, orang perusahaan dan mahasiswa mengajar di MHS. Selain itu, untuk mengatasi guru yang kurang, kita merekrut guru dari luar Batam. Mereka diberi ongkos tiket datang ke Batam. Tempat tinggal gratis. Banyak kasus. Uang tiket diberi di muka. Eeh si guru tidak jadi datang ke MHS, uang hilang. Ha ha. Kini pola diubah. Calon guru itu datang dulu, baru nanti uang tiketnya diganti.

Soal murid?

Target kita, siswa baru 200-225 masuk tiap angkatan. Total 600 siswa aktif. Maka kita bisa survive. Teryata kita tidak mencapai 200 siswa di tiap angkatan. Karena yang masuk di SMK MHS  ini  adalah ”muntahan” dari SMAN/ SLTA.  Kebijakan pemerintah berubah-ubah. Hasusnya SMA/ SMK menerima 30-35 siswa, tapi bisa menjadi 40-45 siswa. Sekolah swasta menjadi kekurangan siswa. Sementara biaya sekolah kita murah tapi bukan murahan. Uang saya tekor. Biaya operasional, gaji guru, biaya PLN, biaya ATB tidak sebanding dengan pemasukan. Ditambah lagi siswa susah membayar tidak tepat waktu macet. Di atas 50 persen macet SPP. Macet 2-3 bulan. Anehnya ada siswa macet bayar SPP tapi bisa kredit motor. Ha ha. Banyak kasus. Kini polanya saya ubah menjadi Belajar dan Membayar Tepat Waktu. Intinya. Kalau siswa belajar saja tanpa membayar, sekolah akan bankrut. Begitu juga bila membayar saja tanpa belajar. Siswa akan bodoh. Jadi harus seimbang. Ini membangun kedisiplinan.

 Kan ada dana BOS?

Saya minta kepada Kepsek SMK MHS agar dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak boleh digunakan selain untuk ketentuan yang berlaku. Dana tersebut dapat dipergunakan untuk keperluan sekolah, seperti pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah hingga membeli alat multimedia untuk menunjang kegiatan belajar mengajar.

Ada perubahan?

Pasti. Kini sudah bergeser pandangan masyarakat terhadap MHS. Kalau dulu masuk MHS bila tidak diterima di SMAN/ SMKN. Kini masuk MHS benar-benar murni mau masuk. Dimana kita tahu? Mereka mendaftar sebelum lulus ujian di SMP/ STLT. Mendaftar di MHS itu bayar. Artinya bila tidak serius. Tak mungkin siswa mau mendaftar di MHS. Hari ini saja sudah mendaftar 109 siswa masuk gelombang ke-3.

Total siswa aktif sekitar 490-510 orang. Break Even Point (BEP), idealnya akan terjadi bila jumlah siswa sudah mencapai 600 orang. Bisa juga total siswa 500. Tapi harus menaikkan SPP. Ini tidak mungkin. Siswa akan keberatan, menjerit. Kini SPP antara Rp 500 ribu – Rp 550 ribu. Jadi belum BEP dan belum ideal. Kita terus berjuang dan melakukan perubahan  untuk perbaikan MHS.

Mengenai organisasi?

Banyak organisasi saya masuki. Jadi ketua, pengurus dan pembina. Pernah menjadi ketua KONI Batam, Ketua pecinta burung di Batam, paguyuban dan lainnya. Organisasi itu tujuannya pengabdian kepada masyarakat. Banyak dana keluar ratusan hingga miliaran rupiah. Ketua harus siap keluar tenaga, waktu dan uang. (*)

Biografi

Nama: Bambang Soediono Soeroso
Lahir: Di Ngawi, Jawa Timur (Jatim) 21 April 1946.
Saudara: Anak ke-2 dari 7 bersaudara.

Keluarga
Istri: Renny Anggraini.
Anak: Aji Sawung Pamungkas. 1980.
: Paras Peksi Wulandari. 1982.

Pendidikan
SD. Bogor dan Blitar. 1959.
SMP. Blitar dan Banyuwangi. 1963.
SMA. Banyuwangi dan Malang. 1967.
S1. Akademi Perhubungan Maritim Surabaya. 1967-1971.

Reporter: Suprizal Tanjung

spot_img

Update