Jumat, 20 September 2024

Banyak Anak Terjerat Pidana di Batam

Berita Terkait

spot_img
polsek sekupang asusila
Personel Polsek Sekupang mengiring para pelaku Curanmor yang merupakan anak di bawah umur. Foto: Humas Polresta Barelang

Kasus kejahatan yang melibatkan anak di bawah umur di Batam, terus meningkat. Mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah.

Reporter: RENGGA YULIANDRA, YASHINTA, YOFI YUHENDRI



EMPAT anak di bawah umur harus meringkuk di tahanan Polsek Sekupang setelah diringkus polisi karena terlibat pencurian sepeda motor. Usia mereka 15 tahun dan 16 tahun.

Yang mengejutkan, saat diinterogasi petugas, mereka mengaku telah beraksi di tujuh lokasi.

Menurut Kapolsek Sekupang Kompol Yudha Suryawardana, keterlibatan remaja di bawah umur dalam tindak kejahatan meningkat belakangan ini. “Paling banyak di kasus pencurian,” ujarnya, Jumat (2/9).

Benar saja. Pada akhir Agustus lalu, Kompol Yudha dan jajarannya juga membekuk dua remaja bawah umur setelah memposting sepeda motor Mio Sporty curian mereka di Grup Jual Beli Batam di Facebook.

Maraknya anak-anak yang terlibat dalam kejahatan di Batam, kian mengkhawatirkan.
Lingkungan pergaulan yang buruk dan kurangnya perhatian orang tua diduga menjadi faktor utama.

Pengadilan Negeri Batam mencatat ada sekitar 38 perkara anak yang masuk dari Januari hingga akhir Juli 2022. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah hingga akhir tahun. Seperti sepanjang tahun 2021, ada sekitar 80 kasus anak yang disidang di Pengadilan Negeri Batam.

Juru Bicara PN Batam Edi Sameaputty mengatakan, perkara anak berhadapan hukum (ABH) di PN Batam cukup tinggi. Untuk jenis perkara yang dilakukan pun beragam. Mulai pencurian, pencabulan, narkoba, kekerasan dan lainnya.

“Data sementara di tahun 2022, ada 38 perkara anak yang disidang di PN Batam. Jumlah ini diperkirakan akan bertambah sampai akhir tahun. Kasus dominan yakni pencurian, terutama pencurian sepeda motor,” ujar Edi.

Lalu hukuman untuk anak sebagai terdakwa seperti apa? Menurut Edi, setiap majelis hakim punya pertimbangan hukuman sendiri. Beda majelis hakim, beda hukuman, karena setiap perkara ada pertimbangan sendiri.

“Seperti saya, tahun ini, ada 4 perkara anak yang saya pegang. Hukuman maksimal yang saya jatuhi 7 bulan. Untuk kasus pencurian yang dilakukan berulangkali,” terang Edi.

Perkara kedua paling mendominasi adalah perkara cabul dengan korban juga anak. Hukumannya juga bervariasi. Seperti sidang yang dipegang hakim Edi, pencabulan yang dilakukan anak laki-laki usia 13 tahun dengan korban anak perempuan usia 14 tahun.

Hakim Edi menjatuhkan pidana 5 bulan pelatihan di LPS Nilam Suri untuk dua terdakwa anak. Pertimbangan hukuman karena pelaku masih berkeinginan melanjutkan pendidikan atau sekolah, menyesali perbuataan, masih bisa dibimbing, dan perbuataan cabul dilakukan karena pengaruh lingkungan dan minuman keras.

“Untuk perkara anak tak ada hukuman minimal. Hukuman pelatihan sama dengan tuntutan jaksa, karena memang anak ini masih ingin sekolah dan orang tua berjanji akan membimbing mereka,” jelas Edi.

Sedangkan untuk perkara narkoba, yang pada tahun 2021 ada satu perkara dengan hukuman 2,8 tahun penjara serta pelatihan 8 bulan. Pada tahun 2022 ada satu perkara anak yang terlibat narkotika dengan hukuman 4 tahun dan pelatihan 6 bulan. Hukuman di tahun 2022 lebih tinggi, karena pelaku terlibat langsung dalam peredaran narkotika.

“Nah, hukumannya memang berbeda. Berdasarkan pertimbangan hakim dan perbuataan si anak juga,” jelas Edi.

Apakah setiap anak yang berhadapan hukum wajib dipenjara? Menurut Edi, tak wajib. Namun, selama ini, ia melihat pelimpahan berkas tindak pidana anak dari kejaksaan, terdakwa anak selalu ditahan. Penahanan pun masih dengan alasan klasik, yakni anak melarikan diri.

Padahal ada undang-undang yang mengaturnya. Di pasal 31 ayat 1, misalnya, seorang anak yang berhadapan hukum bisa tak dipenjara dengan jaminan orang tua, wali atau lembaga. Kemudian pasal 2 huruf I, sistem peradilan anak tidak dengan perampasan kemerdekaan. Artinya, anak yang berhadapan hukum tak dirampas kemerdekaannya, kecuali itu merupakan upaya terakhir.

Dalam pasal 7 juga disebut jenis hukuman anak yang berbuat pidana. Di antaranya peringatan, pembinaan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga dan penjara.

“Jadi memang penjara ini adalah upaya terakhir untuk memberi hukuman terhadap anak. Karena anak masih punya masa depan dan masih bisa dibina,” kata Edi.

Menurut Edi, mayoritas anak berhadapan hukum berasal dari kalangan menengah ke bawah. Mereka kurang dapat perhatian dari orang tua karena sibuk bekerja.

Banyaknya anak-anak yang tersandung perkara hukum juga terlihat dari jumlah anak yang dibina di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Batam. Saat ini, di sana, ada 44 orang anak. Mereka mayoritas tersandung kasus pencurian.

“Kebanyakan itu kasus pencurian. Rata-rata anak di LPKA ini usia antara 14-18 tahun,” ujar Kepala LPKA Kelas II Batam, Novriadi.

Sebelum menjalani hukuman, anak-anak ini seluruhnya berstatus putus sekolah. Di LPKA, mereka berkewajiban mengikuti pendidikan non formal, seperti Paket A, B, dan C. Bahkan beberapa anak diketahui buta huruf.

“Ini kewajiban kita mengupayakan anak-anak ini mengikuti pendidikan. Kalau pendidikan formal, kebanyakan mereka sudah kelewatan umur,” katanya.

Novriadi menambahkan, di dalam LPKA, seluruh anak-anak wajib mengikuti dua pembinaan. Yakni, pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.

Untuk pembinaan kepribadian terdiri dari upacara pada setiap hari Senin pagi, apel, pendidikan non formal, pendidikan agama, dan kepramukaan setiap hari Sabtu. Sedangkan pembinaan kemandirian seperti pengelasan dan pertanian.

“Dalam pembinaan ini kita bekerjasama dengan beberapa pihak,” ungkapnya.

Selain itu, sambung Novriadi, setiap anak juga wajib mengikuti pelajaran wawasan kebangsaan. Pelajaran ini ditujukan agar anak-anak tidak mengulangi perbuatan kriminalitas.

“Pelajaran wawasan kebangsaan ini kita bekerjasama dengan Kodim dan Polda. Tapi memang ada beberapa anak yang sudah bebas kembali lagi menjalani hukuman,” ujarnya. (*)

spot_img

Update