batampos – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menca-nangkan kawasan bebas jentik nyamuk di Kota Batam dengan meninjau kawasan Pelabuhan Feri Internasional Batam Center, Kamis (27/6). Hal ini dilakukan sebagai upaya menekan angka Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah tersebut, terutama di perkantoran yang banyak terdapat pekerja.
Selain itu, Kemenkes juga menilai Kota Batam belum memerlukan uji coba pelepasan nyamuk ber-wolbachia untuk menekan kasus DBD.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, dr Imram Pambudi, menjelaskan, di Batam terjadi anomali kasus DBD dibandingkan daerah lainnya. Di mana, kasus DBD terus meningkat tiap tahunnya di daerah lain, sedangkan di Batam jumlahnya kasus DBD justru menurun sejak 2022-2023.
Pada 2023, Dinkes Kota Batam mencatat ada sebanyak 376 kasus DBD. Sedangkan pada tahun 2024, ada sebanyak 181 kasus DBD.
”Jadi dalam taraf ini, (Kota Batam) belum perlu untuk metode nyamuk ber-wolbachia,” katanya di Hotel Santika, Batam Kota, Kamis (27/6).
Dia menyebutkan, di Indonesia sendiri sudah ada uji coba penerapan nyamuk ber-wolbachia, seperti di Yogyakarta, Semarang, Kupang, Bandung, Jakarta Barat, dan Denpasar.
Indonesia juga bukan satu-satunya negara yang menggunakan teknologi nyamuk ber-wolbachia. Negara lain yang sudah menerapkan pengendalian DBD dengan nyamuk ber-wolbachia contohnya Singapura, Vietnam, Brazil, dan Australia.
”Nyamuk ber-wolbachia ini bukan hanya di Indonesia saja dan terbukti efektif digunakan di beberapa negara tersebut,” ujarnya.
Hanya saja, kata dia, penerapan teknologi nyamuk ber-wolbachia ini merupakan pendekatan yang tidak bisa instan. Butuh waktu untuk bisa mengakibatkan penurunan jumlah kasus.
Nyamuk ber-wolbachia sendiri, kata dia, merupakan nyamuk aedes aegypti yang diinfeksi dengan bakteri wolbachia. Cara kerja dari bakteri wolbachia ini adalah, jika diinfeksikan ke nyamuk aedes aegypti, maka virus penyebab DBD di tubuh nyamuk itu jadi mati.
”Jadi, ketika nyamuk tersebut menggigit seseorang, itu tidak bisa menularkan virus dengue-nya, beginilah cara kerjanya. Tapi metodenya, nyamuk ber-wolbachia ini baru bisa berefek kalau populasi nyamuk aedes aigpty ber-wolbachia sudah lebih dari 60 persen,” tutupnya.
Sementara itu, Plt Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, Yudi Pramono, mengatakan bahwa program pencanangan kawasan bebas jentik nyamuk di Kota Batam merupakan bagian dari upaya nasional untuk menurunkan angka DBD.
”Kami harap program ini dapat membantu menurunkan angka kasus DBD,” ujarnya, Kamis (27/6).
Yudi mengapresiasi upaya Pemerintah Daerah (Pemda) di Kota Batam, termasuk puskesmas setempat dan masyarakat dalam menangani kasus DBD. Berkat kolaborasi tersebut, Batam menjadi salah satu daerah dengan angka kasus DBD yang rendah di Indonesia.
”Sampai minggu ke-25 (tahun 2024), Batam hanya memiliki 181 kasus DBD. Hal ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain yang memiliki pelabuhan,” terangnya.
Sementara itu, secara nasional, angka kasus DBD mengalami peningkatan kurang lebih 146 ribu, dengan angka kematian mencapai 869 jiwa hingga minggu ke-25. Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menjadi provinsi dengan kasus DBD tertinggi.
Yudi menekankan pentingnya pemberantasan sarang nyamuk sebagai langkah utama dalam mencegah DBD.
”Fogging (pengasapan) tidak langsung berdampak pada jentik nyamuk. Yang kami harapkan penguatan untuk pemberantasan sarang nyamuknya, supaya jentik itu tidak berkembang,” ujarnya.
Januari-Juni, 6 Warga Meninggal karena DBD
Tren kasus DBD di Kota Batam, Kepulauan Riau, mengalami penurunan tiap tahunnya. Pada periode tahun ini, Januari sampai akhir Juni, sudah ada 180 kasus.
Dari data Dinas Kesehatan (Dinskes) Batam, sampai pada Juni 2024 ini, terdapat 180 kasus DBD. Detailnya, ada 29 kasus di Januari, 30 kasus di Februari. Lalu, di April ada 12 kasus, kemudian 29 kasus di Mei, dan 43 kasus DBD di Juni.
Sebagai perbandingan, di periode yang sama pada tahun 2023 lalu, terdapat 189 kasus. Untuk tahun 2022 ada 353 kasus, dan di 2021 sebanyak 291 kasus DBD di Batam.
Kemudian, yang meninggal dunia akibat DBD sampai akhir Juni 2024 ini ada enam orang. Sementara di tahun 2023 lebih sedikit, yakni lima orang.
”Kadang, masyarakat sendiri kalau demam menganggap itu hal biasa. Pada saat dia ke Fasyankes (fasilitas layanan kesehatan), di cek, mungkin kondisi kesehatannya menurun,” ujar Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Batam, Melda Sari, Kamis (27/6).
Dari 12 kecamatan yang ada di Batam, yang paling diperhatikan oleh Dinkes tahun ini ialah Batam Kota, tepatnya di Kelurahan Baloi Permai. Walau demikan, ada daerah lain juga tak lepas dari pantauan, seperti Bengkong, serta Sagulung.
”Tahun lalu Batam Kota yang tertinggi. Tahun ini kemungkinan Sagulung, tapi itu tidak terlalu kelihatan tingginya,” kata dia.
Untuk kasus DBD di Batam, memang terjadi penurunan. Jika kota-kota kain terjadi peningkatan kasus pada 2024 ini, Batam malah menurun. Hal itu dipicu sosialisasi yang terus berjalan, serta edaran dari pemerintah mengenai Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik.
”Jadi anomali, ya. Di Batam terjadi penurunan marena Pak Wali Kota setiap tahun mengeluarkan Surat Edaran (SE) Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik, dan gotong royong secara serentak,” ujarnya.
Ada 1.529 kader Juru Pemantauan Jentik (Jumantik) di Batam. Selain membantu pemerintah menekan angka DBD, tugas mereka juga melaporkan Angka Bebas Jentik (ABJ) dari puskesmas ke dinas terkait.
”Misalnya, setiap ada kasus, atau tidak ada kasus, mereka (kader Jumantik) tetap melihat ke rumah-rumah, apakah ada jentik atau tidak. Itu dilakukan setiap bulan,” kata Melda. (*)
Reporter : AZIS MAULANA, ARJUNA