batampos – Proses penetapan Upah Minimum Kota (UMK) Batam tahun 2025 yang pembahasannya berlangsung alot di Gedung Graha Kepri, Jumat (13/12), akhirnya sampai pada angka Rp4.989.600. Angka ini kemudian diserahkan ke Gubernur Kepri untuk dipertimbangan dan sudah harus ditetapkan paling lambat 18 Desember 2024.
Namun, penetapan UMK dengan formula baru (wajib naik 6,5 persen) menuai beragam pandangan. Salah satunya datang dari Ketua Apindo Kepri, Stanly Rocky. Ia menilai kenaikan upah sebesar 6,5 persen yang diatur dalam regulasi terbaru memberatkan sektor usaha, terutama di tengah tekanan ekonomi global dan domestik yang tidak stabil.
Kenaikan 6,5 persen itu bagi kami sudah sangat berat. Apalagi jika melihat kondisi ekonomi yang tidak stabil akibat perang dagang dan tekanan geopolitik,” ujar Stanly, Jumat (13/12).
Saat ini, perang dagang antara Amerika Serikat dan China semakin intensif, terutama setelah terpilihnya kembali Donald Trump sebagai presiden Amerika.
Stanly menjelaskan, tekanan ekonomi global berdampak signifikan pada aktivitas usaha di daerah, termasuk Batam yang dikenal sebagai kawasan strategis investasi.
”Tantangan besar dihadapi pengusaha untuk bertahan di tengah ketidakpastian situasi ini,” ujarnya.
Stanly juga menyebut, ekonomi sekarang tidak sedang baik-baik saja. Stanly menyoroti perubahan formulasi perhitungan upah yang dinilainya kurang fleksibel dibanding aturan sebelumnya. Formulasi lama menghitung upah berdasarkan pertumbuhan ekonomi dikalikan inflasi. Formula ini lebih memberikan kepastian hukum bagi pengusaha dan investor.
“Formulasi lama lebih baik karena memberikan kepastian hukum. Dengan begitu, pengusaha dan investor bisa lebih mudah merencanakan bisnis mereka,” ujarnya.
Dengan formulasi lama, investor dapat memproyeksikan kenaikan upah di masa depan, sehingga perencanaan bisnis, termasuk investasi jangka panjang, bisa dilakukan dengan sangat matang.
Namun, perubahan mendadak dalam penetapan UMK membuat pengusaha kesulitan menyusun strategi, yang pada akhirnya berdampak buruk pada keberlangsungan usaha di Batam.
”Kepastian hukum merupakan faktor penting bagi pengusaha,” ujarnya.
Stanly menegaskan, Apindo tidak mengusulkan angka kenaikan UMK sendiri, tetapi hanya mengikuti aturan pemerintah melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 16 Tahun 2024. Meski demikian, ia berharap agar kenaikan tersebut tidak bertambah lebih dari yang sudah ditetapkan.
“Kita ikut aturan saja. Kalau memang 6,5 persen, ya sudah, itu yang kita jalani. Tapi kami sangat berharap jangan ada kenaikan tambahan lagi karena kondisi saat ini sudah sangat sulit,” ungkapnya.
Stanly juga mengingatkan bahwa situasi ini tidak hanya berdampak pada pengusaha lokal, tetapi juga berisiko mengurangi daya tarik Batam sebagai tujuan investasi.
Dengan biaya operasional yang terus meningkat, banyak perusahaan kemungkinan akan menunda atau bahkan membatalkan rencana ekspansi. “Hal ini dapat berdampak langsung pada peluang kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah,” tutupnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kepri, Mangara M. Simarmata, menyampaikan optimismenya terhadap proses yang telah berjalan.
Saya sangat senang semua unsur memberikan masukan-masukan yang membangun.
“Perbedaan pendapat itu hal biasa, tapi akhirnya ada titik temu sehingga pembahasan UMK kabupaten/kota di Kepri tahun 2025 dapat diterima,” ujarnya.
Ia menjelaskan, pembahasan UMK melibatkan masukan dari serikat pekerja, perusahaan, serta pemerintah daerah.
“Saya kira ini sudah sesuai dengan aturan, yaitu kenaikan sebesar 6,5 persen sebagaimana diatur dalam Permenaker. Usulan ini akan kami teruskan kepada Gubernur Kepri untuk dipertimbangkan,” katanya.
Gubernur Kepri, Ansar Ahmad, diharapkan dapat mengambil keputusan bijak dengan mempertimbangkan daya saing daerah dalam menarik investasi.
“Kondusivitas perusahaan dan daya saing harus tetap terjaga. Kita bersaing dengan banyak daerah lain untuk menarik investasi,” ujarnya.
Di sisi lain, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) melalui perwakilannya, Masrial, menyoroti persoalan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) yang dinilai belum menemui titik terang.
“Kami berharap, sesuai dengan Permenaker, UMSK juga harus ada angkanya. Kalau untuk UMK saja bisa diusulkan, seharusnya Kadisnaker juga bisa mengusulkan angka untuk UMSK meskipun belum ada kesepakatan,” kata Masrial.
Pihaknya mengusulkan kenaikan UMK sebesar 37 persen. Usulan ini didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang angkanya sekitar Rp6,1 juta, dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi Batam yang positif.
Sementara itu, Ketua Apindo Batam, Rafki Rasyid, menyebut pembahasan UMSK masih menghadapi kendala teknis. Menurutnya, Permenaker Nomor 16 Tahun 2024 belum memberikan petunjuk teknis (juknis) yang jelas terkait sektor, beban kerja, dan risiko kerja sebagai dasar penetapan UMSK.
“Harus ada juknis dulu sebelum bisa dibahas. Sekarang ini belum ada panduannya, jadi pembahasan tidak bisa terburu-buru,” katanya.
Terkait UMK, Rafki mengakui bahwa angka Rp4,9 juta sudah menjadi keputusan pemerintah. Walaupun berat bagi pengusaha, ia tetap patuh karena ini sudah menjadi aturan.
“Kami juga mempertanyakan dasar kenaikan 6,5 persen ini karena tidak ada penjelasan rinci dari pemerintah,” ujarnya.
Ia juga menyebut, kekhawatiran pengusaha terhadap dampak kenaikan UMK terhadap sektor padat karya seperti garmen dan manufaktur.
”Dengan UMK yang tinggi, daya saing Batam bisa terpengaruh. Itu pula yang menjadi keprihatinan pengusaha,” ujar Rafki. (*)