Jumat, 13 Desember 2024

Buruh Butuh Lebih dari Sekadar Upah Minimum: Solusi Holistik Diperlukan

Berita Terkait

spot_img
Rikson Tampubolon

batampos– Kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen yang akan berlaku mulai Januari 2025 sebagaimana diatur melalui Permenaker Nomor 16 Tahun 2024, membawa angin segar bagi para buruh.

Namun, Rikson Tampubolon, Direktur Eksekutif Batam Labor and Public Policies, seorang analis perburuhan dan kebijakan publik sekaligus akademisi dari Kota Batam, menilai langkah inii belum cukup untuk meningkatkan kesejahteraan buruh secara komprehensif.


Menurut Rikson, kenaikan upah tanpa diimbangi dengan perbaikan aspek pendukung lainnya seperti pengembangan sistem transportasi umum, akses perumahan layak bagi karyawan, regulasi yang mendukung sektor gig economy dan pentingnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Work-Life Balance Buruh, hanya memberikan solusi parsial terhadap masalah kesejahteraan buruh.

“Batam sebagai pusat industri nasional menghadapi kompleksitas yang lebih luas dari sekadar upah. Buruh di kota ini membutuhkan kebijakan yang holistik agar kualitas hidup mereka benar-benar meningkat. Sebab apalah arti pertumbuhan ekonomi, tanpa perbaikan kualitas hidup buruh?” tegas Rikson yang juga berprofesi sebagai dosen di Institut Indobaru Bisnis Nasional (IIBN) Batam.

BACA JUGA: UMP Kepri 2025 Naik, UMK Batam Jadi Sorotan Pengusaha

Data BPS menunjukkan bahwa pada 2023, Batam memiliki tingkat pengangguran terbuka sebesar 8,14 persen, di atas rata-rata nasional. Selain itu, Indeks Harga Konsumen (IHK) Batam menunjukkan kenaikan biaya hidup yang signifikan, terutama di sektor transportasi dan perumahan. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum hanya akan menutup sebagian kecil dari beban ekonomi yang dihadapi buruh.

Rikson menyoroti pentingnya sistem transportasi umum yang terjangkau dan merakyat. Saat ini, operasional Trans Batam yang terbatas dan minimnya jumlah armada tidak memadai untuk mendukung mobilitas pekerja industri yang memiliki shift malam. “Buruknya transportasi memaksa banyak buruh mengeluarkan biaya tambahan untuk transportasi pribadi atau taksi online. Ini mengurangi daya beli mereka meskipun upah naik,” jelasnya.

Batam juga menghadapi krisis akses hunian dan perumahan terjangkau bagi buruh. Banyak pekerja harus tinggal di kawasan informal dengan fasilitas yang minim. Pemerintah perlu mendorong pembangunan rumah susun sewa murah atau memberikan subsidi perumahan bagi karyawan industri. “Jika kita benar-benar ingin menciptakan kesejahteraan, hunian layak adalah kunci utama,” tambah Rikson.

Rikson juga menekankan perlunya regulasi yang melindungi pekerja di sektor gig economy, seperti pengemudi ojek online dan pekerja freelance. Di era digitalisasi, banyak pekerja di Batam bergantung pada sektor ini, namun mereka sering kali tidak mendapatkan perlindungan jaminan sosial maupun kontrak kerja yang adil. “Gig economy adalah bagian dari realitas baru dunia kerja di Batam. Pemerintah harus hadir untuk memastikan hak-hak mereka terlindungi,” ujarnya.

Terakhir Kota Batam, sebagai pusat industri, memiliki ritme kerja yang tinggi dengan tuntutan fisik dan mental yang signifikan bagi buruhnya. Taman publik atau ruang hijau dapat menjadi tempat untuk melepas penat, berolahraga, dan bersosialisasi. Penelitian menunjukkan bahwa akses terhadap RTH dapat mengurangi stres, meningkatkan kesehatan mental, dan bahkan meningkatkan produktivitas kerja.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa persentase RTH di Batam masih jauh dari target ideal nasional sebesar 30 persen dari luas wilayah kota, sebagaimana diamanatkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Ketimpangan ini menjadi tantangan serius, terutama bagi buruh yang sering kali tinggal di kawasan padat penduduk dengan akses terbatas ke fasilitas rekreasi.

Rikson berharap pemerintah, pengusaha, akademisi dan serikat buruh dapat duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang lebih inklusif. “Kenaikan upah adalah langkah awal, tetapi kita tidak boleh berhenti di sana. Batam membutuhkan pendekatan kebijakan yang menyentuh semua aspek kehidupan buruh untuk benar-benar menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan,” tutupnya.

Dengan analisis ini, Rikson mengajak masyarakat untuk melihat kesejahteraan buruh bukan hanya sebagai angka di kertas, tetapi sebagai perubahan nyata dalam kualitas hidup sehari-hari mereka. (*)

spot_img

Update