batampos– Sejumlah serikat buruh atau pekerja yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Batam melakukan aksi unjukrasa di depan Kantor Walikota Batam, Jumat (13/1). Mereka menolak atau tidak setuju dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Ketua Konsulat Cabang Federasi Serikat Pekerja Metal (FSPMI) Kota Batam, Yafet Ramon mengungkapkan, aksi Koalisi Rakyat Batam ini terdiri dari FSPMI, FSP TSK SPSI, FSP LOMENIK SBSI, FARKES KSPI dan SPRM. Ada sembilan inti permaslahan dalam Perpu Cipta Kerja yang mereka tuntut.
“Pertama itu mengenai pngaturan upah minimum. Bahwa upah minimum dihitung dengan memasukkan 3 variabel yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu,” katanya.
Ia melanjutkan, Gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP). Gubernur juga dapat menetapkan Upah Minimum Kabupaten atau Kota (UMK), apabila hasil penghitungan UMK lebih tinggi daripada UMP.
“Bahwa Perpu ini, pemerintah juga diberi kewenangan untuk menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda jika terjadi suatu hal tertentu,” lanjutnya.
Selanjutnya mengenai outsourcing. Di dalam Perppu Cipta Kerja, masih mengatur ketentuan alih daya (outsource). Namun tidak menjelaskan ketentuan yang mengatur batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dapat dialih daya.
BACA JUGA: Buruh Demo, Hindari Ruas Jalan Ini
Sistem outsourcing ini, tentunya bertolak belakang dengan UU Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pekerjaan alih daya dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi.
Kemudian, terkait dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam pasal 151 Perppu Nomor 2 tahun 2022 tertuang hal yang mengatur tentang pemutusan hubungan kerja atau PHK.
“Pada ayat (1), pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK,” katanya seperti yang termaktub dalam Perpu Cipta Kerja.
Pada ayat (2) lanjut Ramon, disebutkan bahwa dalam hal PHK tidak dapat dihindari, maksud dan alasan PHK diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/ buruh, serikat pekerja/ serikat buruh.
Ayat (3), dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak PHK, penyelesaiannya wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh, serikat pekerja/ serikat buruh.
Terakhir pda ayat (4), apabila perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat 3 tidak mendapatkan kesepakatan, PHK dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Begitu juga dengan uang pesangon. Bahwa Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja juga mewajibkan pengusaha untuk membayar uang pesangon atau uang penghargaan masa kerja. Jika pengusaha atau perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada pekerja atau buruh dengan beberapa ketentuan.
“Dalam 156 ayat 1 dalam Perppu Cipta Kerja berbunyi apabila terjadi PHK, pengusaha wajib membayar uang pesangon atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima,” katanya.
Sementara buruh dengan status kontrak, ketentuan terkait pekerja kontrak tertuang pada Pasal 59 yang telah diubah. Dalam ayat (1) disebutkan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.
Pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; pekerjaan yang bersifat musiman; pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; serta ekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
Terkait dengan tenaga kerja asing, bahwa dalam Perpu ini, peraturan tentang Tenaga Kerja Asing (TKA) diatur dalam pasal 42. Pada ayat 1 disebutkan setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib memiliki rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 2 menyatakan, pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing.
Bahwa tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
Ayat (5) tertulis, tenaga Kerja Asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia.
“Bahwa Perpu ini juga mengatur sanksi pidana, apabila terdapat pelanggaran dalam peraturan yang telah dimaktubkan,” jelasnya.
Begitu juga dengan waktu kerja. Bahwa pasal 79 ayat 1 disebutkan pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja. Waktu istirahat antara jam kerja paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja.
“Sedangkan istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu,” katanya.
Terkait terkait dengan cuti, bahwa cuti yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan. Dimana, cuti diberikan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
Dalam aturan cuti, disebutkan pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Selain waktu istirahat dan cuti, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
“Selain itu terkait isu lokal, kami meminta agar Gubernur Kepri memanggil aplikator untuk segera menjalankan SK Gubernur nomor 1066, terkait tarif jasa minimum,” imbuhnya. (*)
Reporter : Eggi Idriansyah