batampos – Praktek tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menjadi atensi aparat penegak hukum marak terjadi di sepanjang tahun 2023 lalu. Praktek perdagangan manusia ini diharapkan bisa ditekan di tahun 2024 ini.
Penelusuran Batam Pos di lapangan, praktek perdagangan orang ini memang melibatkan banyak pihak. Jaringannya tersistematis seperti yang diungkapkan aparat penegak hukum selama ini.
Mulai dari perekrutan di masing-masing daerah hingga pengurusan dokumen dan akomodasi. Jaringan berhubungan satu sama lain. Termasuk dengan proses penjemputan di luar negeri hingga ke lokasi tujuan. Korban kebanyakan tertipu. Hanya satu dua orang yang lolos dan bisa bekerja.
Sumber Batam Pos dari sejumlah mantan korban perdagangan orang ini di Batam meceritakan, jaringan TPPO ini pada dasarnya lebih berperan di masing-masing daerah. Pulau Jawa dan Indonesia bagian timur paling kuat. Dari mulut ke mulut, namun informasi perekrutan PMI terutama tujuan Malaysia sangat populer. Korban tidak saja orang yang tak dikenal tapi juga dari anggota keluarga sendiri.
Bunga (bukan nama sebenarnya) misalkan, gadis asal NTT yang saat ini bekerja di Batam, mengaku pernah menjadi korban TPPO ini. Tahun 2018 lalu, dia bersama tiga orang rekan sekampungnya berangkat dari Kupang, NTT ke Batam atas rekomendasi dan rekrutan tiga orang jaringan TPPO yang ada di sana.
Baca Juga:Â Sudah Dibuka, Ini Syarat Pendaftaran Pelatihan Kerja Disnaker Batam
Mereka dijanjikan kerja di restauran dengan upah Rp 5 juta hingga Rp 6 juta perbulannya. Atas izin keluarga, Bunga dan tiga rekannya harus menyerahkan uang keberangkatan sebesar Rp 6 juta perorang. Mereka diberangkat ke Batam dengan kapal Pelni.
Di Batam mereka menginap di rumah keluarga. Mereka tidak ditampung di lokasi penampungan atau rumah jaringan TPPO. Namun demikian komunikasi dengan jaringan tetap berjalan. Sekitar seminggu di Batam mereka akhirnya dijemput dan diberangkatkan melalui lokasi yang tidak mereka kenal.
“Itu agak jauh dari kota. Sejam juga pakai mobil. Kami diturunkan di semak-semak pinggir pantai,” ujar Bunga.
Di lokasi yang tidak dikenal ini ternyata sudah belasan calon PMI non prosedural lainnya dari NTB dan pulau Jawa. Total mereka ada sekitar 19 orang saat itu.
“Sudah gelap (malam, red) itu kami dibawa ke pantai itu. Kami dikasih makan nasi bungkus dulu,” ujarnya.
Baca Juga:Â Dewan Minta Dishub Terus Perbaiki Pelayanan Parkir di Batam
Sekitar pukul 00.00 WIB, mereka diarahkan naik pancung boat yang daya muat ideal tidak sampai 10 orang. Tetapi 19 orang tadi disuruh duduk berdesak-desakan dalam pancung tanpa lampu penerang apapun.
“Susah mau menceritakan. Sudah kayak barang kami di dalam kapal itu. Padahal ada cowok-cowok juga,” ujarnya.
Dari lokasi tak diketahui itu mereka akhirnya diberangkat dalam kondisi gelap gulita itu. Namun belum lama berlayar tiba-tiba kapal tersebut melaju cepat ke selat pulau-pulau kecil dan mematikan mesin pancung . Mereka disuruh turun di pulau tak berpenghuni dengan alasan terdeteksi kapal patroli pengawasan pantai.
“Pikirnya cuman sebentar tapi ternyata sampai tiga hari kami luntang lantung di pulau tak berpenghuni itu. Untuk ada abang-abang dari NTT juga yang agak keras mau berantem dulu baru dibawa pulang ke Batam. Katanya tak bisa masuk lagi ketat,” ujar Bunga.
Memang agak kecewa, namun kegagalan itu sedikit membuat Bunga dan kawannya lega karena sesuatu hal yang buruk tidak terjadi kepada mereka.
“Tiga hari di pulau itu makan minum susah minta ampun. Sekali makan sehari kami, makanya marah abang-abang itu. Mau berantem mereka sama tekongnya,” kata Bunga.
Baca Juga:Â Acara Silaturahmi Anies Baswedan di Batam Hari Ini, Jumlah Massa Dibatasi
Karena gagal berangkat, Bunga dan dua rekannya pun berusaha kembali komunikasi dengan jaringan yang merekrutnya terkait biaya yang sudah dibayar. Namun bukannya penjelasan yang baik-baik, malah mereka dimaki-maki. Uang yang sudah dibayarkan tak kunjung dikembalikan.
“Katanya siapa suruh kami minta balek Batam. Jadi uangnya hilang begitu saja,” kata Bunga.
Karena tak tahu harus mengadu ke mana, Bunga akhirnya menyerah. Oleh keluarga di Batam dia dicarikan kerja dan saat ini sudah bekerja di salah satu perusahaan di kawasan Sekupang.
“Sudahlah, kapok saya. Bagus kerja di sini, walau gaji kecil. Tak apalah uang itu dimakan mereka, asalkan saya masih selamat dan sehat sampai saat ini,” kata Bunga.
Pengalaman Bunga ini hendaknya jadi perhatian masyarakat pada umumnya agar tidak tergiur dengan janji manis pelaku TPPO dimana pun mereka berada.
Komisi Keadilan, Perdamaian, Pastoral Migran dan Perantau (KKP-PMP) Kevikepan Kepri Chrisanctus Paschalis Saturnus tak henti mengingatkan masyatakat Batam untuk sama-sama melawan tindakan yang tak bermoral tersebut. Perlawanan ini diwujudkan dalam bentuk peran aktif mengawasi kelurga dan tetangga di sekitar. Jika melihat atau mengetahui diminta untuk berani melapor ke pihak yang berwajib.
“Selain itu diri sendiri dan kelurga perlu dibekali dengan pemahaman yang tentang persoalan perdagangan manusia ini. Jangan mau diperalat untuk jadi TKI ilegal karena risikonya besar,” pesan Paschal. (*)
Reporter: Eusebius Sara