Kamis, 28 November 2024
spot_img

Daripada Mati Kelaparan di Kampung, Bekerja di Luar Negeri jadi Pilihan

Berita Terkait

spot_img
Petugas mengevakuasi satu korban yang meninggal akibat kecelakaan kapal kayu pembawa PMI ke Malaysia yang terbalik di Perairan Kabil Batam, Selasa (15/11). Foto: Basarnas Tanjungpinang untuk Batam Pos

batampos – Para Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal siap menanggung semua risiko yang terjadi, termasuk kematian, demi memperoleh pekerjaan di luar negeri.

Hal ini diungkapkan sejumlah calon TKI ilegal dalam wawancara dengan Batam Pos, beberapa waktu lalu, setelah kapal kayu yang mereka tumpangi karam saat hendak menuju Malaysia.


Sahman, Amat, Harum, Zohir dan Yusuf adalah WNI asli Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka tidak memiliki pekerjaan tetap di kampung halamannya. Pencapaian tetangganya di luar negeri menjadi tolok ukur mereka.

Baca juga: Penyelundupan TKI di Pelabuhan Resmi Batam

“Di kampung kami tak ada kerja. Jika ada kerja, seminggu kerja, sebulan tidak ada pekerjaan. Gajinya hanya Rp30 ribu saja sehari, tidak nutup untuk hidup. Anak istri harus makan, anak harus sekolah, makanya kami nekat ke Malaysia,” ungkap Amat.

Saat ditanya, apakah akan balik ke Malaysia lagi? Mereka mengatakan, di kampung halaman tidak ada kerjaan. Lambat laun, pasti juga akan mati kelaparan.

Bekerja di luar negeri adalah satu satunya peluang yang mereka lihat. Permasalahan ini tentunya tidak bisa dianggap sepele. Selama keinginan para calon PMI ilegal ini kuat, praktek ini sulit dihapus, sebab tingginya permintaan tenaga kerja dari perusahaan di luar negeri.

Baca Juga: Warga Batam Kesulitan Bawa Kendaraan untuk Mudik lewat Pelabuhan ASDP Punggur

Kapolsek Kawasan Pelabuhan Batam, AKP Awal Sya’ban Harahap, menyarankan ada lembaga khusus yang mengurus atau mencegah PMI berangkat secara ilegal.

“Lembaga ini tidak hanya menolak atau memulangkan saja. Tapi ikut membantu PMI yang akan berangkat ilegal ini, agar bisa berangkat secara legal,” ucapnya.

Sementara itu, salah seorang pemain PMI ilegal, I, mengaku membuat perusahaan legal cukup sulit. Arus lalu lintas PMI ilegal sulit dihambat. Permintaan dari WNI untuk bekerja ke luar negeri tinggi. Lalu, permintaan pengusaha di luar negeri untuk pekerja dari Indonesia juga tinggi.

“Kadang para PMI ini mau berangkat secara legal, mereka dibuat susah dan ribet. Harus ada ini dan itu,” ujarnya.

Kebanyakan para PMI yang berangkat ilegal memiliki latar belakang pendidikan yang minim. Sehingga kurang mendapatkan informasi atau tata cara pemberangkatan secara legal.

“Pelatihan dulu, lalu gajinya kepotong. Itu yang gak mereka (PMI) mau,” ucapnya.

Jika memang dilegalkan, I berharap ada aturan yang diubah. Sehingga dapat menarik minat para PMI untuk berangkat secara legal.

Baca Juga: Jumlah Kunjungan Wisman Mulai Ramai, Pelaku Pariwisata di Batam Bersiap

Sementara itu, Ketua Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) Kepulauan Riau (Kepri), Romo Chrisanctus Paschalis, mengatakan solusi sementara atas semua permasalahan ini adalah penegakan hukum.

Ia meminta aparat yang berwenang melakukan penindakan sesuai tugas pokok masing-masing. “Saya sudah mengirimkan tiga dumas, satu untuk imigrasi dan dua untuk polisi,” tuturnya.

Romo Pascal berharap laporannya ini ditindaklanjuti. Praktek PMI ilegal di pelabuhan internasional di Batam, kata Romo Pascal, adalah sindikat perdagangan orang.

Sindikat ini terdiri dari berbagai orang dan latar belakang. Sehingga, negara perlu hadir untuk memberantas hingga ke akar-akarnya.

“Jangka panjangnya adalah perubahan regulasi. Pemerintah harus serius menyikapi persoalan ini,” ucapnya.

Baca Juga: Ada 9 Ribu Lebih Pelanggar Lalu Lintas di Batam

Kenapa ada WNI bekerja ke luar negeri? Jawabannya adalah karena negara tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang layak untuk warganya.

Romo Pascal mengatakan, jika negara memang tidak bisa, dan ada potensi bekerja di luar negeri, harusnya negara memfasilitasi dan melindungi dengan baik warganya yang akan bekerja ke luar negeri.

“Negara harus melindungi,” ucapnya.

Ia meminta negara tidak memperalat WNI yang bekerja ke luar negeri. Sebab selama ini, oknum-oknum perangkat negara memperalat warga ingin berangkat ke luar negeri secara ilegal. “Negara harus membantu mereka ini,” ucap Romo Pascal.

Oknum-oknum, kata Romo Pascal, selama ini memanfaatkan kesusahan dan ketidaktahuan para calon PMI ilegal. “Mari bersama-sama memikirkan bagaimana mereka aman, dan jangan memanipulasi mereka untuk kepentingan pribadi,” tuturnya.

Kepala Badan Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kepulauan Riau, Amingga M. Primastito, mengatakan bahwa mereka tidak bisa bekerja sendirian. BP2MI bekerja dibantu oleh Kemenaker untuk penempatan para PMI.

“Secara legal, ada 5 skema penempatan seperti dari G (Government) to G (Goverment) atau bisa juga B (Business) to Business. Namun juga bisa skema mandiri, perorangan. Namun, tidak bisa untuk level pekerjaan seperti asisten rumah tangga. Namun, bisa untuk perkebunan,” ujar Amingga.

Skema-skema ini, kata Amingga, untuk memudahkan WNI yang ingin jadi PMI. Namun, kenapa masih saja memilih jalur ilegal? Amingga mengatakan, masyarakat kebanyakan ingin cepat, dan tidak ingin ada urusan yang ribet.

Tapi faktanya, kata Amingga, pengurusan dokumen semakin dipermudah. Bahkan bisa secara online.

Selain itu, negara memberikan kemudahan dan membebaskan biaya penempatan PMI yang bekerja sebagai pengurus rumah tangga, pengurus bayi, pengurus lansia, juru masak, sopir keluarga, awak kapal perikanan, pekerja ladang atau perkebunan, petugas kebersihan, pengasuh anak dan perawat taman.

“Pembuatan paspor mereka juga gratis hal ini sesuai dengan PP Nomor 28 Tahun 2019,” tutur Amingga.

Amingga mengatakan, secara prosedur tidak rumit, setidaknya keberangkatan mereka ke luar negeri diketahui oleh kepala desa, keluar dan didaftarkan ke Disnaker daerah asal.

“Saat mengurus paspor, tinggal lampirkan surat panggilan kerja dari luar negeri. Urusannya bakal dipermudah dan paspor tidak perlu bayar,” tuturnya.

Tapi, faktanya masih saja dan banyak memilih jalur ilegal. Amingga mengatakan, harusnya di Kepri memiliki regulasi khusus, yang dapat menerbitkan nomor id pekerja para calon PMI ini.

Sehingga PMI yang dicegah berangkat ilegal, dapat diarahkan untuk pergi ke luar negeri secara legal. Namun, selama ini BP3MI kesulitan karena pemerintah di sini tidak memiliki kekhususan itu.

“Bayangkan jika mereka kembali ke daerah asal lagi, berapa uang yang harus dikeluarkan. Saya sudah pernah menyarankan, ada kekhususan untuk Kepri, agar bisa menerbitkan id pekerja mereka,” ucap Amingga.

BP3MI, kata Amingga, tidak bisa bekerja sendiri. Pemerintah daerah juga harus melihat problem ini, meskipun kebanyakan para calon PMI bukanlah warga Kepri.

Namun, Pemerintah Daerah Kepri bisa menolong mereka dan memberangkatkan secara legal. “Persoalan ini memang tidak bisa diselesaikan oleh satu instansi saja, semua pihak harus terlibat. Agar tidak ada terulang kejadian-kejadian yang tidak diinginkan,” tuturnya. (*)

 

Reporter: TIM BATAMPOS

spot_img

Update