batampos – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Batam mencatat ada sekitar 13.460,4 hektare kawasan hutan dan ekosistem mangrove di Kota Batam. Dari jumlah tersebut hampir seluruhnya berada di Pulau penyangga Kota Batam seperti Galang, Bulang dan Belakang Padang serta sebagaian kecilnya di wilayah Nongsa.
“Jika melihat data 2021, luasan ekosistem mangrove Batam hanya kurang lebih 13 persen, “ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batam Herman Rozie, Senin (5/2).
Rinciannya, ekosistem hutan mangrove 404 hektare. Hutan konservasi (TWA) mangrove sekunder 459,62 hektare, hutan lindung (HL) mangrove primer 386,15 hektare, HL mangrove sekunder 4.016 hektare dan hutan produksi (HP) mangrove primer 1.683,72 serta HP mangrove sekunder 6.510,91 hektare.
“Lebih dari 16 ribu itu masuk kawasan hutan dan hanya 13 persen masuk ekosistem mangrove, ” tambahnya.
Herman menyebutkan, sekitar 25 persen sampai dengan 30 persen luasan ekosistem mangrove di Batam dengan kondisi kritis. Ada beberapa beberapa penyebab degradasi mangrove di Batam, diantaranya, dampak pengembangan pembangunan terutama yang berada di garis pesisir yang meliputi pengembangan industri perkapalan dan kegiatan Reklamasi.
“Ini terus yang terus kita awasi untuk selanjutnya dilaporkan ke DLH provinsi, ” tambah Herman.
Selain itu penyebab degradasi mangrove lainnya disebabkan illegal logging hutan mangrove, terutama di lokasi Rempang, Galang dan Bulang. Kegiatan pemanfaatan mangrove untuk pembuatan arang yang tidak terkendali. Kerusakan ekosistem mangrove akibat tumpahan minyak dan terakhir ilegal mining yang meliputi kegiatan tambang pasir ilegal di pesisir Barelang.
Herman menambahkan, berdasarkan perda nomor 3 tahun 2021 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Batam tahun 2021-2041. Dimana kawasan ekosistem mangrove seluas 404 hektare yang tersebar di lima kecamatan antaralain Galang, Bulang, Belakang Padang, Batuaji dan Nongsa.
Berbagai cara dilakukan untuk mengembalikan ekosistem mangrove ini. Diantaranya dengan cara rehabilitasi lahan di Batam, dimana tahun 2020 rehabilitasi lahan mangrove seluas 445 hektare. Lalu di tahun 2021 seluas 1.158 hektare dan tahun 2022 seluas 241 hektare. Totalnya rehabilitasi 1.158 hektare.
Alih fungsi hutan lindung mangrove menjadi perumahan masih terus terjadi di Batam. Pemerintah telah menghukum sejumlah pihak maupun perusahaan nakal yang menjadi pelaku. Namun, kejahatan lingkungan serupa terus terulang karena lemahnya pengawasan di lapangan.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam Lamhot Sinaga saat dikonfirmasi terkait hutan magrove di Batam ini mengatakan, untuk acuannya ada peta magrove nasional di Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
“Tapi kalau mau sinkronkan dengan kondisi excisting kadang berbeda juga, semisal kawasan pesisir pasti masuk dalam peta mangrove nasional. Kondisi dilapangan bisa jadi vegetasi mangrovenya (tegakannya) sudah gak,” ujarnya.
Menurut Lamhot, magrove yang berada di lokasi APL (Area Penggunaan Lain) atau yang memiliki izin resmi ada kewajiban untuk membayar PNBP terhadap tegakan mangrove (tananam tumbuh alaminya) ke negara, dan bukan lahan pengganti.
Sedangkan bagi magrove yang berada dalam kawasan hutan yang ada izinnya, semisal IPKH, ada kewajiban melakukan rehab DAS (penanaman kembali). Semisal ini ada lahan yang sudah di PLkan, namun bukan kawasan hutan dan di sana ada magrove, maka wajib dibayarkan PNBP terhadap tegakan mangrove (tananam tumbuh alaminya). Berbeda jika kawasan hutan mangrove kalau ada izin maka wajib menanam kembali.
“Yang dilarang itu magrove di dalam kawasan hutan namun tidak memiliki izin resmi ataupun kawasan yang berada di APL namun ada mangrove itu wajib PNBP, ” tuturnya.
Disinggung mengenai pengawasan KPHL Batam, Lamhot menjawab, selain menerima aduan dari masyarakat, pihaknya juga intens melakukan patroli di lapangan. Setiap laporan yang masuk dari masyarakat akan langsung kita tanggapi, begitu juga patroli di lapangan dan akan dipastikan dulu statusnya.
“Kita pastikan dulu apakah itu di lokasi APL atau hutan. Selain itu, kalaupun lokasi APL, dilihat lagi apakah ada mangrovenya. Kalau ada misal, kita minta agar dibayar PNBP ke kementerian KLHK melalui BPHP Pekan Baru. Tapi kalau hutan kita minta diurus izinnya dan wajib menanam kembali, ” tegas Lamhot.
Selain itu, dalam melakukan pengawasan apabila ditemukan penimbunan bakau atau magrove pihaknya tidak segan-segan untuk menghentikan aktifitas tersebut. Seperti halnya yang telah dilakukan di Tiawangkang, sebelum jembatan 1 Barelang.
“Temuan kita yang paling terakhir di Tiawangkan. Ketika dapat laporkan kitat cek dan kita tanya izinnya, kita langsung hentikan dan kemarin juga sudah disegel oleh Gakkum KLHK,” tuturnya. (*)
Reporter: Rengga Yuliandra