Kita Kekurangan Dokter Spesialis
DULU, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Cabang Provinsi Kepri, dr Made Tantra Wirakesuma MARS mengaku galau dengan fenomena sebagian masyarakat kalangan atas yang memandang miring Rumah Sakit (RS) Swasta di Indonesia. RS Swasta masih dianaktirikan. Dinomorduakan.
Mereka terlihat seperti enggan mendapatkan pelayanan kesehatan di RS Swasta di Indonesia. Kalau ada uang, ada kecenderungan, mereka berobat ke luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Ini tentu kurang baik bagi pendapatan negara di sektor pajak dan lainnya. Sementara kualitas RS Swasta dan dokter Indonesia tidak kalah dengan luar negeri.
BACA JUGA: Drs Buralimar MSi, Mantan Birokrat Bergabung di PDI-P Kepri
Bersama kawan-kawannya, Made berhasil mengubah pola pikir sebagian masyarakat agar lebih percaya dan cinta dengan pelayanan kesehatan di Kepri, Indonesia. Selain berhasil membesarkan RS Swasta di Kepri, juga ada beberapa kendala di depan mata.
Dari Rumah Sakit Harapan Bunda (RSHB), Rabu (9/2/2023), Made yang juga Direktur Utama Harapan Bunda itu membagikan suka, duka, perjuangan membesarkan Asosiasi RS Swasta guna membangun kepercayaan masyarakat terhadap RS Swasta di Kepri kepada redaktur Batam Pos, Suprizal Tanjung.
BACA JUGA: Ns Didi Yunaspi MKep, Wakil Rektor IKMB Batam
Anda sudah dua kali memimpin ARSSI Kepri?
Betul. Periode pertama tahun 2018 – 2021. Kemudian, tahun 2022 – 2025.
BACA JUGA: Sirajudin Nur, Wakil Ketua Komisi IV DRPD Kepri
Berhasil?
Jika bicara berhasil. Itu relatif. Subjektif dan objektif. Namun secara umum. Apa yang kita sudah perjuangkan di ARSSI bisa dikatakan telah membawa satu perubahan besar untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Batam dan Kepri umumnya.
Contohnya?
Kita berupaya membangun kepercayaan masyarakat terhadap RS Swasta di Kepri. Awalnya ini tentu tidak mudah. Lewat kebersamaan kita di ARSSI, membuat masyarakat semakin percaya untuk berobat di RS Swasta di Kepri. Situasi tersebut juga didorong saat adanya Pandemi Covid-19 dan ini masyarakat tidak mudah mendapatkan akses berobat ke luar negeri dan hanya bisa berobat di dalam negeri. Di dalam situasi tersebut, RS swasta di Kepri bersama dengan RS Pemerintah memberikan bukti kepada masyarakat bahwa kita mampu mengatasi situasi pandemi di Kepri. Setelah situasi pandemi mereda, angka kunjungan dan tingkat keterisian tempat tidur atau Bed Occupation Rate (BOR) di RS Swasta meningkat.
BACA JUGA: Silvia Hilda Kusumaningtyas, Pembina Yayasan Silhouette
Bentuk perjuangan ARSSI lainnya?
Kita menekankan kepada teman teman RS Swasata agar memberikan pelayanan cepat, tepat, penuh kekeluargaan, dan tidak menyulitkan pasien. Dan yang penting lagi adalah agar RS Swasta paham dan taat dengan regulasi terutama dari Kementerian Kesehatan dan juga regulasi dari BPJS Kesehatan. Juga RS Swasta agar terakreditasi Lembaga Akreditasi yang ditunjuk Pemerintah. Suasana RS Swasta pun kita minta agar dibuat seperti di hotel. Bersih, rapi, ada kolam ikan, tidak seram, ada taman dan nyaman. Satpam, staf, perawat, bidan dan dokter harus yang bersikap ramah. Membentuk ini tidak mudah. Tapi itulah perjuangan kita bersama sama di ARSSI Kepri.
Hasilnya?
Tentu kita berharap hasil akhirnya adalah tingkat kesehatan masyarakat di Kepri semakin baik. Masyarakat yang sakit semakin cepat mendapatkan pelayanan maksimal dari RS Swasta di Kepri, sehingga kita mampu bersaing dengan RS di luar negeri. Orang yang berobat ke luar Batam, ke luar Kepri, bahkan ke luar negeri pun semakin bekurang. Bagi keberlangsungan RS Swasta, kondisi ini tentu sangat baik. Ini salah satu hasil perjuangan kita di ARSSI.
Tugas lainnya?
Sebenarnya pekerjaan ARSSI itu banyak dan cakupanya luas. Namun secara umum, fungsi dan tugasnya adalah mengkoordinasikan pelayanan RS Swasta di Kepri agar ke depan, bisa meningkatkan mutu dan pelayanannya kepada masyarakat. Berhasil tidak berhasil perjuangan ARSSI ini, bisa dilihat dari dampak pelayanan kepada masyarakat nantinya.
Fungsi?
Ya. Kita sebagai lembaga swasta juga melakukan sharing informasi, memberikan masukan, memberikan kritikan yang membangun, memberikan edukasi kepada seluruh Direktur RS Swasta di Kepri. Intinya adalah, agar mereka paham tentang berbagai regulasi, serta hal-hal yang memang harus disiapkan RS Swasta. Endingnya, agar RS Swasta bisa menjadi rujukan masyarakat secara umum, tanpa pandang bulu, tanpa mengenal status sosial, tidak melihat status ekonomi, tidak melihat latar belakang pekerjaannya. Jadi siapapun masyarakatnya, harus yakin, senang, cinta, bersemangat berobat, mendapatkan pelayanan di RS Swasta di Kepri.
Ada kendala bagi RS Swasta untuk besar?
Jujur saja kita kesulitan, mendapatkan dan mencari dokter spesialis untuk meningkatkan kapasitas pelayanan RS Swasta. Dibandingkan Malaysia dan Singapura, kita masih agak tertinggal dalam penyediaan Sumber Daya Manusia (SDM). SDM ini susah didapat. RS Swasta modalnya dari swasta. Berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Mandiri. Perjuangannya lebih berat dan keras dari RS Pemerintah. RS Swasta harus mengikuti semua regulasi yang dibuat pemerintah. Pada saat bersamaan, RS Swasta harus tetap dapat menjaga kelangsungan operasionalnya dengan standar yang disyaratkan pemerintah.
Kurang dokter spesialis?
Tepat. Salah satu dampaknnya terkait dengan sisi pelayanan. Pola pelayanan kita sekarang masih kurang maksimal. Persyaratan jumlah kuota pelayanan dari BPJS adalah berdasarkan jumlah dokter spesialis yang ada di RS tersebut dan berapa lama jam praktek dokter tersebut. Ada satu dokter spesialis menangani 40-50 pasien selama jam praktek tersebut. Jadi, bagaimana mungkin para dokter bisa memberikan pelayanan yang baik dan maksimal, sementara dia dikejar kejar waktu untuk melayani dan mengobati banyak pasien. Itu tentu menguras waktu, tenaga dan pikirannya.
RS Swasta di luar negeri juga mengalami hal sama?
Ini beda betul keadannya. Dokter spesialis di luar negeri lebih leluasa memberikan pelayanan kepada pasien. Kenapa? Karena seorang dokter spesialis di negeri jiran hanya melayani 10-20 pasien setiap hari tetapi penghasilannya sebagai dokter sudah memadai. Beda dengan kita, dokter di Indonesia melayani 40-50 pasien per hari. Dampaknya, dokter mereka lebih punya waktu, punya tenaga, lebih maksimal, lebih detail melayani pasien. Pasien merasa lebih nyaman. Merasa lebih dilayani. Akhirnya sebagian orang kita berpikir, wah enak ya berobat dengan dokter di luar negeri. Mereka pun memilih pergi berobat ke sana.
Apa dokter luar negeri lebih pintar dari dokter kita?
Ha ha. Sebenarnya, bila saya bandingkan dalam ilmu kedokteran, dokter Indonesia tidak kalah keilmuannya, tidak kalah keahliannya dibandingkan dokter dari luar negeri.
Ironi sekali. Jadi akar masalahnya apa?
Itulah. Dokter di luar negeri bisa full, full tenaga pikiran dan waktu. Akhirnya mereka penuh semangat melayani dan menjelaskan masalah kesehatan kepada pasien. Sementara dokter kita di Indonesia kurang punya banyak waktu memberi pelayanan seperti itu. Bagaimana mau maksimal. Pasien yang dihadapi 40-50 orang per hari. Tentu memerlukan tenaga, waktu dan tidak sedikit.
Bagaimana cara mengatasi hal ini?
Ini jelas tidak mudah. Prosesnya harus diawali dari hulu (awal, mula, kebijakan, aturan, red) dulu. Sistem pendidikan kedokteran harus dibenahi dulu. Bagaimana agar kebutuhan dokter spesialis bisa terpenuhi. Dan ke depannya situasi yang ideal adalah apabila RS Swasta mempunyai dokter spesialis yang tetap. Itu harus sesuai dengan kebutuhan pelayanan RS tersebut.
Gedung, fasilitas dan peralatan juga kurang?
Soal gedung, fasilitas dan peralatan medis kita bisa upayakan. Idealnya tentu yang kualitasnys ok. Canggih. Pemilik RS Swasta bisa memenuhi kebutuhan itu. Namun tidak dengan dokter spesialis. Itu tidak mudah mengatasinya.
Ada pengalaman?
RS Swasta agak susah merekrut dokter spesialis. Persoalannya karena tidak tersedia SDM-nya.
Tapi kita kan selalu memproduksi (meluluskan, red) dokter setiap tahun? Kok kurang juga?
Betul kita selalu memproduksi dokter tetapi dokter umum. Jumlahnya relatif mencukupi. Lalu dokter spesialisnya bagaimana? Masih kurang.
Kendalanya apa? Dokter tidak ada uang untuk sekolah lagi? Tidak ada izin dari RS Swasta atau bagaimana?
Saya melihatnya begini. Kuota penerimaan dokter spesialis itu masih sangat terbatas. Fakultas kedokteran yang menerima pendidikan dokter spesialis itu mungkin setahun rata rata menerima empat sampai delapan orang saja. Ini jelas kurang. Perlu ditambah kuotanya agar lebih banyak lagi. Buka dan sediakan pendidikan dokter spesialis sebanyak-banyaknya. Namun di sisi lain fakultas kedokteran juga perlu mempersiapkan diri lebih baik. Seperti staf pengajar, kesiapan laboratorium, perpustakaan. Lebih penting lagi adalah, kebijakan dan sistem pendidikannya. Pemerintah kelihatannya akan mendorong pendidikan dokter spesialis ini ke arah hospital base tidak lagi university base.
Ada harapan terkait regulasi?
Kita mau pemerintah mempermudah regulasi-regulasi penyediaan dokter-dokter spesialis. Fakultas kedokteran harus memperbanyak kuota dokter-dokter untuk pendidikan spesialisasi. Di samping itu, pemerintah membuka keran kebebasan dan memberikan kemudahan-kemudahan kepada RS Swasta untuk merekrut dokter-dokter spesialis. Kendala kendala yang ada harus diminimalisir.
Kendala lain dalam mendapatkan dokter spesialis?
Idealnya RS Swasta mempunyai dokter spesialis yang tetap. Kondisi saat ini dokter spesialis di RS swasta banyak yang bekerja di RS Pemerintah. Sehingga waktu pelayanan di RS Swasta menjadi tidak maksimal. Karena tentu mereka akan memprioritaskan waktu bekerjanya di RS Pemerintah.
Berarti RS Swasta dapat dokter spesialis yang tenaganya sudah dipakai bekerja di rumah sakit pemerintah?
Ya kurang lebih seperti itulah kondisinya.
Terkait pendapatan RS?
Ini banyak berhubungan dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kita beharap agar tarif BPJS itu bisa disesuaikan lagi. Januari lalu sudah ada penyesuaian tarif BPJS rata rata sekitar 9,5 persen. Kalau dihitung berdasarkan sisi inflasinya, angka 9,5 persen itu kurang memadai untuk cost (biaya, red) di RS Swasta. ARSSI pusat sudah mengusulkan 20 persen untuk penyesuaian tarif BPJS-nya. Ini untuk menutupi biaya-biaya dan cost yang ada di rumah sakit terkait dengan pelayanan kesehatan. Tapi disetujui hanya 9,5 persen. Namun jika dihitung dari sisi keuangan, itu belum mencukupi. Tapi itu pun kita harus tetap bersyukur.
Kenapa dikaitkan dengan BPJS Kesehatan?
Sebab hampir 90 persen pasien di RS Swasta adalah peserta BPJS Kesehatan. Apalagi di Batam target Universal Health Coverage (UHC) sudah tercapai. RS Swasta sangat bergantung dengan BPJS. Pasien BPJS itu kan banyak. Artinya kita perlu mempersiapkan fasilitas, peralatan kesehatan dan juga menyediakan dokter spesialis yang berkualitas. Ini agar kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan bisa dipenuhi secara maksimal.
Penilaian terhadap pelayanan kesehatan di Kepri?
Kita terus berjuang bersama teman teman lewat ARSSI. Keadaan RS Swasta dan pelayanannya semakin baik. Sebagian besar RS Swasta di Kepri ini sudah terakreditasi. Orang yang berobat ke luar negeri semakin berkurang. Masyarakat semakin sehat dan menjalani gaya hidup yang sehat. Itu perlu kita syukuri. (***)
Biografi
Nama: dr Made Tantra Wirakesuma MARS
Lahir: Singaraja Bali, 1 Desember 1966
Saudara: Anak ke-2 dari 4 bersaudara
Alamat: Perumahan Anggrek Mas Blok H No. 26 Batam
Keluarga
Istri: I Gusti Agung Ayu Triputri SH
Anak:
- Nikita Satria Tantra
- Niko Andita Tantra
- Karina Aurelie Juliet
- Nevin Agatha Tantra
Pendidikan
SD Karya Singaraja Bali 1972 – 1977.
SMP St Paulus Singaraja Bali 1977 – 1981.
SMA St Albertus Malang, Jawa Timur 1981 – 1984.
S1, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar Bali 1984-1991.
S2, FKM (MARS) Universitas Indonesia Depok 2009 – 2011.
S3, Sedang kuliah S3 di Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, Padang.
Pekejaan
- Kepala Puskesmas Sungai Salak Indragiri Hilir Riau 1992 – 1995.
- Wakil Direktur RS Harapan Bunda Batam 1995 – 2000.
- Kepala Cabang On Clinic Batam 2000 – 2002.
- Direktur/ Direktur Utama RS Harapan Bunda Batam 2002 – sekarang.
Reporter: Suprizal Tanjung