batampos – Alih fungsi hutan lindung mangrove menjadi perumahan terus terjadi di Batam. Pemerintah telah menghukum sejumlah pihak maupun perusahaan nakal yang menjadi pelaku. Namun, kejahatan lingkungan serupa terus terulang karena lemahnya pengawasan di lapangan.
Medio 2023 lalu, Ditjen Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK bersama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menyegel empat lokasi kerusakan ekosistem mangrove di Batam. Keempat lokasi tersebut berupa kegiatan tambak oleh PT DMP di Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, dan PT TSJU di Kelurahan Rempang Cate, yang berada di Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK). Kegiatan reklamasi di Kawasan Hutan Lindung Berlian Pantai, Pulau Sembakau Kecil diduga dilakukan PT DIP dan PT PJL di Kelurahan Belian, Batam Kota. Serta kegiatan reklamasi atau pematangan lahan untuk perumahan di Jalan Pajajaran Kelurahan Batubesar, yang diduga dilakukan oleh PT RS.
Dari hasil pemeriksaan lapangan, diduga PT DMP, PT TSJU, PT DIP, dan PT PJL telah menduduki kawasan hutan tersebut secara tidak sah, melanggar baku kerusakan lingkungan hidup, dan ketidaksesuaian perizinan kegiatan. Sedangkan PT RS diduga melanggar baku kerusakan lingkungan hidup dan ketidaksesuaian perizinan kegiatan.
Selanjutnya, Gakkum KLHK bersama KKP menyegel dengan memasang garis pengawas (PPLH) dan penyidik (PPNS) serta plang peringatan di lokasi tersebut.
Sementara itu, berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Batam mencatat ada sekitar 13.460,4 hektare kawasan hutan dan ekosistem mangrove di Kota Batam. Dari jumlah tersebut hampir seluruhnya berada di pulau penyangga Kota Batam seperti di Kecamatan Galang, Bulang, dan Belakangpadang serta sebagian kecilnya berada di wilayah Nongsa.
”Jika melihat data 2021, luasan ekosistem mangrove Batam hanya kurang lebih 13 persen,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batam, Herman Rozie melalui Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Lingkungan Hidup DLH Kota Batam, IP.
Rinciannya, ekosistem hutan mangrove 404 hektare. Hutan konservasi (TWA) mangrove sekunder 459,62 hektare, hutan lindung (HL) mangrove primer 386,15 hektare, HL mangrove sekunder 4.016 hektare dan hutan produksi (HP) mangrove primer 1.683,72 hektare serta HP mangrove sekunder 6.510,91 hektare.
”Lebih dari 16 ribu hektare itu masuk kawasan hutan, dan hanya 13 persen masuk ekosistem mangrove,” tambahnya.
IP menyebutkan, sekitar 25 persen sampai dengan 30 persen luasan ekosistem mangrove di Batam dengan kondisi kritis. Ada beberapa penyebab degradasi mangrove di Batam. Di antaranya, dampak pengembangan pembangunan terutama yang berada di pesisir yang meliputi pengembangan industri perkapalan dan kegiatan reklamasi.
”Ini terus yang terus kita awasi untuk selanjutnya dilaporkan ke DLH provinsi,” tambahnya.
Selain itu, penyebab degradasi mangrove lainnya disebabkan illegal logging hutan mangrove, terutama di Rempang, Galang, dan Bulang. Kegiatan pemanfaatan mangrove untuk pembuatan arang yang tidak terkendali. Kerusakan ekosistem mangrove akibat tumpahan minyak dan terakhir illegal mining yang meliputi kegiatan tambang pasir ilegal di Barelang.
IP menambahkan, berdasarkan perda nomor 3 tahun 2021 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Batam tahun 2021-2041. Kawasan ekosistem mangrove seluas 404 hektare yang tersebar di lima kecamatan antara lain Galang, Bulang, Belakangpadang, Batuaji, dan Nongsa.
Berbagai cara dilakukan untuk mengembalikan ekosistem mangrove. Di antaranya dengan cara rehabilitasi lahan di Batam, dimana 2020 rehabilitasi lahan mangrove seluas 445 hektare. Lalu di 2021 seluas 1.158 hektare, dan 2022 seluas 241 hektare. Totalnya rehabilitasi 1.158 hektare.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam Lamhot Sinaga saat dikonfirmasi terkait hutan mangrove di Batam mengatakan, untuk acuannya ada peta mangrove nasional di Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
”Tapi kalau mau sinkronkan dengan kondisi existing kadang berbeda juga, semisal kawasan pesisir pasti masuk dalam peta mangrove nasional. Kondisi di lapangan bisa jadi vegetasi mangrovenya (tegakannya) sudah enggak ada lagi,” ujarnya.
Menurut Lamhot, mangrove yang berada di lokasi APL (Area Penggunaan Lain) atau yang memiliki izin resmi ada kewajiban untuk membayar PNBP terhadap tegakan mangrove (tananam tumbuh alaminya) ke negara, dan bukan lahan pengganti. Sedangkan bagi mangrove yang berada dalam kawasan hutan yang ada izinnya, semisal IPKH, ada kewajiban melakukan rehab DAS (penanaman kembali). Semisal ada lahan yang sudah di-PL-kan, namun bukan kawasan hutan dan di sana ada mangrove, maka wajib dibayarkan PNBP terhadap tegakan mangrove (tananam tumbuh alaminya). Berbeda jika kawasan hutan mangrove ada izin maka wajib menanam kembali.
”Yang dilarang itu mangrove di dalam kawasan hutan namun tidak memiliki izin resmi ataupun kawasan yang berada di APL namun ada mangrove itu wajib PNBP,” tuturnya.
Disinggung pengawasan KPHL Batam, Lamhot menjawab bahwa selain menerima aduan dari masyarakat, pihaknya juga intens melakukan patroli di lapangan. ”Kami pastikan dulu apakah itu di lokasi APL atau hutan. Selain itu, kalaupun lokasi APL, dilihat lagi apakah ada mangrovenya. Kalau ada misal, kita minta agar dibayar PNBP ke Kementerian KLHK melalui BPHP Pekanbaru. Tapi kalau hutan, kami minta diurus izinnya dan wajib menanam kembali,” tegas Lamhot.
Selain itu, dalam melakukan pengawasan apabila ditemukan penimbunan bakau atau mangrove pihaknya tidak segan-segan untuk menghentikan aktivitas tersebut. Seperti yang telah dilakukan di Tiawangkang, sebelum Jembatan 1 Barelang.
”Temuan kami yang paling terakhir di Tiawangkan. Ketika dapat laporan, kami cek dan tak tanya izinnya. Kami langsung hentikan, dan saat ini sudah disegel oleh Gakkum KLHK,” tuturnya.
Sementara itu, berdasarkan data peta mangrove nasional Batam 2021 oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BGRM) menyebutkan, untuk mangrove eksisting seluas 67.417 hektare. Rinciannya, mangrove jarang 2.789 hektare, mangrove sedang 1.931 hektare, dan mangrove lebat 62.696 hektare. Adapun potensi ekosistem mangrove di Batam di tanah timbul seluas 4.330 hektare dengan total keseluruhan 71.747 hektare.
BGMR juga terus merehabilitasi mangrove di Provinsi Kepri sejak 2021 sampai 2023. Dimana tahun 2021 seluas 2.700 hektare rehabilitasi mangrove di Kepri. Lalu pada 2022 rehabilitasi seluas 241 hektare dan selanjutnya di 2023 proses rehabilitasi mangrove seluas 703 hektare.
”Dengan total keseluruhan rehabilitasi di Kepri seluas 3.644 hektare,” ujar Deputi IV Bidang Pemberdayaan Masya-rakat BRGM RI, Gatot Soebintoro usai penanaman 1.000 batang bibit mangrove di kawasan Pantai Setokok, Batam, Rabu (7/2) lalu.
Gatot menyebutkan, mangrove salah satu ekosistem yang dapat menyerap karbon secara efektif empat kali lipat dari ekosistem lain. Mangrove berfungsi menjaga kualitas air, karena pencemaran dari darat ke laut bisa disaring mangrove.
Menurut dia, mangrove seperti lahan basah yang mempunyai mekanisme sendiri mengatasi pencemaran dari daratan. Selain itu dengan penanaman mangrove juga mampu memberikan kesadaran kepada masyarakat dalam melestarikan ekosistem mangrove dan mendukung kesejahteraan masyarakat pesisir.
”Mangrove adalah ekosistem yang sangat penting untuk menjaga suatu wilayah seperti pantai ini agar tak a-brasi. Kepri menjadi sasaran pelaku pembalakan mangrove yang marak dalam beberapa tahun terakhir. Jika mangrove rusak maka potensi perekonomian masya-rakat juga akan terganggu sehingga pertumbuhan ekonomi masyarakat daerah juga akan menurun. Oleh sebab itu, perlu rehabilitasi mangrove,” ujarnya.
Kepala Pangkalan PSDKP Batam Turman Hardianto menjelaskan bahwa imbas dari pengrusakan hutan mangrove tidak saja pada kehilangan kawasan hutan mangrove tapi juga pada ekosistem dan ancaman abrasi. Untuk itu perlu ada penyetaraan aturan tentang hutan mangrove antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Satu sisi KKP dalam Undang-Undang Kelautan dan Perikanan nomor 1 tahun 2014 mengatur tidak boleh ada pemanfaatan hutan mangrove yang mengakibatkan kerusakan ekosistem dan lingkungan sekitar. Di sisi lain ada UU Kehutanan yang menyebut kawasan mangrove bukan kategori ekosistem sebagai pohon tegakan bisa dimanfaatkan dengan mengurus perizinan terkait.
”Nah, di sinilah masalahnya. Ada dualisme aturan yang membuat dilema. Satu pihak kita melarang, satu lagi memperbolehkan dengan perizinan yang sesuai. Perlu ada penyelarasan aturan ini. Ini yang lagi digodok semoga ada kesepakatan yang bisa menjaga kelestarian hutan mangrove ini,” ujar Turman.
Maraknya pembabatan mangrove yang terjadi saat ini, disebutkan Turman, karena ada perizinan pemanfaatan mangrove di kawasan rezim darat. Untuk KKP yang dengan tegas melarang pe-ngrusakan mangrove hanya di dalam garis bibir pantai yang sudah diatur dalam aturan. Namun demikian, kerusakan ekosistem akibat pemanfaatan mangrove di wilayah darat ini juga sampai ke wilayah garis pantai. Ini yang akan kembali dikaji oleh KKP dengan lintas kementerian terkait agar ada penyelarasan aturan pemanfaatan bakau yang masuk kategori pohon tegakan atau masuk kawasan hutan produksi.
Harapan adanya penyelarasan aturan ini tidak terlepas dari upaya KKP untuk menjaga dan melestarikan hutan bakau dan ekosistem yang ada di dalamnya. Sepanjang tahun 2023 lalu ada sejumlah aktivitas di dalam garis pantai yang ditindak karena melanggar aturan yang merusak hutan mangrove. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir sedikitnya ada empat kasus pemanfaatan hutan bakau yang merusak ekosistem dan kawasan hutan bakau.
Empat kasus ini hasil penindakan bersama dengan lembaga atau instansi pengawas lingkungan lainnya, yakni; pengelolaan dapur arang dan pemanfaatan lahan mangrove sebagai lokasi budidaya di Jembatan IV, Sembulang.
”Itu ada tiga kasus yang di Sembulang. Ada lagi penindakan bersama KLHK dan memang merusak lingkungan mangrove di sekitar Jembatan II ini. Pelanggaran ini kami ambil tindakan tegas. Dihentikan dan jika memang masuk kategori kawasan hutan produksi ya harus melengkapi izin dan administrasi lain terlebih dahulu seperti yang diatur dalam UU Cipta Kerja,” ujar Turman.
Penindakan terhadap pelaku pengrusakan hutan mangrove sesuai UU Cipta Kerja memang ditekankan pada sanksi administrasi, namun demikian tidak menutup kemungkinan akan ada pidana jika mencakup ranah pidana. ”Sejauh ini pengawasan dan penindakan sudah cukup maksimal berjalan, tinggal bagaimana untuk menyelaraskan dualisme aturan tadi,” kata Turman.
Terpisah, Polda Kepri melalui Subdit IV Titpidter, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus), berkomitmen menindak tegas para pelaku dan oknum yang melakukan pengrusakan lingkungan di wilayah Batam dan Kepulauan Riau. Tak hanya itu, pihak kepolisian akan me-nindak tegas siapapun pelakunya.
“Terhadap kasus pengrusakan lingkungan alam akan kami selidiki terus, apabila ditemukan pelaku pengrusakan lingkungan akan kami tindak tegas,” ujar Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kepri, Kombes Putu Yudha Prawira, Senin (26/2).
Ia mengatakan, penindakan tambang ilegal merupakan atensi agar dilakukan penegakan hukum, guna mencegah aktivitas yang dapat merugikan negara. “Polda Kepri tidak akan mentoleransi tindakan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat,” tegas dia.
Berdasarkan data yang dihimpun dari rilis akhir tahun 2023 di Polda Kepri, penanganan kasus tindak pidana illegal logging berjumlah 10 kasus. Naik 6 kasus dari tahun 2022. Dari jumlah tersebut penanganan penyelesaiannya 11 kasus. Sementara pada tindak pidana illegal mining atau pertambangan ilegal berjumlah 11 kasus di 2023 dengan penyelesaian 6 kasus.
Dari pantauan Batam Pos, ada sejumlah wilayah yang sudah direklamasi dan diduga mengorbankan hutan mangrove. Seperti di Kecamatan Seibeduk, terlihat jelas di sepanjang pinggir jalan menuju kampung tua Tanjungpiayu Laut. Kawasan hutan bakau di sisi kiri jalan dari arah Mukakuning sudah hampir habis dibabat untuk proyek perumahan.
Begitu juga di Dapur 12, Tembesi, Kecamatan Sagulung, juga terlihat banyak proyek perumahan yang menimbun kawasan hutan bakau. Wilayah Marina, Kelurahan Tanjungriau, Kecamatan Sekupang, nyaris tidak ada lagi kawasan hutan bakau. Salah satu yang terlihat dengan jelas ada pematangan lahan adalah di dekat Gedung Bapelkes.
Ini disayangkan masyarakat pemerhati lingkungan, sebab kawasan hutan bakau terancam punah. Ekosistem dan lingkungan hutan bakau jadi rusak.
”Pengrusakan hutan bakau ini bukan saja pada kehilangan hutan bakaunya tapi ekosistem di dalamnya juga hilang. Ancaman abrasi juga sangat tinggi. Ini yang perlu diperhatikan pemerintah agar kegiatan yang menghilangkan hutan bakau ini harus diperhatikan betul,” ujar Isyhak, warga Tanjungriau kepada Batam Pos. (*)
Reporter : Alfian Lumban Gaol – Rengga Yuliandra – Eusebius Sara – Azis Maulana – Yashinta