batampos – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) menangkap dua kapal berbendera Malaysia di Perairan Batam. Kapal-kapal tersebut diduga melakukan aktivitas penyedotan pasir laut secara ilegal.
Dua kapal yang ditangkap adalah Zhou Shun 9 dan Yang Cheng 6 ditangkap pada rabu 9 Oktober 2024. Selain itu, petugas juga mengamankan 29 Anak Buah Kapal (ABK), yang terdiri dari dua Warga Negara Indonesia (WNI) dan 27 Warga Negara Tiongkok.
Penangkapan dua kapal ini terbilang heboh. Direktur Jenderal PSDKP KKP, Pung Nugroho Saksono, bahkan menggelar konferensi pers (konpers) di atas kapal. Ia membeberkan temuan-temuan yang menjadi dasar penangkapan kapal tersebut (lihat keterangan Pung Nugroho Saksono di: Instagram @batampos).
hanya itu, ia menyebutkan, penangkapan tersebut terjadi saat tim KKP didampingi langsung Menteri Kelautan dan Perikanan yang kebetulan berpapasan dengan kapal-kapal tersebut.
“Kapal ini terindikasi menyedot pasir laut, dan kami telah lama memantau aktivitasnya. Berdasarkan hasil pelacakan, kapal ini sering berada di perbatasan dan kadang memasuki wilayah kita (Perairan Batam),†ujarnya usai melakukan pemeriksaan kapal.
Dari hasil pemeriksaan, diketahui kapal-kapal tersebut tidak memiliki dokumen resmi. Setiap kapal mengangkut sekitar 10 ribu meter kubik pasir yang rencananya akan dibawa ke Singapura.
“Kapal ini tidak memiliki dokumen yang lengkap. Hanya nahkoda yang memiliki dokumen, padahal seharusnya kapal ini memiliki dokumen lengkap, layaknya kendaraan yang harus memiliki STNK,” jelasnya.
Penangkapan tersebut diapresiasi banyak kalangan. Termasuk aktivis lingkungan hidup seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
Organisasi non-pemerintah (NGO) ini sedari dulu hingga saat ini menolak perusakan lingkungan dari eksplorasi pasir laut. Mereka terus bersuara agar pemerintah menindak tegas segala aktivitas pengerukan pasir laut yang dilakukan secara ilegal maupun legal.
Namun, kabar dilepasnya dua kapal asing pengangkut pasir laut yang ditangkap KKP sebulan lalu itu, membuat aktivis lingkungan hidup kecewa.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanudin, sangat menyayangkan dua kapal tersebut dilepas. Bahkan ia mempertanyakan alasan pelepasan tersebut.
”Penting kita pertanyakan ke KKP, ngapian dulu saat penangkapan rame-rame, bikin kompres di atas kapal, sekarang dilepas diam-diam. Kok diam-diam? Harusnya saat menangkap ramai-ramai, saat dilepas juga rame-rame, bikin kompres juga,” ujarnya.
Jika alasan pelepasan itu karena sudah cukup dengan memberi peringatan ke kapal-kapal asing pengeruk pasir laut itu agar tak kembali lagi, Parid menilai hal itu tidak tepat, sebab terjadi pelanggaran hukum.
”Ini bukan hanya pelanggaran hukum dalam negeri saja, kalau dikatakan kejahatan, ini kejahatan lintas negara,” ujarnya.
Seharusnya, kata Parid, dilakukan penegakan hukum. Tak cukup dilepas dengan alasan sudah dikasih peringatan, karena jenis pelanggarannya pelanggaran yang berat dari sisi hukum laut. ”Itu tak masuk akal kalau penjelasan KKP dilepas karena sudah dikasih peringatan agar tak kembali lagi, kan lucu, harusnya penegakan hukum,” tegas Parid, lagi.
”Ini kapal sudah masuk perairan Indonesia (apalagi disebut tak memiliki dokumen, red). Seharusnya hukum ditegakkan,” ujar Parid.
Namun, lain cerita jika indikasi penangkapan kapal itu karena ingin membuktikan adanya aktivitas pencurian pasir laut, sehingga penting legalitas ekspor pasir laut ketimbang dicuri negara lain.
Parid menilai, niat pemerintah meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan cara ekspor pasir laut tetap mengancam lingkungan dan eksistensi pulau-pulau terluar di Kepri, sebagai salah satu lokus sebagaimana telah keluarnya PP 26/2023 itu.
Menurutnya masih banyak cara lain yang bisa dilakukan, daripada ekspor pasir laut. Sebab ekspor pasir laut dapat menimbulkan kerusakan jauh lebih besar dari nilai ekonomi yang didapat.
Ia mencontohkan cara lain yang bisa dioptimalkan, yakni pengelolaan sumberdaya ikan laut yang melimpah, namun tidak dikelola secara baik. Bahkan terjadi over fishing, namun uangnya tak terdata dengan baik. ”Datanya perlu dibenahi, apalagi sudah ada status merah dan kuning, kalau sudah ada status itu artinya ikannya sudah diambil, kalau sudah diambil, uangnya kemana? Jangan hanya mengeluh sektor kelautan dan perikanan itu sumbangsihnya kecil, lalu ekspor pasir laut jadi pilihan, itu tak sebanding dengan kerusakan lingkungan,” ungkap Parid.
Hal senada pernah dikatakan Hendrik Hermawan, pendiri NGO Akar Bhumi Indonesia. Ia menilai, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 yang katanya mengatur pengelolaan hasil sedimentasi di laut, sesungguhnya adalah monster lama yang bangkit kembali. Ekosistem laut, yang pernah luluh lantak dua dekade silam, kini dihadapkan pada ancaman yang lebih ganas jika aturan ini diberlakukan yang kemudian melegalkan ekspor pasir laut.
Ia mengenang Pulau Nipah, Batam, yang nyaris hilang dari peta akibat eksploitasi pasir laut. Bagi Hendrik, alam bukan materi untuk dijual, melainkan roh kehidupan yang seharusnya dijaga.
“Kepri sudah pernah merasakan luka ini, dan seharusnya kita belajar dari masa lalu,” ujarnya.
KKP Beri Penjelasan
Sementara itu, terkait sorotan luas pada KKP yang melepas dua kapal penyedot pasir laut itu, Biro Kehumasan Ditjen PSDKP akhirnya mengeluarkan menjelaskan. Menurut mereka, dua kapal pasir berbendera Malaysia ini sudah melalui serangkaian pemeriksaan penyelidikan.
Penyelidikan bahkan melibatkan sejumlah ahli seperti; hidro oseanografi, digital forensic, pelayaran internasional, dan geologi. Hasilnya dua kapal ini kurang kuat untuk ditindak lanjuti.
”Kita sudah tangani dengan baik. Melibatkan para ahli dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Hasilnya tidak bisa naikan proses lanjutnya. Unsur pelanggaran kurang kuat,” ujar Biro Kehumasan Ditjen PSDKP Adi Pradana, ketika dihubungi Batam Pos, Jumat (8/11).
Dalam penangan kedua kapal MV YC 6 dan MV ZS 9 berbendera Malaysia ini, lanjut Adi, KKP telah mengeluarkan peringatan untuk tidak melintasi wilayah perairan Indonesia dan memerintahkan mereka kembali ke Malaysia.
Dalam penyelidikan ini, Tim TNI AL yang diikutsertakan juga turut mengkonfirmasi bahwa meskipun kedua kapal sempat mematikan AIS, hal tersebut dilakukan saat melintasi perairan, bukan untuk melakukan aktivitas ilegal.
”Dalam melakukan penyelidikan, KKP melalui Ditjen PSDKP selalu mengutamakan azas praduga tak bersalah. Investigasi ini dilakukan secara profesional, tanpa tekanan, dan transparan sesuai prinsip hukum dan hubungan diplomatik internasional,” tegas Adi. (*)
Reporter : Yofi Yuhendri / Eusebius Sara