batampos – Kasus kekerasan pada anak masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi semua pihak, yang masih menjadi atensi, dan memerlukan upaya dalam mencegah agar tidak terjadi.
Selama periode Januari hingga Mei 2024 ini saja, menurut Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan Kota Batam, Dedy Suryadi terdapat 53 kasus kekerasan pada perempuan dan anak.
“Didominasi kekerasan terhadap anak memang. Jadi masih menjadi tugas berat kita semua ini,” kata dia,” Senin (3/6).
Dedy menjelaskan bentuk kekerasan yang diterima anak mulai dari kekerasan verbal, dan fisik. Bentuk kekerasan ini akan menimbulkan dampak yang mengancam masa depan anak, sehingga perlu komitmen orangtua, dan pihak lainnya untuk mencegah agar ini tidak terjadi.
Ia menjelaskan, dampak terhadap korban yang mengalami kekerasan adalah, pertama dendam (bisa dipendam). Hal ini terjadi pada beberapa kasus yang sempat mencuat.
“Ada kasus anak yang menjadi korban bullying dari TK, namun setelah remaja melakukan tindakan balas dendam terhadap temannya tersebut. Dendam yang dipendam ini meledak, dan berakibat fatal,” jelasnya.
Dampak kedua adalah korban menarik diri. Ini merupakan dampak yang bisa menjadikan korban menyalahkan dirinya sendiri, mengurung diri, bahkan sampai mengambil tindakan bunuh diri.
“Karena korban bertanya pada diri sendiri, kenapa hal ini harus terjadi kepada dia. Sehingga mengambil tindakan suicide atau bunuh diri,” imbuhnya.
Banyak kasus terjadi korban yang tidak mendapatkan pendampingan seperti ini mengambil langkah itu. Makanya penting sekali mencegah berbagai bentuk kekerasan pada anak.
Dedy menjelaskan kasus perundungan menjadi fokus di dalam kekerasan pada anak. Menurutnya, semua pihak harus sepakat bahwa bullying atau perundungan itu tidak membuat orang bahagia.
“Jadi apapun bentuk tindakan bullying memang tidak dibenarkan. Jangan kita beranggapan orang terlalu serius menanggapi bercandaan yang berkonotasi merundung. Bullying adalah tindakan yang tidak dibenarkan,” tegasnya.
Dampak ketiga yang akan timbul dari kasus kekerasan pada anak adalah motivasi. Tidak banyak anak yang mendapatkan perlakuan kekerasan menjadi bangkit, dan menjadi motivator untuk melindungi anak-anak lain agar tidak mengalami hal yang serupa dengan yang ia alami.
Dedy mengungkapkan hal ini terjadi pada beberapa kasus yang saat ini ditangani. Korban yang mengalami kekerasan seksual oleh anggota keluarganya sendiri, menjadi bangkit, dan menginginkan kehidupan di masa depan yang lebih baik.
“Kami sebagai pendamping ingin mereka tetap punya motivasi untuk hidup, motivasi untuk pendidikan, dan melanjutkan masa depan. Alhamdulillah, salah satu korban yang tengah kami tangani ada yang seperti itu. Mereka akan kami jadikan agen pemberani dan perubahan dalam mengentaskan berbagai bentuk kekerasan pada anak,” ia memaparkan.
Korban kekerasan anak tidak mudah untuk berbicara apa yang mereka alami. Korban untuk berani berbicara saja membutuhkan mental dan keberanian yang luar biasa.
“Mereka bisa speak up saja sudah sangat baik. Karena itu tidak mudah. Mereka cenderung ketakutan, bahkan memendam sendiri atas perlakuan yang diterima. Apalagi pelakunya adalah keluarga sendiri,” bebernya.
Salah satu kasus yang terungkap karena bentuk dukungan dari teman yang diajak cerita oleh korban. Orang sekitar memiliki peran penting dalam memecahkan kasus kekerasan pada anak ini.
“Kasus terbaru ini terbongkar, selain karena dorongan korban yang mau speak up, juga karena dorongan temannya yang menjadi motivasi untuk membongkar kasus kekerasan tersebut. Korban tahu perlakuan yang diterima tidak benar, setelah memendam cukup lama, korban akhirnya bicara, dan pelaku bisa dihukum,” tambahnya.
Ini artinya dukungan moral dari orang sekitar sangat penting. Korban membutuhkan orang lain agar bisa menjadi pelapor dan pelopor atas apa yang mereka alami.
Beruntung teman yang dijadikan tempat cerita memiliki semangat yang positif, sehingga korban yang tadi tertekan mentalnya, bisa memberanikan diri untuk bercerita kepada anggota keluarga lainnya, dan kasus itu terungkap.
Ia mengajak kepada masyarakat, paling dekat itu adalah tetangga, hingga perangkat RT/RW serta pihak yang memiliki wewenang di satu wilayah untuk memperhatikan kondisi sekitar.
“Saksi menjadi juru kunci dalam mengungkap berbagai tindakan kekerasan. Jika memang melihat ada anak yang mengalami perubahan perilaku. Misalnya dulu riang mendadak murung, ini bisa ditanya dan dicari tahu ke keluarganya. Karena semakin cepat penanganan akan semakin baik bagi korban juga,” ungkapnya.
Dedy meminta lingkungan sekitar juga lebih saling memperhatikan. Karena lingkungan yang baik juga bisa menjadi faktor mencegah terjadinya kekerasan pada anak.
Edukasi yang tidak kalah penting terdapat pada orangtua. Orangtua yang seharusnya menjadi pelindung, malah bertindak menjadi pelaku.
“Sekali lagi ini merupakan tugas bersama. Tidak bisa hanya pemerintah. Pengentasan kekerasan pada perempuan dan anak harus dimulai dari hulu. Karena mayoritas kasus yang datang ke kami ini sudah ditangani kepolisian malah. Mereka yang sadar dan melapor itu masih cenderung rendah,” bebernya.
Mengenai adanya anggapan soal Batam adalah Kota Ramah Anak, namun masih banyak kasus kekerasan pada anak. Menurut Dedy semua pihak harus mencermati hal ini.
“Jika makin banyak kasus, artinya makin banyak yang speak up. Karena untuk bicara itu butuh keberanian. Indikator ini tidak ada dalam penentuan ramah anak. Yang ada itu berapa yayasan yang sudah bekerjasama dengan pemerintah dalam penanganan kasus misalnya,” bebernya.
Untuk itu, jika bisa kasus kekerasan pada Naka dicegah dari hulunya, kenapa tidak, dan hal itu dimulai dari lingkungan keluarga. Pendidikan sangat penting, dan ilmu dalam melindungi keluarga dari tindakan kekerasan juga sangat penting.
“Ini harus menjadi perhatian bersama. Ayo stop kekerasan pada anak dan perempuan. Kerjasama semua pihak dibutuhkan. Agar Batam bisa benar-benar menjadi kota Ramah Anak,” harapnya. (*)
Reporter: Yulitavia