batampos – Hujan tiada henti selama empat hari terakhir telah menyelimuti Kota Batam dengan langit kelabu. Derasnya tak hanya menggenangi jalanan, tetapi juga menghadirkan duka di sejumlah kawasan yang dihantam longsor.
Di tengah suasana suram ini, seruan untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan mitigasi perubahan iklim pun menggema. Founder NGO Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, menyebut fenomena ini sebagai tanda alam yang mengingatkan kita akan dampak dari perubahan iklim.
“Kalau bicara bencana, kita tak bisa hanya membandingkan hujan di Batam dengan kebakaran di Los Angeles atau kehancuran di Gaza. Ini soal anomali alam yang terjadi karena perubahan iklim global,” katanya, Senin (13/1).
Menurut dia, perubahan iklim telah menjadi bayang-bayang yang tak terelakkan. Curah hujan yang terus mengguyur Batam hanyalah satu bagian kecil dari gambaran besar tentang pergolakan iklim dunia.
Baca Juga:Â Banjir di Kelurahan Buliang, Aktivitas Warga Lumpuh
“Hujan di Batam seperti ini bukan kali pertama terjadi. Tapi kita perlu melihatnya sebagai bagian dari peringatan alam yang terus datang,” katanya.
Hendrik mengingatkan bahwa Kepri, dengan 70 persen wilayah desanya berada di kawasan pesisir, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Ketahanan masyarakat pesisir harus menjadi prioritas pembangunan berkelanjutan.
“Ini bukan hanya soal membangun jalan atau gedung, tapi bagaimana memastikan rumah nelayan tak roboh dihantam angin dan air,” katanya.
Mitigasi perubahan iklim, lanjutnya, menjadi kunci. Penanaman pohon, rehabilitasi mangrove, revitalisasi kawasan pesisir, dan naturalisasi lingkungan adalah langkah-langkah yang dapat mengurangi risiko bencana.
“Jika langkah ini dijalankan, kita bisa mengurangi dampak buruk yang terus menghantui pulau-pulau kecil,” ujar Hendrik.
Baca Juga:Â Hujan Deras Jebolkan Kandang Penangkaran, 5 Buaya Lepas di Pulau Bulan
Sebagai aktivis lingkungan, Hendrik percaya bahwa manusia memiliki tanggung jawab besar terhadap alam. “Kita sering bicara soal ibadah kepada Tuhan, tapi lupa bahwa alam adalah tempat kita semua bergantung. Ibadah kepada alam adalah wujud nyata dari kepedulian kita kepada Sang Pencipta,” ujarnya.
Hendrik mengingatkan bahwa perubahan iklim tak mengenal batas agama, budaya, atau status sosial. Ia menyerukan kebersamaan dari semua golongan untuk menjaga bumi. Perubahan iklim ini masalah kolektif dan harus bersama-sama menghadapinya.
Ia juga menggambarkan bagaimana nelayan di pesisir Kepri sering menjadi korban pertama dari anomali iklim. Angin kencang dan ombak besar memaksa mereka menambatkan kapal, menghentikan sumber penghidupan.
“Ini bukan soal kehilangan penghasilan saja, tapi kehilangan harapan untuk bertahan hidup,” kata dia.
Di balik fenomena ini, ia percaya bahwa alam memberikan peringatan. “Apakah ini butterfly effect dari selembar daun jatuh di Amazon yang menyebabkan badai di Sahara? Mungkin. Tapi yang jelas, ini adalah peringatan. Sebuah pesan yang harus kita dengar,” katanya filosofis.
Ia turut mengingatkan, bencana ini tak bisa semata-mata disebut bencana alam. Ini adalah akumulasi dari perilaku manusia yang abai terhadap lingkungan.
Baca Juga:Â Pemko Batam Bantu Korban Longsor di Tiban
Bagi Hendrik, perubahan iklim adalah kenyataan yang harus diterima, tapi bukan berarti tanpa solusi. Mitigasi adalah langkah penting yang harus dijalankan bersama. Menanam pohon, menjaga mangrove, dan memulihkan ekosistem adalah langkah kecil yang berdampak besar.
Di tengah hujan yang masih mengguyur Batam, Hendrik berharap pemerintah dan masyarakat mulai melihat pentingnya pembangunan berbasis lingkungan.
“Jangan biarkan bencana terus berulang tanpa ada upaya nyata untuk mencegahnya,” katanya.
Hujan yang tak kunjung reda, longsor, dan peringatan alam lainnya adalah isyarat bagi kita semua. Dia percaya bahwa ini adalah panggilan untuk kembali memelihara harmoni dengan alam. (*)
Reporter: Arjuna