Sempat mengalami mati suri, usaha galangan kapal di Batam mulai bangun lagi. Pesanan dari industri pertambangan dan pertahanan kini berdatangan. Terkendala tenaga kerja terampil.
Reporter: EUSEBIUS SARA, EGGI IDRIANSYAH
INDUSTRI galangan kapal Batam bangun dari tidur panjangnya. Sejak memasuki masa suram pada 2014 silam, satu per satu perusahaan yang sempat vakum, kini beroperasi lagi. Pesanan dari dalam dan luar negeri kini berdatangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) Batam mencatat, pada Maret 2022, misalnya, nilai ekspor kapal laut dari Batam mencapai 45,54 juta dolar AS. Sedangkan di bulan April 2022 berada di angka 40,06 juta dolar AS.
Angka tersebut naik tinggi dibanding masa-masa kelam industri galangan 2014-2020. Pada Januari 2017, misalnya, ekspor kapal dari Batam “hanya” 0,5 juta dolar AS. Kemudian di bulan Februari naik menjadi 5,4 juta dolar Amerika.
Ketua DPC Ikatan Perusahaan Industri Galangan Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Kepri, Ali Ulai, mengatakan membaiknya iklim usaha galangan kapal hendaknya diikuti dukungan penuh pemerintah pada sisi perizinan.
“Sudah membaik, cuma harus didukung dengan mempermudah perizinan. Izin pelabuhan, izin pelsus (pelabuhan khusus) dan lain sebagainya perlu dukungan pemerintah,” ujar Ali Ulai.
Ali menjelaskan, pesanan pembuatan kapal, khususnya tongkang, cukup banyak sepanjang tahun ini. Bahkan orderan ini bisa bertahan hingga setahun ke depan.
Baca Juga: Kebutuhan Pasar Tenaga Kerja di Batam Mulai Berubah
Tumbuhnya industri pertambangan di sejumlah daerah berdampak besar bagi industri perkapalan di Batam.
Hal itu didukung longgarnya aturan ekspor mineral mentah ke luar negeri. Perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut membutuhkan banyak tongkang dan tugboat untuk mengangkut hasil eksploitasi sumberdaya alam itu ke berbagai negara.
“Perusahaan nikel, batubara, dan kelapa sawit butuh banyak armada saat ini. Ini kabar baik bagi pelaku industri galangan kapal di Batam,” kata Ali.
Bila dirunut ke belakang, redupnya bisnis pembuatan dan reparasi kapal di Batam sejak 2014 berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah pusat soal pertambangan.
Bermula dari terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, yang mengatur pelarangan ekspor mineral mentah, sebagai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Perusahaan-perusahaan pertambangan diwajibkan mengolah hasil produksi mereka sebelum diekspor. Persoalannya biaya yang dibutuhkan sangat mahal karena harus membangun smelter sendiri, yang biayanya mencapai Rp 5 triliun. Kebijakan tersebut membuat industri pertambangan meredup yang berimbas pada usaha galangan di Batam.
Padahal, di masa keemasannya 2006-2013, industri galangan kapal di Batam mampu menyerap 250 ribu tenaga kerja melalui 126 perusahaan.
Baca Juga: Polresta Barelang Sediakan Layanan Perpanjangan SIM Online, Begini Caranya…
Ali Ulai mengatakan, industri galangan kapal Batam kini menapaki kembali jalan kejayaan. Hanya saja, di tengah tingginya pesanan saat ini, pemilik perusahaan justru kesulitan mencari tenaga kerja terampil untuk mengerjakan aneka permintaan dari pelanggan. “Kami butuh ribuan tenaga kerja,” kata Ali. Tenaga terampil yang diperlukan terutama di sektor tukang las atau welder.
“Tapi ada persoalan yang cukup serius yang didapat perusahaan galangan kapal sekarang ini, tenaga welding (tukang las) tak ada. Hampir semua galangan kekurangan tukang las,” ujar Ali.
Iperindo yang memiliki 30 an anggota perusahaan galangan kapal, kata Ali, membutuhkan sekitar 5.000 tenaga welding yang sesuai kualifikasi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Batam, Rafki Rasyid, membenarkan pulihnya kondisi usaha shipyard di Batam, sehingga membutuhkan lebih banyak tenaga kerja dibandingkan tahun lalu.
“Persoalannya yang dibutuhkan adalah para tenaga kerja terampil termasuk utamanya keahlian mengelas (welding),” katanya.
Baca Juga: Syarat Perjalanan Dengan Kapal Pelni, PCR dan Antigen Tidak Berlaku Lagi
Namun, saat ini, para welder yang di Batam sudah banyak yang pulang kampung dan bekerja di daerah lain. Bahkan sudah banyak juga yang direkrut bekerja ke luar negeri, sehingga Batam menjadi kekurangan tenaga kerja welder dan keahlian sejenis lainnya.
“Jika di Batam sudah ada BLK (Balai Latihan Kerja), hal ini tentu akan bisa dipenuhi dengan melatih para pencari kerja yang ada sekarang,” katanya.
Akan tetapi, BLK di Batam belum ada. Sementara untuk LPK swasta ada beberapa LPK yang menyediakan pelatihan ini, biayanya lumayan mahal. Bisa mencapai Rp 15 juta hingga Rp 30 Juta per orang.
Dengan biaya yang cukup mahal tersebut, tentunya tidak bisa diakses oleh sebagian besar pencari kerja yang memiliki keuangan terbatas.
“Disnaker Batam ada juga memberikan bantuan melalui pelatihan gratis dengan memakai dana IMTA tapi jumlahnya tentu juga terbatas. Sehingga dalam jangka pendek kekurangan tenaga kerja welder ini kemungkinan masih akan terjadi,” tuturnya.
Baca Juga: UMK Kota Batam Dibahas Hari Selasa, Kadisnaker: Kita Tegak Lurus Sesuai Permenaker No 18
Ketua Bidang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia, Tjaw Hioeng, mengatakan permasalahan utama dunia kerja saat ini terletak antara kebutuhan dengan suplai dan skill yang tidak berimbang.
Kebutuhan dari Industri shipyard dan migas memerlukan soft skill welder. Sementara suplai yang tersedia lebih memilih industri manufaktur.
“Dan di lain sisi, skill yang dibutuhkan juga tidak sesuai dengan yang diminta oleh industri-industri tersebut. Sehingga suplainya melimpah, tapi tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada,” katanya.
Ia melanjutkan, tenaga welder yang siap pakai dan punya kompetensi hanya sedikit dan menjadi rebutan perusahaan. Sehingga, hal ini menjadi problem utamanya.
Dalam mengatasi permasalahan ini, perlu didorong pelatihan-pelatihan yang berbasis perkapalan untuk jangka pendek. Sedangkan untuk jangka menengah dan panjang, melalui progam vokasi antara dunia usaha dan dunia pendidikan. (*)