Sabtu, 4 Januari 2025

Jadi Nama Flyover di Batam, Siapakah Laksamana Ladi?

Berita Terkait

spot_img
Flyover Laksamana Ladi di kawasan Seiladi yang baru saja diresmikan. F.Cecep Mulyana/Batampos

batampos – Sebuah nama melurus, memahat dirinya di bawah beton kokoh jalan layang (flyover) terbaru di Batam: Laksamana Ladi. Sebutan ini memantik rasa ingin tahu, menyelipkan aroma kebesaran sejarah dan kepahlawanan. Namun, di balik gegap gempita peresmian dan keriuhan publik, satu pertanyaan mengemuka: siapakah sebenarnya Laksamana Ladi? Apakah dia benar ada?

Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, sebagai pengusung nama ini, dengan tegas menyebut sosok tersebut sebagai salah satu legenda di Batam. Pernyataan itu melahirkan gelombang harapan, seakan Batam akan menemukan kembali satu fragmen sejarah yang lama terkubur. Akan tetapi, di tengah penggalian makna, para budayawan dan sejarawan lokal justru dihadapkan pada kesunyian.


Ironi ini menebarkan nuansa misteri di antara gemerlap modernitas Batam. Apakah Laksamana Ladi adalah pahlawan yang terlupakan, atau justru sebuah dongeng yang baru dilahirkan? Literasi sejarah yang tak mencatat namanya membuat publik bertanya-tanya: adakah makna tersembunyi di balik penamaan ini?

Di tengah hiruk-pikuk pembangunan kota, nama Laksamana Ladi kini menjadi simbol paradoks. Ia mengajak kita merenungi jejak sejarah yang tak selalu terang, serta bagaimana kota ini, yang terus berlari mengejar masa depan, mungkin telah kehilangan sebagian dari akar masa lalunya.

Baca Juag: Harga Pertamax Naik Rp400 per Liter di Kepri Mulai 1 Januari 2025

Pada 24 Desember lalu, BP Batam merilis catatan singkat mengenai asal-usul Sei Ladi. Nama tersebut, seperti halnya banyak nama tempat di Kepulauan Riau, berakar dari bahasa Melayu. “Sei” berarti sungai, sementara “Ladi” merujuk pada seorang tokoh penting, seorang laksamana yang dipercaya berperan besar dalam menjaga perairan Melayu pada masa Kesultanan Riau-Lingga.

Laksamana Ladi mereka sebut sebagai pemimpin tangguh armada laut Melayu, sosok yang mengawal kedaulatan laut dari ancaman bajak laut hingga kekuatan asing yang mencoba menguasai jalur perdagangan strategis di kawasan Riau. Keberanian dan kepiawaiannya dalam strategi pertempuran laut menjadikannya figur yang dihormati, meskipun hingga kini bukti tertulis mengenai kiprahnya belum ditemukan dalam literatur resmi.

Ketika Flyover Laksamana Ladi diresmikan pada 31 Desember, Komandan Lantamal IV, Laksamana Pertama TNI Tjatur Soniarto, menjelaskan bahwa nama tersebut diusulkan oleh Muhammad Rudi, Kepala BP Batam sekaligus Wali Kota Batam.

“Walau tidak ada catatan literatur, kisah Laksamana Ladi berasal dari kearifan lokal yang menceritakan perlawanan beliau terhadap penjajah Belanda. Nama ini merupakan penghormatan atas perjuangan beliau,” katanya.

Baca Juga: Realisasi Pajak Bapenda Kota Batam Tembus Rp 1,4 Triliun

Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri Kota Batam berkumpul dalam sebuah rapat mendesak pada malamnya, untuk membahas menyoal Laksamana Ladi itu. Ada yang dirasa kurang pas, seperti jejak yang salah langkah, menodai warisan yang seharusnya terjaga.

LAM tahu, apa yang akan mereka bahas malam itu bukan cuma perkara nama. Bukan juga kemegahannya yang dipersoalkan, melainkan nama yang melekat padanya, nama yang seolah muncul tanpa akar, tanpa sejarah yang tertanam di tanah ini.

Dari pertemuan itu, sebuah keputusan bulat diambil. LAM Batam akan mengirimkan surat resmi kepada BP Batam. Dalam surat itu, mereka meminta jawaban, sebuah penjelasan yang mendalam dan menyeluruh mengenai latar belakang penamaan jalan layang tersebut. Petua adat juga mendesak adanya kajian yang melibatkan LAM dan para sejarawan, demi memastikan bahwa nama yang tertulis di atas jembatan itu benar-benar mencerminkan jiwa dan sejarah Melayu.

Bagi mereka, menjaga warisan adalah tugas suci, tugas yang tidak boleh tergelincir oleh sembarang keputusan. Karena dalam sebuah nama, tersimpan cerita, martabat, dan kehormatan yang tak boleh tergadaikan.

Seperti halnya banyak legenda, kisah Laksamana Ladi memantik perdebatan tak pakai sudah. Budayawan Melayu Kepri, Abdul Malik, menyatakan dirinya belum pernah menemukan bukti sejarah yang menguatkan keberadaan tokoh tersebut. Ia menduga bahwa nama “Ladi” mungkin lebih terkait dengan suku asli penghuni kawasan itu.

Baca Juga: PNBP Imigrasi Belakang Padang Lampaui Target hingga 277 Persen di 2024

“Saya belum pernah baca sejarahnya. Saya tak berani menjawab jika belum menemukan sumber resminya. Setau saya, Ladi itu nama suku asli, seperti suku Sakai. Mungkin dulu di tempat itu bermukim suku Ladi,” kata dia.

Senada, Samson Rambah Pasir, budayawan Batam, juga meragukan keberadaan figur Laksamana Ladi. Ia mengungkapkan bahwa nama “Ladi” lebih mungkin merujuk pada suku asli yang menghuni berbagai tempat di Kepri, termasuk Kampung Ladi di Pulau Penyengat.

“Sejauh yang saya tahu, tak ada pula (figur Laksamana Ladi). Mungkin pengetahuan saya terbatas,” ujarnya sambil bercanda.

Ia menyebut, Suku Ladi ini umumnya dikenal sebagai pelayan istana, bukan prajurit atau laksamana. Ladi itu nama suku asli yang mendiami kawasan itu di masa dulu. Nama Sungai Ladi ada di banyak tempat di Kepri. Bahkan, di Pulau Penyengat, dekat keraton, ada kampung Ladi yang dihuni suku Ladi.

Tiada yang khas tentang Sei Ladi, begitu juga dengan Suku Ladi yang notabene, umumnya, adalah pelayan istana. Mereka juga bak orang Sakai.

“Mereka (Suku Ladi) tidak punya tradisi berperang. Mereka paling modern pelayan istana dalam kerajaan. Beda dengan orang Galang yang punya tradisi berperang. Orang Gelam yang punya tradisi membuat kapal perang,” ujar Samson.

Aswandi Syahri, sejarawan Batam, juga buka suara. “Saya baca berita setelah peresmian itu, mereka mengaitkan Laksamana Ladi dengan Kerajaan Riau-Lingga. Tapi, nama itu tak pernah ada. Tak tercatat dalam sejarah, tak terdengar dalam cerita rakyat,” ucapnya dengan nada serius.

Sejarah, bagi Aswandi, adalah nyala api yang harus dijaga dengan bukti. Arsip demi arsip telah ia selami, mulai dari naskah kuno hingga dokumen kerajaan. Namun, nama Laksamana Ladi tak kunjung ditemukan.

“Tak hanya dari buku, saya baca arsip asli. Memang tak ada nama itu. Kalau memang ada buktinya, tak masalah. Tapi kalau hanya rekaan, itu berbahaya. Nama yang dikaitkan dengan sejarah kerajaan membutuhkan legitimasi,” katanya yang juga pengurus LAM Kepri itu.

Nama “Ladi” memang punya akar di wilayah ini. Sungai Ladi, sebuah aliran yang pernah menjadi nadi kehidupan suku-suku laut, mungkin menjadi asal muasal nama itu.

Orang Ladi, begitu mereka dikenal, adalah salah satu komunitas dari berbagai suku laut yang mendiami kawasan ini. Mereka dikenal karena keahlian mendayung dan membangun istana.

Kaum perempuan mereka, sering disebut sebagai penyedia sirih dan kapur di istana raja. Namun, meski kisah suku Ladi begitu kuat dalam memori lokal, tidak ada sama sekali jejak mereka yang berkaitan dengan perang atau kepemimpinan dalam sebuah kerajaan

“Orang Ladi ini terkenal sebagai pembuat perahu, bukan pejuang. Dalam sejarah, yang terkenal sebagai pejuang itu adalah orang Galang,” kata Aswandi.

Baca Juga: KSOP Batam Pantau Langsung Aktivitas Penumpang Kapal Pelni di Malam Tahun Baru

Nama Laksamana Ladi kini tersemat pada sebuah karya infrastruktur, seolah menghidupkan kembali sosok yang sebenarnya tak pernah hadir dalam sejarah. Tetapi, pertanyaannya, apa misi BP Batam dari nama ini?

“BP Batam seharusnya berkonsultasi dengan lembaga adat. Kita punya warisan budaya yang harus dihormati. Ini bukan soal nama semata, tapi soal keabsahan sejarah yang menjadi bagian identitas kita,” ujar Aswandi.

Bagi masyarakat Melayu, sejarah bukan sekadar rentetan peristiwa, melainkan napas identitas. “Saya minta ini ditinjau ulang. Dudukkanlah persoalan ini bersama lembaga adat Melayu. Jangan sampai nama yang dipilih justru menjadi kontroversi, bukan kebanggaan,” tegasnya.

Narasi tentang Laksamana Ladi mungkin telah menghiasi prasasti, tapi apakah ia mampu berdiri kokoh di bawah sorotan sejarah? Bagi Aswandi dan para penjaga tradisi, jalan menuju kebenaran adalah dengan menggali lebih dalam, mendengarkan mereka yang hidup dari akar sejarah, dan memberikan tempat yang layak bagi warisan budaya yang tak tergantikan. (*)

 

 

spot_img

Update