batampos – Kejaksaan Negeri Batam membebaskan 2 orang tersangka dalam kasus berbeda dari jerat hukum pidana melalui Restorative Justice (RJ), Jumat (13/1/2023). Mereka adalah Harris Fadillah terjerat tindak pidana penadahan sepeda motor curian dan Denar tersangka penggelapan uang rekannya sebesar Rp 45 juta.
Proses pembebasan keduanya diiniasi oleh Kejari Batam,dengan tujuan memberi keadilan hukum di luar peradilan melalui program RJ. Tentunya kedua perkara ini, sudah mendapat persetujuan dari para korban, sebagai salah satu syarat tersangka bisa mendapat program RJ.
Setelah mendapat maaf dari korban dengan cara berdamai, jaksa akhirnya melakukan expos perkara secara berjenjang. Mulai dari Kejati Kepri yang kemudian berlanjut ke Kejaksaan Agung.
“Mengawali tahun baru 2023,syukur alhamdulillah dua perkara yang kami ajukan permohonan RJ nya secara berjenjang, ke Kejati dan Kejaksaan Agung di setujui oleh bapak Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum. Berdasarkan itu, kami tindaklanjuti
pelaporannya untuk dibuatkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), ” kata Herlina usai menyerahkan berkas SKPP kepada kedua tersangka.
Dijelaskannya, RJ adalah penyelesaian perkara tindak pidana di tingkat penuntutan atau di kejaksaan dengan
azas keadilan. Program ini berjalan karena melibatkan tersangka, korban, keluarga kedua belah pihak, dan pihak terkait.
“Untuk perkara yang kami RJ kan diawal tahun ini adalah perkara Penadahan pasal 480 Kuhap dan pengelapan pasal 378 kuhap,” sebut Herlina.
Adapun kedua tersangka atau pelaku tindak pidana yang dihentikan penuntutan adalah Harris Fadillah yang disangka melanggar pasal 480 ayat (1) ke 1 KUHPidana tentang penadahan, lantaran membeli kendaraan bermotor hasil kejahatan (Curanmor) seharga Rp 800 ribu. Kemudian Denar atas tindak pidana penggelapan uang sebesar Rp 45 juta milik temannya. Dalam kasus ini, ia (Denar) pun dijerat dengan pasal 374 ayat (1) KUHPidana.
“Restoratif justice terhadap kedua perkara ini tergolong sangat cepat. Sebab baru tadi pagi kami melakukan gelar perkara (ekspose) dan langsung disetujui oleh Kejati Kepri dan Kejaksaan Agung,” papar Herlina.
Herlina menjelaskan, langkah restoratif justice yang ditempuh Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menyelesaikan perkara tersebut di luar persidangan setelah berkoordinasi dan memediasi dengan masing-masing pihak yang berperkara.
Dari hasil koordianasi atau mediasi, tutur Herlina, para pihak yang berperkara (tersangka dan korban) sepakat berdamai dan saling memaafkan agar perkara ini tidak dilanjutkan sampai ke meja persidangan
Restorative justice dilakukan atas permohonan dari keluarga tersangka dengan pertimbangan tersangka sudah mengakui perbuatannya. Selain itu, antara korban dan tersangka sudah ada kesepakatan berdamai. Setelah dipelajari dan mengacu pada keadilan restoratif yang membolehkan, kedua perkara itu dihentikan.
Acuan pertama yang menjadi bahan pertimbangan adalah ancaman hukuman di bawah lima tahun. Terdakwa juga baru pertama kali melakukan tindak pidana artinya masih belum residivis atau belum pernah melakukan tindak pidana berulang-ulang
“Keputusan restorative justice secara otomatis menutup perkara tindak pidana penadahan dan penggelapan, sehingga tidak ada lagi persidangan ke depannya. Inti dari restorative justice adalah mengembalikan suasana atau situasi dalam keadaan semula sebelum terjadinya tindak pidana,” timpalnya
Kajari pun berharap, program restorative justice (RJ) tidak hanya menghentikan perkara semata, tetapi juga menggerakan para tersangka, korban dan masyarakat untuk berperan dalam menciptakan harmoni di masyarakat, dan membuat suasana sama seperti sebelum terjadinya tindak pidana
Diketahui, Restorative Justice adalah upaya penyelesaian perkara di luar jalur hukum atau peradilan, dengan mengedepankan mediasi antara pelaku dengan korban. Syarat pelaku yang bisa mendapatkan RJ adalah belum pernah di hukum, kemudian ancaman hukuman dari perbuataanya itu kurang dari 5 tahun. (*)
Reporter : Yashinta