Rabu, 9 Oktober 2024

Keran Ekspor Laut Kepri Akan Merusak Ekosistem Laut

Berita Terkait

spot_img

batampos – Keputusan Presiden Jokowi membuka kembali ekspor pasir laut berkedok sedimentasi akan memberikan dampak mengerikan bagi Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Pasalnya, 143 ribu nelayan di wilayah ini akan terancam masa depannya apabila aktivitas tersebut dilaksanakan. Wajar saja jika akhirnya nelayan melawan dan menolak pengerukan laut yang menjadi sumber penghasilan mereka.

Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri, jumlah nelayan di wilayah Kepri tercatat sebanyak 143.354 orang. Angka ini juga telah dilaporkan ke Badan Perlindungan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan).

“Jumlah nelayan di seluruh wilayah Provinsi Kepri sampai saat ini adalah sebanyak 143.354 orang yang tersebar di tujuh kabupaten/kota,” ujar Kepala DKP Provinsi Kepri, Said Sudrajat, belum lama ini.

Menurutnya, nelayan adalah kelompok rentan yang harus mendapatkan perlindungan. Pemerintah juga telah menga-tur wilayah tangkap bagi nelayan, baik nelayan tradisional maupun yang sudah modern, sehingga tidak terganggu oleh aktivitas lain.

“Kepentingan nelayan harus menjadi perhatian besar. Atas dasar itu, perlindungan terhadap nelayan adalah sebuah keharusan,” tegasnya.

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepri, Distrawandi, mengkritik keras kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait ekspor pasir laut. Menurutnya, kebijakan ini berdampak buruk terhadap kehidupan nelayan dan lingkungan pesisir di Kepri.

“Kami rasa kebijakan dari KKP itu brutal dan tidak memikirkan aspek nelayan serta lingkungan,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Ia mengungkapkan bahwa aktivitas ekspor pasir laut telah mengurangi hasil tangkapan ikan secara signifikan. Kegiatan sedimentasi dan penambangan pasir tumpang tindih dengan zona perikanan tangkap, sehingga berdampak langsung pada pendapatan nelayan.

pasir lautPerbandingan hasil tangkapan ikan sebelum dan sesudah aktivitas ekspor pasir laut sangat mencolok, dengan penurunan drastis yang dirasakan oleh nelayan.

“Pasti sangat berkurang karena kegiatan sedimentasi tersebut tumpang tindih dengan zona perikanan tangkap,” katanya.

Ia juga menyoroti kerusakan lingkungan laut akibat penambangan pasir, termasuk kerusakan terumbu karang dan habitat ikan. Eksploitasi pasir laut tidak memperhatikan kearifan lokal dan mengancam kelestarian ekosistem laut yang menjadi sandaran hidup nelayan tradisional.

“Kita tidak tahu seganas apa mereka mengeksploitasi sehingga tidak lagi memandang kearifan lokal bagi nelayan tradisional,” ujarnya.

HNSI Kepri telah menerima banyak keluhan dari anggotanya terkait dampak negatif ekspor pasir laut. Keluhan tersebut datang dari berbagai pengurus DPC HNSI di kabupaten-kabupaten yang terdampak oleh aktivitas sedimentasi.

“Kami sudah menerima surat dan bentuk keluhan dari pengurus DPC HNSI yang ada di kabupaten yang akan dilak-sanakan kegiatan sedimentasi atau penambangan pasir laut,” ujar Distrawandi.

Menurutnya, pendapatan nelayan menurun drastis akibat penurunan hasil tangkapan. Ia khawatir dampak jangka panjang dari eksploitasi pasir laut ini akan memperparah situasi nelayan dan masyarakat pesisir.

“Kami sangat yakin kalau hal ini terjadi, akan lebih gawat lagi daripada masalah kasus Rempang,” ujarnya.

Meskipun beberapa kali diundang dalam rapat koordinasi, Distrawandi menilai bahwa pemerintah kurang mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan dan kehidupan nelayan sebelum menetapkan kebijakan ekspor pasir laut. Sebagai solusi, HNSI Kepri mengusulkan agar sedimentasi dilakukan di tempat-tempat yang tidak bersinggungan dengan zona perikanan tangkap nelayan.

Pihaknya menyarankan pendalaman alur di wilayah yang dangkal sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan. “Silakan lakukan kegiatan sedimentasi atau lainnya, mungkin bisa dilakukan pendalaman alur di tempat-tempat yang sudah dangkal dan tidak bersinggungan dengan zona perikanan tangkap nelayan,” katanya.

Dengan berbagai dampak negatif yang terjadi, HNSI Kepri menegaskan bahwa kebijakan ini sangat merugikan nelayan dan mengancam keberlanjutan mata pencarian mereka di masa depan. ”Sesuai yang kami sampaikan, kebijakan ini sangat merugikan nelayan,” ujar Distrawandi.

Terpisah, Guru Besar Universitas Pakuan Bogor, Andi Muhammad Asrun, yang juga mantan pengacara Pemprov Kepri, mengatakan bahwa nelayan di Provinsi Kepri harus melakukan perlawanan. Karena jika aktivitas ini dilak-sanakan, nelayan adalah pihak yang paling terdampak.

“Jika kita lihat ke belakang, aktivitas ekspor pasir laut di Provinsi Kepri justru tidak memberikan dampak besar bagi percepatan pembangunan daerah,” ujarnya.

Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas tambang membutuhkan waktu lama untuk diperbaiki. Provinsi Kepri adalah daerah yang memiliki luas laut 96 persen. Maka tidak heran jika kemudian daerah ini ditetapkan sebagai salah satu lokasi prioritas atau sasaran untuk ekspor sedimentasi.

“Namun jika ini dipaksakan dengan dalih apa pun, maka keberlangsungan hidup atau masa depan nelayan yang akan menjadi korban,” tegasnya.

Maka dari itu, ia mendorong nelayan-nelayan di Provinsi Kepri untuk berani bersuara menolak rencana ini. Ia berharap, para nelayan tidak termakan bujuk rayu dalam bentuk apa pun, karena ini menyangkut hajat hidup mereka sebagai nelayan, terutama nelayan tradisional.
Menurutnya, dari laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sebanyak 26 pulau tenggelam di Provinsi Kepri. Penyebabnya adalah aktivitas tambang. Baginya, ini adalah dampak nyata bahaya dari tambang pasir laut. Apabila ini diteruskan, maka akan mengancam keberlangsungan Provinsi Kepri.

“Jika kita biarkan tambang pasir laut berjalan, maka Provinsi Kepri berada dalam ancaman tenggelam. Maka pemerintah daerah di Provinsi Kepri harus bergerak menolak ini,” tegasnya.
Ia menambahkan, kebijakan yang dikeluarkan Presiden Jokowi bertentangan dengan komitmennya terhadap perlindungan ekosistem laut, wilayah pesisir, dan pulau kecil. Maka dari itu, pihaknya melihat kebijakan ini sarat dengan kepentingan bisnis kelompok tertentu.

“Nelayan juga harus bersatu, jika perlu melakukan gugatan, karena ini menyangkut keberlangsungan hidup mereka sebagai nelayan,” tutupnya.

Seperti diketahui, setelah dua dekade aktivitas ekspor sedimentasi dan pasir laut disetop pada era Presiden Megawati, pada ujung masa jabatannya, Presiden Jokowi menganulir moratorium tersebut dengan membuka kembali izin tersebut dengan dalih untuk mengatasi kedangkalan jalur pelayaran.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KKP) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, Provinsi Kepri menjadi lokasi prioritas atau sasaran untuk pelaksanaan penam­bangan sedimentasi.

Merujuk pada Permen KKP Nomor 16 Tahun 2024 tersebut, luas perairan Provinsi Kepri yang akan menjadi sasaran pengerukan sedimentasi adalah 3.030.320.445,37 meter persegi, yang terbentang sampai ke Laut Natuna Utara. Daerah-daerah yang akan terkena dampak termasuk Laut Natuna, Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan.

Dalam peraturan tersebut juga ditegaskan bahwa kedalaman sedimentasi laut yang akan dikeruk atau disedot untuk diekspor adalah 3 meter. Sedangkan potensi volume hasil sedimentasi di laut wilayah Provinsi Kepri adalah sebanyak 9.090.961.336,11 meter kubik.

Sementara itu, mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kepri, Sahat Sianturi, mengatakan bahwa dalam perda tersebut tidak ada aturan mengenai pengerukan sedimentasi. “Jika kita lihat dari Permen Kementerian Kelautan dan Perikanan, kewenangan sepenuhnya berada di pemerintah pusat. Karena tidak ada diatur dalam Perda RZWP3K,” ujarnya.

Menurut politisi PDI Perjuangan ini, pendapatan yang diterima dari ekspor sedimentasi tersebut dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang artinya milik pemerintah pusat.

Baginya, tidak adil, apabila daerah tidak mendapatkan benefit, jika kebijakan ini diterapkan.

“Pemerintah daerah harus mempertanyakan ini, karena ini menyangkut berbagai persoalan. Baik itu masalah penerimaan daerah, rehabilitasi lingkungan dan nelayan tentunya.”

Lebih lanjut, katanya, apa yang diatur dalam Perda RZWP3K adalah terkait wilayah tambang pasir laut. Namun ia memastikan, aktivitas itu nanti tidak dilakukan di wilayah tangkap nelayan, karena akan dilakukan di atas 4 mil.

“Wilayah tangkap nelayan kita atur di dalam area 4 mil, sedangkan aktivitas tambang pasir laut adalah di atasnya,” tutup Sahat. (*)

 

Reporter: Alfian Lumban Gaol – Jailani – Arjuna

spot_img

Update