Sabtu, 21 Desember 2024

Kerusuhan Rempang, Komnas HAM dan Ombudsman Desak Penegakan Hukum

Berita Terkait

spot_img
Satreskrim Polresta Barelang melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di sejumlah lokasi di Sembulang untuk mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan dari saksi. Foto: Eusebius Sara/ Batam Pos

batampos – Bentrokan antara warga Kampung Sembulang Hulu dan Sei Buluh, Rempang dengan puluhan pekerja PT Makmur Elok Graha (PT MEG) pada Selasa (17/12) malam hingga Rabu (18/12) dini hari kembali memicu perhatian publik. Peristiwa ini terjadi di tengah konflik agraria berkepanjangan terkait proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City.

Bentrokan tersebut mengakibatkan korban dari pihak warga, menambah daftar panjang insiden serupa yang telah berlangsung sejak 2023.


Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, mengutuk kekerasan yang terjadi dan mendesak pihak berwenang untuk mengambil tindakan tegas.

Baca Juga: Polisi Tegaskan Komitmen Usut Tuntas Kasus Penyerangan di Rempang

“Kami meminta Polda Kepri untuk melakukan penegakan hukum yang transparan dan adil. Negara harus menjamin pemulihan bagi korban kekerasan, termasuk dari aktor non-negara,” katanya, Jumat (20/12).

Dia menyerukan agar konflik agraria ini diselesaikan melalui dialog bermakna yang melibatkan semua pihak, seraya menambahkan bahwa keberulangan insiden ini menunjukkan permasalahan serius yang memerlukan solusi segera.

Selain itu, Komnas HAM meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan kepada korban dan saksi kekerasan. Pemerintah diminta untuk menjadikan penyelesaian konflik agraria sebagai agenda prioritas, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Sementara itu, Wakil Wali Kota Batam, Amsakar Achmad, berharap konflik ini dapat diselesaikan dengan baik dan damai. “Kalau ada langkah yang baik, mengapa harus memilih langkah yang justru membuat masalah,” ujarnya singkat, Rabu (18/12) lalu.

Sementara itu, Kepala Ombudsman Kepri, Lagat Parroha Patar Siadari, menyayangkan bentrokan tersebut dan menilai insiden itu tidak seharusnya terjadi.

Ia menegaskan, bahwa Ombudsman telah menyampaikan temuan maladministrasi terkait proyek ini pada Januari 2024, mencakup kelalaian, penundaan berlarut, dan penyimpangan prosedur.

“Tindakan korektif telah kami sampaikan kepada BP Batam dan Pemko Batam agar lebih mengutamakan musyawarah dengan masyarakat terkait relokasi, serta menghindari intimidasi dan kekerasan,” kata Lagat, Sabtu (21/12).

Ombudsman meminta Menteri Investasi BKPM, mengevaluasi proyek Rempang Eco-City, karena adanya kemungkinan kesalahan dalam penetapan lokasi pembangunan di wilayah yang telah lama dihuni masyarakat.

Lagat menegaskan pentingnya mempertahankan keputusan Pemko Batam dalam Keputusan Wali Kota No. 105/2004, yang menetapkan sejumlah wilayah di Rempang sebagai kampung tua.

“Hak-hak masyarakat yang telah tinggal di sana selama puluhan, bahkan ratusan tahun, harus dilindungi,” ujarnya.

Lalu, penerbitan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) harus memenuhi syarat clear and clean, di mana tidak ada lagi masyarakat yang menguasai lahan tersebut. Proses musyawarah dan sosialisasi harus terus dilakukan dengan pendekatan persuasif untuk memastikan kesukarelaan masyarakat dalam relokasi.

Ombudsman juga mengimbau masyarakat agar menjaga kondusifitas dan memberikan kepercayaan kepada pemerintah. Ia optimistis bahwa dengan adanya transisi pemerintahan, proyek PSN ini akan ditinjau ulang untuk menghasilkan solusi yang lebih konkret dan adil.

“Harapan kami, Rempang Eco-City dapat dikembangkan tanpa harus memaksa relokasi warga. Proyek ini seharusnya memberikan nilai tambah bagi masyarakat, bukan malah meminggirkan mereka,” kata dia.

Peristiwa ini kembali menegaskan perlunya pendekatan yang lebih manusiawi dan inklusif dalam menyelesaikan konflik agraria di Rempang, agar pembangunan dapat berjalan seiring dengan perlindungan hak-hak masyarakat setempat. (*)

Reporter: Arjuna

spot_img

Update