Sabtu, 9 November 2024

Ketangguhan Batam Diuji

Berita Terkait

spot_img
Ilustrasi kawasan industri di Kota Batam. Foto: BP Batam untuk Batam Pos

Krisis ekonomi atau resesi menerpa negara-negara Eropa dan Amerika yang selama ini menjadi tujuan ekspor produk industri Batam dan Kepri. Seperti apa dampaknya bagi Batam dan Kepri? Akankah berimbas pada nasib pekerja.

Reporter: EGGI IDRIANSYAH, YULITAVIA

DANA Moneter Internasional (IMF) menyebutkan, tahun 2023 akan menjadi tahun yang sulit bagi perekonomian dunia. Lembaga keuangan yang berpusat di Washington DC, Amerika Serikat, itu menyatakan krisis ekonomi 2023 akan menjadi krisis terberat dalam dua dekade terakhir.

Menurut IMF, tiga kekuatan ekonomi dunia: Amerika Serikat, China, dan Eropa bakal memasuki masa-masa gelap.

Lantas apa hubungannya dengan Batam dan Kepri? Amerika Serikat, China, dan sejumlah negara besar Eropa yang kini diselimuti krisis merupakan negara tujuan utama ekspor hasil industri manufaktur di Kepri. Oleh Badan Pusat Statistik, manufaktur dimasukkan dalam kelompok komoditi nonmigas.

Data BPS menunjukkan, pada Agustus 2022, setelah Singapura yang berada di posisi pertama, negara yang jadi tujuan ekspor produk nonmigas asal Kepri adalah Denmark dengan nilai 465,69 juta dolar. Posisi ketiga ditempati Amerika Serikat dengan nilai ekspor 438,26 juta dolar. Berikutnya adalah China sebesar 54,15 juta dolar. Negara dengan tujuan ekspor terbesar lainnya adalah Jepang, Belanda, Jerman, dan Australia.

Negara-negara tersebut kini sedang berjuang mengatasi krisis energi, pangan, dan ekonomi sebagai dampak perang Rusia-Ukraina dan efek berbagai kebijakan ekonomi yang menyebabkan inflasi tinggi.

Empat bulan menjelang 2023, nilai ekspor nonmigas Kepri pada September 2022 turun sebesar 36,66 persen dibanding bulan sebelumnya. Lonceng peringatan itu sudah menyala.

Kepala Tim Implementasi KEKDA Bank Indonesia Perwakilan Kepri, Miftachul Choiri, mengatakan resesi yang diprediksi akan terjadi akan berdampak pada sisi penurunan ekspor Batam dan Kepri. Sebab, negara-negara tujuan ekspor dari Batam mengalami perlambahan ekonomi, sehingga kebutuhan atau permintaan berkurang.

“Itu nanti kita akan kena di situ. Karena permintaan berkurang kemudian ekspor turun dan ketika ekspor turun juga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi kita,” ujarnya.

Ketua Bidang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia, Tjaw Hioeng, menyatakan pendapat serupa.

Menurut dia, sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, 90 persen industri di Batam berorientasi ekspor.

“Ketika negara Amerika dan Eropa alami resesi, akan mempengaruhi daya beli di sana. Seperti di Inggris sudah terjadi unjuk rasa mengenai ekonomi di sana,” katanya.

Sebab, saat permintaan menurun tentu akan mempengaruhi suplai. Hal ini yang harus diwaspadai tahun depan, terutama terkait dengan kinerja industri manufaktur.

“Karena rata-rata sasaran pasarannya itu ada di sana, kecuali Singapura, China dan Jepang. Tapi Singapura harus kita lihat dan urai juga, barang-barang hasil manufaktur yang kita kirim ke Singapura itu tentunya kebanyakan dikirim ke Eropa dan Amerika lagi. Artinya resesi di Amerika dan Eropa akan mempengaruhi kinerja industri manufaktur itu sangat besar sekali,” jelasnya.

Pengamat ekonomi Universitas Internasional Batam, Suyono Saputro, mengatakan sektor manufaktur yang bakal paling terdampak di Kepri jika resesi terjadi. Karena itu, ia meminta semua pihak menjaga sektor manufaktur ini.

“Karena beberapa negara besar tujuan ekspor memang dikhawatirkan akan mengalami perlambatan ekonomi,” ujar dia.

Ia memaparkan, jika resesi terjadi, ekspor akan mengalami perlambatan. Dampaknya, industri manufaktur akan mengalami pengurangan permintaan. Perekonomian Kepri yang baru saja bangkit bisa terjun bebas jika pemerintah tak menyiapkan langkah taktis. Sebab, selama ini, sektor manufaktur merupakan tulang punggung ekonomi Kepri.

“Jika sektor manufaktur terdampak oleh perlambatan permintaan global, maka akan memicu sektor lain juga seperti akomodasi, konstruksi dan jasa perdagangan karena jasa pengolahan di Kepri menjadi tulang punggung selama ini. Kita berharap jangan sampai resesi global terjadi,” katanya.

Penurunan volume ekspor berarti penurunan volume produksi. Yang paling menakutkan dari pengurangan produksi adalah pengurangan jumlah tenaga kerja di tiap-tiap perusahaan. Batam bisa mengalami “kiamat” jika pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di banyak perusahaan. “Ini yang harus disikapi oleh pemerintah,” ujar Suyono.

Masih Ada Jalan Keluar

Kepala Tim Implementasi KEKDA Bank Indonesia Perwakilan Kepri, Miftachul Choiri, pemerintah masih punya opsi untuk menyelamatkan ekonomi Kepri, yaitu dengan meningkatkan permintaan domestik dan belanja pemerintah.

“Kita harus bisa menjaga permintaan dari sisi domestik dan juga jangan lupa kita harus menguatkan konsumsi barang buatan dalam negeri. Karena ketika ekspor sedang turun, kita harus genjot ekonomi di konsumsi dalam negeri,” jelasnya.

Ketua Bidang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia, Tjaw Hioeng, mengatakan peningkatan konsumsi dalam negeri bisa jadi jalan keluar.

Sebab, kata dia, konsumsi dalam negeri itu jumlahnya juga cukup besar. Sehingga, hasil yang diproduksi di Batam bisa mendukung kegiatan industri yang ada di dalam negeri.

“Kalau itu bisa diambil tentu akan sangat menyelamatkan manufaktur yang ada di Batam. Tapi aturannya juga harus direvisi,” tuturnya.

Baik itu aturan dalam bidang perpajakan dan bea masuk harus menjadi perhatian. Kemudian tata cara mengeluarkan barang juga harus diperjelas, sehingga barang-barang hasil produksi Batam bisa kompetitif.

Ia mengatakan, pasar dalam negeri bisa membeli hasil industri Batam, ketimbang mereka mengimpor bahan baku dari negara-negara ASEAN.

“Kenapa kita tidak manfaatkan Batam. Karena rata rata industri manufaktur di Batam ini hampir sama di regional Asia. Di sini yang perlu kita berdayakan kembali melalui kemudahan-kemudahan atau ada semacam insentif yang diberikan oleh pemerintah. Sehingga tidak terlalu parah kondisi manufaktur ketika tahun depan benar-benar terjadi resesi,” imbuhnya.

Ketua Kadin Batam, Jadi Rajagukguk, mengusulkan agar anggaran pembangunan infrastruktur dikurangi dalam menghadapi resesi global. Baik itu anggaran pembangunan infrastruktur yang berasal dari anggaran pusat, Pemerintah Provinsi Kepri, Pemko Batam, maupun BP Batam.

“Dialihkan kepada pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Difokuskan di sana. Karena ini sebagai pondasi ekonomi di Batam. Mungkin untuk di 2023 dan 2024 mendatang dalam menghadapi resesi global,” ujarnya.

Ia melanjutkan, alasan pengurangan anggaran infrastruktur itu adalah Kadin Batam telah melakukan studi di lapangan, dan hasilnya pembangunan infrastruktur berbanding lurus dengan peningkatan investasi.

Menurut dia, jika pun ada yang menyatakan bakal ada investasi yang masuk, hal itu baru sebatas minat, belum terealisasi. (*)

spot_img

Update