batampos – Pengusaha di Batam mulai ketar-ketir dengan gejolak yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini. Seperti perang Isral dengan Palestina yang berimbas pada pencegatan kapal-kapal asing yang berafiliasi dengan Israel yang melintas di Laut Merah, Timur Tengah.
Kondisi semakin panas setelah Amerika Serikat dan Inggris kompak melancarkan serangan ke sejumlah wilayah di Yaman sebagai aksi balasan atas pencegatan dan serangan kapal-kapal asing yang berafiliasi dengan Israel.
Milisi Houthi semakin gencar menyerang kapal-kapal asing yang melintas di Laut Merah. Bukan hanya kapal yang berafiliasi dengan Israel tapi juga kapal-kapal Amerika dan Inggris, serta negara-negara yang menjadi sekutu dan memberi dukungan penyerangan Israel terhadap Palestina.
”Semakin berbahayanya rute melewati Laut Merah, kapal-kapal pengangkut kontainer akan memilih jalan lain yang rutenya lebih jauh. Sehingga, biaya logistik yang sudah mahal, akan semakin mahal. Juga akan terjadi kelangkaan kontainer, sehingga memicu naiknya tarif kontainer. Keterlambatan pengiriman baik bahan baku maupun barang produksi yang dari Batam ke luar negeri, juga akan terjadi,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kota Batam, Rafki Rasyid, kepada Batam Pos, Sabtu (27/1).
Baca Juga: Rute Batam-Kunming Menjadi Pintu Wisman Berbagai Negara
Akibatnya, pengusaha yang produknya berorientasi ekspor saat ini harus menanggung biaya logistik yang tinggi. Oleh sebab itu, Rafki meminta pemerintah mulai memperhitungkan efek dari konflik di Laut Merah tersebut, agar tidak berdampak besar pada perekonomian Batam yang industrinya mayoritas produknya berorientasi ekspor.
Rafki mengatakan, pemerintah perlu memikirkan langkah strategis untuk mengurangi beban pengusaha dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Sebab biaya logistik yang meningkat tajam itu membuat biaya produksi meningkat.
”Apakah dalam bentuk stimulus, ataupun langkah-langkah lainnya. Kami meminta pemerintah memikirkan dan mengimplementasikan langkah strategis tersebut. Jangan sampai pengusaha di Batam dibiarkan sendiri menanggung beban global yang semakin berat tersebut. Kami khawatir banyak perusahaan yang tidak sanggup menanggung beban tersebut,” ujar Rafki.
Rafki meminta, tarif kontainer di Pelabuhan Batuampar segera diatur dan dikendalikan BP Batam. Langkah ini, kata Rafki, meminimalisir pihak-pihak yang akan mengambil untung terlalu banyak, sehingga beban biaya besar ditanggung pemilik barang.
”Sekarang saatnya BP Batam mengambil langkah-langkah untuk menertibkan dan menata pengelolaan Pelabuhan Batuampar dengan lebih baik. Ketika kemarin disebutkan handling kontainer di Batuampar semakin efisien dari sisi waktu, harusnya tercermin dengan semakin murahnya tarif kontainer,” tutur Rafki.
Rafki mengungkapkan, kenyatannya, tarif kontainer semakin mahal. Hal itu sudah ditanggung oleh pengusaha sejak 2021 hingga kini.
Baca Juga: Retribusi Parkir Naik tapi Pelayanan masih Sama, Kadishub: Juru Parkir Terus Kami Edukasi
”Buktikan bahwa Pelabuhan Batuampar semakin efisien dengan tarif kontainer yang semakin murah. Bukan malah dibiarkan semakin mahal setiap tahun,” tutur Rafki.
Kondisi di Laut Merah yang semakin berbahaya, juga diakui ketua Bidang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas HKI Indonesia, Tjaw Hioeng. Ia mengungkapkan, kapal-kapal logistik terpaksa mengambil rute yang lebih panjang melalui Tanjungharapan, Afrika Selatan.
”Ibarat kita mau ke Southlink dari Batam Center. Tapi, muternya lewat Batuaji,” kata pria yang akrab disapa Ayung tersebut.
Dari data Global Logistics Supply Chain, kegiatan ekspor dan impor di dunia mengalami perpanjangan waktu perjalanan sampai dengan 15 hari. Ayung menyebutkan, Port Klang Malaysia dan Singapura telah merasakan hal tersebut.
”Cepat atau lambat pasti akan berdampak terhadap Batam. Ini hanya menunggu waktu saja. Harga akan naik karena risiko, premi asuransi, dan pengalihan rute pengiriman yang lebih panjang. Hal ini akan diteruskan ke konsumen jika mereka tetap bertahan,” kata Ayung.
Selain itu, dampaknya juga terhadap keterlambatan pengiriman barang dari Batam. Konflik di Laut Merah juga berdampak terhadap keterbatasan bahan baku impor untuk produksi industri manufaktur di Batam dan wilayah lainnya di Kepri. Kondisi ini bisa menganggu produksi.
”Batam ini tidak punya industri front-end yang mampu memproduksi bahan baku sendiri. Untuk bahan baku industri, Batam masih mengandalkan impor dari Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara dari Asia lainnya. Jadi jika kegiatan logistik berjalan lambat, maka kegiatan operasional industri di Batam bisa terganggu,” ujar Ayung.
Ia juga mengatakan, jika kondisi seperti ini terus berlanjut, maka sangat berbahaya bagi perekonomian di Batam. Pemerintah, kata Ayung, perlu memikirkan solusi jangka pendek.
Apalagi rilis yang dikeluarkan BKPM terkait realisasi investasi tahun 2023, Kepri untuk PMA hanya menduduki urutan 15, dengan total investasi 764,1 juta dolar Amerika (USD), tertinggal jauh dengan Provinsi Riau yang mampu menduduki urutan 7 dengan total investasi 2.042,3 juta dolar Amerika (USD). (*)
Reporter: Fiska Juanda