batampos – Harga sejumlah bahan pangan bergerak naik dalam beberapa hari terakhir. Kenaikan ini menjadi sorotan banyak pihak karena momen Ramadan dan Idulfitri sudah terlewati, namun harga-harga sejumlah komoditas masih tertahan di level tinggi. Masalah produksi dan pasokan yang relatif minim dinilai jadi alasannya.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan me-ngatakan, beberapa komoditas pangan yang perlu perhatian khusus, antara lain; beras, gula pasir, minyak goreng, daging sapi, daging ayam, telur, kedelai dan tepung terigu.
Spesifik soal cabai yang harganya meningkat nyaris dua kali lipat dari harga normal, Oke menyebutkan bahwa pasokan harian cabai secara nasional tengah di bawah kondisi normal. Hal itu lantas menyebabkan adanya kenaikan harga yang terasa hingga kepada konsumen.
Oke membeberkan bahwa rata-rata stok indikator komoditas cabai sebanyak 358,89 ton per hari. Pasokan tersebut sekitar 7,02 persen di bawah jumlah pasokan cabai dalam kondisi normal.
”Kenaikan harga cabai disinyalir karena curah hujan tinggi dan serangan penyakit antracnose di sentra produksi Tuban, Blitar, Kediri, yang menyebabkan panen berkurang signifikan,” ujar Oke, Rabu (8/6).
Kenaikan harga paling tinggi terdapat pada jenis cabai rawit.
Secara rata-rata nasional, Kemendag mencatat harga cabai rawit merah mencapai Rp 76.500 per kg atau naik 60,7 persen dari bulan lalu. Bahkan di beberapa pasar tradisional di Jakarta, harga cabai rawit bisa menyentuh angka Rp 90.000 per kg lebih.
Di pasar Kebayoran Lama misalnya. Pada Selasa (7/6) malam lalu, Jawa Pos (grup Batam Pos) mendapati harga cabai rawit sudah meninggi, yakni Rp 100 ribu per kilogram. ’’Cabai rawit seperempat 25 (ribu rupiah), cabai besar seperempat 20 (ribu rupiah),’’ ujar salah seorang pedagang.
Pedagang lainnya mengaku tidak berani menyediakan banyak stok cabai rawit karena harga kulakannya saja sudah Rp 95 ribu per kg.
Begitu pula dengan bawang merah yang harganya Rp 60 ribu per kg. Sedangkan daging ayam negeri dipatok Rp 45 ribu per kg. Khusus dada ayam (fillet), dihargai Rp 55 ribu per kg. Harga daging ayam itu tidak berubah sejak kenaikan harga menjelang Ramadan lalu.
Sementara, di Pasar Maja, Kabupaten Lebak, koran ini mendapati harga telur ayam negeri di tingkat pedagang besar mencapai Rp 28 ribu, kemarin. Sebelumnya, lebih dari dua pekan belakangan harga telur ayam di pedagang yang sama dipatok seharga Rp 27 ribu per kg.
Oke kembali menambahkan bahwa komoditas daging ayam sedang terjadi over produksi livebird, sehingga harga livebird di peternak cenderung fluktuatif. Serta meningkatnya harga pakan.
”Upaya yang dilakukan yaitu mendorong cadangan jagung pakan pemerintah yang diberikan ke peternak dan evaluasi harga dengan memberikan harga acuan. Harga acuan diusulkan pada Feb-ruari lalu yaitu Rp 37.000 per kg,” bebernya.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Abdullah Mansuri berpendapat bahwa kenaikan harga bahan pokok dua minggu terakhir memang diawali oleh kenaikan harga cabai.
”Kenaikan harga cabai tersebut kemudian merembet ke harga komoditas pangan lainnya, salah satunya adalah telur ayam ras,” tegasnya.
Abdullah mengatakan bahwa selain akibat distribusi, kenaikan harga juga terjadi karena kenaikan pakan ternak untuk ayam petelur. Dia menjelaskan bahwa beberapa hari yang lalu, kenaikan harga pakan sempat menjadi isu yang di kalangan peternak.
”Kenaikan harga pakan ini terjadi pada Januari, Februari, hingga Maret 2022, sehingga memberikan beban pada produksi ayam petelur,” bebernya.
Sejalan dengan itu, kondisi ekonomi global memang masih terus membayangi ekonomi domestik. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, pergerakan inflasi dan pelemahan ekonomi global memang menjadi fokus berbagai negara hingga tahun 2023.
Dia menceritakan, dalam pertemuan dengan Islamic Development Bank (IsDB) baru-baru ini, pembahasan mengenai risiko global akibat inflasi dan pelemahan ekonomi dirasakan betul dan menjadi isu utama. Ani juga memprediksi tema inflasi akan menjadi salah satu bahasan utama dalam KTT G20 nantinya.
”Kita membahas mengenai munculnya risiko terutama dari sisi kenaikan inflasi karena kenaikan harga energi dan pangan yang mengakibatkan pengetatan kebijakan moneter,” ujar Ani pada dalam raker dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (8/6).
Ani menjelaskan, pemerintah dan regulator terus berupaya untuk menekan agar inflasi bisa terkendali. Dia berharap, kenaikan harga pangan dan energi bisa tetap terkendali dan membuat inflasi terjaga di kisaran 4 persen.
”Kita harap tidak di atas 4 persen (inflasinya), kita akan coba lihat stabilisasi harga-harga dalam enam bulan ke depan,” imbuhnya.
Ani melanjutkan, pengetatan kebijakan moneter yang terlalu cepat dan ketat tidak berdampak signifikan pada penurunan inflasi. Sebab, inflasi yang melonjak tinggi di berbagai belahan dunia dipicu oleh suplai yang tidak bisa memenuhi peningkatan permintaan.
Sementara, percepatan pe-ngetatan moneter hanya akan menyasar pada sisi permintaan.
”Kalau kebijakan makro yaitu fiskal dan moneter terlalu cepat atau ketat, yang tujuannya akan lebih cepat memengaruhi sisi demand (permintaan), sebetulnya tidak akan menyelesaikan masalah pada sisi suplainya,” urainya.
Dia menjelaskan, suplai komoditas unggulan seperti minyak mentah, gas, batu bara, gandum, dan jagung tertahan karena perang Rusia-Ukraina, serta dampak pandemi Covid-19 yang belum rampung.
”Jadi, inflasi di dunia saat ini dikontribusi dari sisi produksi atau suplai itu lebih dominan, dibanding kontribusinya dari sisi permintaan,” tambah Ani.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menuturkan, ke depan terdapat beberapa hal yang perlu diwaspadai. Di antaranya faktor musiman yang sering kali menyebabkan inflasi naik, yaitu musim libur, kenaikan sekolah, hari raya Iduladha, dan juga menjelang natal di akhir tahun.
Meski begitu, pihaknya berkomitmen akan terus melakukan berbagai kebijakan dalam menjaga inflasi. Meski, tidak seluruh harga bisa ditahan agar tidak menimbulkan dampak bagi masyarakat.
Sebab, menjaga daya beli masyarakat berpotensi menimbulkan implikasi kebijakan. Ketika pemerintah berupaya keras menahan kenaikan harga maka dampaknya akan terjadi pembengkakan subsidi.
”Oleh karena itu, melindungi daya beli memang masyarakat memang menimbulkan implikasi kebijakan bahwa harga sedapat mungkin harga kita tahan, tapi tidak semuanya bisa kita tahan. Ini berarti subsidi akan melonjak akan tinggi,” jelas dia.
Ani mencontohkan dengan melambungnya inflasi seperti yang dialami Turki hingga 74 persen. Peningkatan harga tidak hanya berdampak pada inflasi, tetapi juga pelebaran defisit.
Misalnya di Mesir yang mengalami pelebaran defisit. Padahal negara itu penghasil gas. Alhasil, Mesir mengalami inflasi hingga 13 persen.
Namun, dia optimistis Indonesia masih tetap bisa menjaga seluruh komponen agar inflasi tetap terkendali. Dia yakin bahwa di tahun 2023 momentum pemulihan ekonomi dalam negeri tetap berjalan di tengah-tengah berbagai risiko dan tantangan ekonomi global. (*)