Minggu, 22 September 2024

Mangrove dalam APL Wajib Bayar PNBP

Berita Terkait

spot_img
mangrove 1
Penimbunan hutan bakau yang rencananya akan diperuntukkan bagi pembangunan perumahan di Piayu, Seibeduk, Senin (6/3/2023) lalu.

batampos – Hutan mangrove atau yang kerap disebut dengan hutan bakau tumbuh di sepanjang pesisir pantai hingga muara sungai. Hutan mangrove bermanfaat besar bagi masyarakat yang tinggal di daerah dekat pantai, yakni untuk mencegah abrasi laut, serta peresapan air laut ke daratan.

Di Kota Batam terdapat kawasan ekosistem bakau yang berada dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Ekosistem bakau yang berada di kawasan hutan terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batam luasnya mencapai lebih 13,4 ribu hektare. Selain itu ada juga bakau yang berada di kawasan Area Penggunaan Lain (APL).



Kasi Perencanaan dan Pemanfaatan Kesatuan Penge-lolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam, Kesuma Wijaya, menyebutkan bahwa bakau yang berada di APL atau area di luar kawasan hutan bisa diganti atau dibayarkan PNBP ke negara.

”Kalau di Batam kan APL itu dipegang BP Batam. Anggaplah di kawasan APL itu masih ada atau terdapat tunggakan alami hutan mangrove. Jadi ketika BP Batam memberikan PL, maka pemilik PL itu punya kewajiban membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tunggakan mangrove,” ujarnya, Rabu (28/2).

Baca Juga: KLHK bersama BGRM Tanam 1.000 Bibit Mangrove di Pantai Setokok Bulang

Dikarenakan tegakan bakau tersebut tumbuh alami maka dana reboisasi akan kembali ke negara dan akan kembali juga ke daerah penghasil. Kesuma menegaskan, dalam pembayaran PNBP ada hitu-ngan yang harus dibayarkan. Nanti akan dibagi menjadi golongan kayu indah, atau rimba campuran jika itu hutan. Sementara bila itu ada bakau akan dibagi juga apakah itu bakau bulat kecil, sedang atau besar.

”Maksimal masing-masing pajak beda nilainya,” tuturnya.

mangrove222
Dari kiri; Kasi Perencanaan dan Pemanfaatan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam, Kesuma Wijaya; founder NGO Akar Bhumi Indonesia, Hendrik; dan Kepala Bidang Perlindu-ngan Lingkungan Hidup DLH Kota Batam, IP, saat menjadi pembicara podcast Batam Pos di Hotel Four Point Jodoh, Rabu (28/2). (F. Cecep Mulyana/Batam Pos)

Lalu bagaimana jika berada di dalam kawasan hutan bakau, Kesuma menjawab, boleh dikelola bagi yang sudah memiliki izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pemberian izinnya pun tidak mudah karena ada banyak proses yang dijalankan.

”Kalau untuk kawasan hutan sendiri itu kan ada yang boleh dikelola. Maksudnya itu bagi yang punya izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, ada yg di kawasan hutan rimbun dan juga ada yang di kawasan hutan produksi,” sebut Kesuma.

Dalam pemanfaatan jasa lingkungan ini berbunyi hanya bisa memanfaatkan 10 persen dari kawasan bakau untuk sarana prasarana pendukung dengan perencanaan dan desain yang betul-betul matang serta mendapat pengawaan yang ketat.

Baca Juga: Jaga Pesisir Batam, Perusahaan Pembiayaan Astra (ACC) Tanam 1000 Mangrove

”Pengawasan di KPHL ada beberapa orang yang ditugaskan dari DLH sebagai polhut (polisi hutan) dan untuk penegakan hukum jika menyalahi aturan kita juga siapkan,” ucapnya.

Selain itu pihak kementerian juga akan menyiapkan orang untuk melakukan monitoring sistem informasi di lokasi-lokasi pemanfaatan jasa lingkungan tersebut. ”Artinya walaupun dia mendapat izin namun pengawasan akan tetap dilakukan, sehingga mangrove kita benar-benar terjaga,” pungkasnya.

Sementara itu, data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Batam mencatat ada sekitar 13.460,4 hektare kawasan hutan dan ekosistem mangrove di Kota Batam. Dari jumlah tersebut hampir seluruhnya berada di pulau penyangga Kota Batam seperti di Kecamatan Galang, Bulang, dan Belakangpadang serta sebagaian kecilnya berada di wilayah Nongsa.

”Jika melihat data 2021, luasan ekosistem mangrove Batam hanya kurang lebih 13 persen,” ujar Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Lingkungan Hidup DLH Kota Batam IP.

Baca Juga: Jauh-jauh dari Papua, Polisi Geledah Gerai PS Store di Batam

Rinciannya, ekosistem hutan mangrove 404 hektare. Hutan konservasi (TWA) mangrove sekunder 459,62 hektare, hutan lindung (HL) mangrove primer 386,15 hektare, HL mangrove sekunder 4.016 hektare dan hutan produksi (HP) mangrove primer 1.683,72 serta HP mangrove sekunder 6.510,91 hektare.

”Lebih dari 16 ribu itu masuk kawasan hutan dan hanya 13 persen masuk ekosistem mangrove,” tambahnya.

IP menyebutkan, sekitar 25 persen sampai dengan 30 persen luasan ekosistem mangrove di Batam dengan kondisi kritis. Ada beberapa beberapa penyebab degradasi mangrove di Batam, di antaranya, dampak pengembangan pembangunan terutama yang berada di garis pesisir yang meliputi pengembangan industri perkapalan dan kegiatan reklamasi.

WhatsApp Image 2021 10 04 at 13.24.41
Bhayangkari langsung turun ke laut menanam ratusan pohon mangrove.

Hutan Bakau Pulau Ngual Direklamasi
Aktivitas yang merusak kawasan hutan bakau masih berjalan masif di berbagai wilayah di Kota Batam. Pembangunan properti perumahan, industri perkapalan, dan budidaya perikanan umumnya merusak kawasan hutan bakau.

Pemerhati lingkungan yang bernaung dibawa NGO Akar Bhumi Indonesia mencatat dari sekian banyak kasus peng-rusakan hutan bakau di 2023 ada 27 kasus yang dilaporkan ke instansi terkait untuk ditindak lanjuti. Kasus yang dilaporkan ini umumnya adalah reklamasi yang dampaknya sangat merugikan masyarakat nelayan dan lingkungan.

Baca Juga: Buntut Pengiriman TKI Ilegal ke Malaysia, 4 Pelaku Ditangkap Polsek KKP Batam

”Di Kepri ini hanya ada dua pulau sedang yakni Lingga dan Natuna, sisanya adalah pulau kecil yang rentan akan abrasi, land subsidence (penu-runan daratan) dan ancaman sea level rise atau naiknya permukaan air laut karena climate change. Nah, ini kalau dirusak semua akan menurunkan daya dukung, daya tampung, dan daya tahan lingkungan. Bisa hilang pulau ini nanti. Ini yang kita waspada, instansi penegak hukum dan instansi pemerintah terkait harus serius melihat masalah ini,” ujar founder NGO Akar Bhumi Indonesia, Hendrik, kepada Batam Pos, kemarin.

Hendrik mengatakan bahwa kerusakan lingkungan akibat reklamasi banyak terjadi di Batam. Beberapa di antaranya adalah reklamasi di Kecamatan Seibeduk, Nongsa, Batam Center, Bengkong, Batuaji, Sagulung, Tiban, dan Galang.

”Lebih dari 50 hektare reklamasi telah kita temukan dan laporkan di Batam. Perlu kita ketahui bahwa ekosistem mangrove yang tidak termasuk dalam hutan lindung adalah kawasan yang dilindungi dengan UU No: 27 tahun 2007 junto UU No.1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil,” bebernya.

Baca Juga: Stok Beras Masih Banyak, Disperindag Batam Pastikan Tidak Ada Kenaikan Harga

Salah satu proyek reklamasi yang tengah bergejolak saat ini adalah reklamasi di Pulau Ngual, Galang Baru. Reklamasi untuk kepentingan perusahaan ini dikeluhkan masyarakat setempat.

”Itu yang terbaru dan sudah kita laporkan juga ke pihak terkait. Luasnya sekitar dua hektare. Dekat dengan masyarakat Pulau Ngual yang memang keseharian mereka adalah nelayan. Ini sangat berdampak dan butuh penanganan yang serius,” ujar Hendrik.
Aksi penolakan masyarakat atas kegiatan reklamasi di Pulau Ngual ini dibenarkan pihak Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam. PSDKP yang telah menerima aduan itu, kini melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket).

”Iya sedang pulbaket. Hasilnya belum bisa kami sampaikan biar tak mengganggu dulu proses di lapangan ya. Intinya sedang kami tangani,” ujar Ketua Tim Kerja Intelijen dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan PSDKP Batam, Anam.

Meskipun demikian, untuk penanganannya nanti tetap melalui aturan yang ada. Jika masuk salam zona garis pantai tentu akan ditangani secara serius oleh KKP, namun jika di zona darat akan dikoordinasikan ke KLHK. (*)

Reporter : Rengga Yuliandra / Eusebius Sara

spot_img

Update