Tumpukan Rengkam setengah kering terhampar di halaman rumah Sarmi,65, warga di Pulau Pasir Panjang, Rempang Cate, Galang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Selasa (25/4).
Panas terik matahari sangat dinantikan oleh warga yang menggantungkan hidup pada hasil Rengkam, ketika tidak bisa melaut karena musim angin Utara.
YULITAVIA, Batam
Sarmi,65, terlihat tengah menjemur Rengkam. Tumpukan Rengkam ini didapatkan di laut. Rengkam menjadi salah satu sumber pendapatan bagi warga saat tidak bisa melaut.
Rengkam merupakan jenis rumput laut yang termasuk dalam family (keluarga) sargassum, yang juga merupakan jenis rumput laut.
Jenis tumbuhan ini banyak tumbuh, dan ditemukan di Perairan Kepulauan Riau. Rumput laut yang biasa hidup di batu-batu karang ini dikumpulkan oleh para nelayan dari tengah laut.
Untuk mendapatkan Rengkam, nelayan berjuang mengambil hampir di tengah laut. Untuk membawa hasil panen Rengkam, nelayan menggunakan bubu atau tempat khusus yang mereka buat sendiri.
Wanita paruh baya itu, dibantu beberapa orang untuk mengambil rengkam di tengah laut. “Dulu awal-awal sendiri, masih berenang ke tengah laut ngambil. Sekarang sudah ada yang bantu,” kata dia.
Dalam sekali jual, biasa dia mampu menjual hingga 500 kilogram dengan keuntungan kurang lebih 850 ribu. “Lumayanlah buat nenek sendiri segitu,” kata dia.
Ia berharap rengkam terus selalu ada agar ia terus bisa menyambung hidup dari menjualnya. “Kalau dulu banyak tapi jadi sampah laut aja, sekarang sudah berharga, semoga selalu adalah biar kami ada duit juga,” tutupnya.
Selain berjuang untuk memanen rengkam di tengah laut, nelayan juga mengumpulkan rengkam dari pinggiran pantai yang hanyut terbawa ombak saat angin kencang.
Setelah banyak terkumpul, rengkam akan dibawa ke darat dengan sampan, atau berenang, kemudian dijemur hingga kering dan nantinya dijual kepada penampung.
Sarmi menuturkan untuk mengeringkan Rengkam ini membutuhkan waktu tiga hari hingga satu pekan untuk kering, dan bisa dijual kepada pengepul.
“Kalau panas terik bisa mempercepat proses pengeringan. Kalau mendung tentu butuh waktu yang lebih lama,” kata perempuan berjilbab ini.
Hal ini membuat para nelayan mencari sumber pendapatan lain, karena tidak bisa melaut. Sebab biaya hidup setiap hari selalu ada. Karena itu, nelayan memanfaatkan Rengkam untuk dijual, agar bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, karena tidak bisa melaut.
Mengumpulkan Rengkam menjadi pilihan bagi nelayan. Cuaca ektrem yang menghambat langkah nelayan dalam melaut, menjadikan rengkam sebagai mata pencaharian bagi nelayan.
Nelayan mencari Rengkam yang berada tidak jauh dari bibir laut. Setelah banyak terkumpul, akan dibawa ke darat dengan sampan, atau berenang, kemudian dijemur hingga kering dan nantinya dijual kepada penampung.
Warga Pasir Panjang lainnya, Rio,40, menuturkan Rengkam akan dijemur hingga kering. Setelah itu, baru dijual kepada toke atau pengepul yang berada di wilayah Jembatan 2 Barelang.
Hasil rengkam yang dihasilkan beragam. Masing-masing nelayan mengantarkan hasil Rengkam dari 500 kilogram hingga 1 ton dalam keadaan kering.
Pria yang akrab disapa Oyo ini mengaku setiap kilogram Rengkam kering dijual Rp1.700 kepada pengepul atau toke.
“Biasanya saya mampu menjual hingga 500 kilogram. Lumayan lah untuk biaya hidup sehari-hari selama tidak melaut,” ungkapnya.
Menurut Oyo rengkam atau rumput laut tersebut tumbuh di laut. Ia mengaku hanya memanen hasil rengkam yang tumbuh dengan sendirinya di tengah laut, atau yang hanyut ke pinggir.
“Kita tidak ada sistem budi daya. Kalau kita tengok sudah pantas dipanen ya kita ambil, kalau masih muda, kami tunggu besar dulu,” sebutnya.
Banyak warga saat ini telah mulai bekerja mengumpulkan rumput laut atau rengkam, di tengah cuaca ekstrim tak menentu saat ini.
Panen Rengkam menjadi salah satu mata pencaharian bagi nelayan, sembari menunggu cuaca kembali membaik dan bisa kembali melaut.
Hasil tangkapan laut yang mulai berkurang, bahkan terkadang tak menuai hasil, membuat mereka harus berpikir, bagaimana melanjutkan hidup dan memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
“Rengkam ini salah satu sumber penghidupan bagi kami di sini,” sebutnya.
Oyo menambahkan, Rengkam layak dipanen ketika berusia tiga bulan. Setelah dipanen Rengkam akan kembali tumbuh dengan sendirinya.
“Untuk merawat dan mempertahankan Rengkam, yang sudah cukup usia baru dipanen, kalau masih muda kami biarkan tumbuh dulu,” kata dia.
Tak hanya Oyo, para wanita juga ada yang mengumpulkan rengkam membatu keuangan suaminya di tengah cuaca buruk tak menentu.
Nisah misalnya, sebagai istri dari nelayan mengharapkan hasil laut. Namun karena musim angin Utara, nelayan tidak bisa melaut.
Wanita ini dalam seminggu bisa mengumpulkan rengkam hingga 500 kilogram. Namun jika hasil tumbuhan laut tersebut sedang tumbuh subur, ia bisa mengumpulkan hingga 800 kilogram Rengkam.
Faktor cuaca juga menjadi faktor banyak tidaknya hasil rengkam kering yang ia jual. Penjualan hasil rengkam ini juga tergantung cuaca selama proses pengeringan.
Nisah menekuni pekerjaan ini kurang lebih 7 tahun. Saat itu harga Rengkam masih Rp1.200 perkilogramnya.
Ia menjelaskan harga Rengkam tidak menentu, pada saat tertentu bisa dijual seharga Rp2 ribu perkilogram. Namun sekarang hanya dihargai Rp1.700 perkilogramnya.
Ia mengerjakan pekerjaan ini untuk membatu suaminya di tengah hasil tangkap laut yang tak menentu. “Sekarang hasil tangkapan susah, jadi ini buat bantu bantu suami juga,” kata dia.
Aktivitas ini ia tekuni sudah bertahun-tahun lamanya. Ia ke laut berenang mengambil rengkam lalu ia kumpulkan dalam bubu miliknya.
Ia menceritakan angin kencang beberapa bulan ini membuat para nelayan di pulau Pasir Panjang tidak berani turun ke laut mencari ikan.
Tak satu pun warga pergi menjaring atau memancing ikan di tengah laut di angin utara seperti ini.
“Dari pada bahaye, jadi kami tak melaut. Jadi Rengkam ini lah sumber pendapatan kami,” imbuhnya.(*)