Imlek adalah perayaan tahun baru bagi etnis Tionghoa. Penanggalan berdasarkan perputaran bulan ini, sudah ada sejak ribuan tahun. Tepatnya, sejak 2.574 tahun
Reporter: Fiska Juanda dan Chahaya Simanjuntak
Imlek merupakan perayaan budaya. Sehingga sebagian besar masyarakat Tionghoa berbagai agama dan kepercayaan, masih merayakan pergantian tahun ini.
Hanya saja, pelaksanaanya mengikuti kepercayaan masing-masing. Dari beberapa orang yang diwawancarai Batam Pos, ada beberapa hal wajib dilakukan menjelang dan saat Imlek.
Jelang Imlek itu wajib untuk makan malam bersama keluarga. Lalu, saat hari pertama imlek, silaturahmi, saling berkunjung dan mendoakan hal-hal yang baik. Itu masih menjadi tradisi rutin dilakukan masyarakat Tionghoa.
“Setiap personel, kepercayaan berbeda-beda caranya (merayakan Imlek). Tapi semuanya merayakan pergantian tahun ini,” kata Ketua Majlis Agama Buddha Tridharma Indonesia, Susanto Theodolite.
Ia mengatakan bahwa tata cara sembahyang atau mensyukuri pergantian tahun ini, kembali ke pribadi masing-masing masyarakat Tionghoa. Tapi, pastinya semuanya mendoakan hal-hal yang baik.
“(Bisa berdoa) kepada tuhan, dewa, Budha, apa kepercayaan yang dianut,” ucap Susanto.
Namun, ada hal-hal wajib yang tak boleh ditinggalkan. Makan malam bersama jelang tahun baru imlek, adalah sebuah kewajiban. Makan malam ini memiliki makna mendalam.
Baca Juga: Permintaan Tiket Singapura Batam Naik Tajam, Operator Kapal Tambah Trip
Sebab, sebelum Imlek semua keluarga bekerja dan jarang berkumpul. Saat Imlek semua harus berkumpul. “Yang sekolah harus kembali, yang bekerja harus datang. Makan bareng, dengan hidangan yang menyesuaikan ekonomi masing-masing,” ujar Susanto.
Susanto mengatakan di Batam dan Singapura, hidangan utama itu adalah ikan dingkis. Tapi, itu tidaklah wajib. Menu tersebut bisa diganti dan menyesuaikan dengan keadaan ekonomi setiap keluarga.
Perayaan Imlek ini dari hari 1 hingga ke 15 atau disebut Cap Go Meh. Susanto mengatakan kenapa perayaan Imlek ini cukup panjang, disebabkan dulunya tidak ada pesawat, atau kereta api. Sehingga, saat Imlek seluruh anggota keluarga memerlukan waktu.
“Makanya cukup panjang,” tuturnya.
Imlek ini, Susanto mendoakan negara makmur rakyat sejahtera. “Tahun ini kelinci air. Kelinci itu lembut dan air itu melambangkan rezeki. Semoga menjadi tahun yang tenang dan membawa rezeki untuk semua,” tuturnya.
Perayaan tahun baru imlek di Batam, memiliki berbagai kekhasan. Kekhasan ini juga dirasakan oleh anggota DPRD Batam, Hendra Asman. Sebagai, Warga Tionghoa dari Dabo, Lingga, Hendra mengatakan masih menerapkan berbagai budaya imlek.
Baca Juga: Wisman Padati Pelabuhan Internasional, Kunjungan ke Batam Ramai
Namun, ia mengatakan ada perbedaan budaya diterapkan di Dabo dan Batam. “Saya kaget saat masuk ke Batam, ada beberapa budaya yang agak beda. Namun, saya pahami budaya imlek di Batam sudah mengalami akulturasi. Ada yang beda, namun secara umum hampir sama semua,” kata Hendra, Rabu (11/1).
Imlek, kata Hendra adalah perayaan budaya, bukan agama. Sehingga, siapa saja merayakannya. Tapi, tentunya perayaan ini bisa melihat dari perspektif setiap kepercayaan yang dianut.
Hendra mengatakan imlek perayaan budaya yang sudah sangat tua dan lama. Tercatat tahun ini, imlek memasuki tahun ke 2.574. Karena saking lamanya, imlek identik menjadi hari raya masyarakat Tionghoa.
Meskipun masyarakat Tionghoa sudah bermigrasi ke berbagai negara. Namun, budaya imlek masih melekat. Hendra mengatakan kakeknya bermigrasi dari Provinsi Fujian atau Fukien ke Indonesia, tepatnya Dabo, Lingga.
Namun, budaya-budaya tersebut tetap dibawa dan dilestarikan. H-1 imlek sudah dimulai perayaan. “Saya menyampaikan sesuai tradisi imlek hokkian yah,” ucapnya.
H-1 imlek itu, setiap keluarga akan menggelar thuan yen fan atau makan bersama. Bagi yang belum berkeluarga, akan ikut makan bersama dengan orangtuanya.
Namun, perempuan yang sudah berkeluarga ikut makan bersama dengan suaminya. Sedangkan, laki-laki sudah berkeluarga, akan ikut makan malam bersama dengan keluarganya.
Menurut Hendra, makan malam ini untuk merekatkan hubungan sesama keluarga. Ada berbagai hidangan, paling khusus adalah ikan. Di Dabo tidak ada ikan khusus yang disantap saat makan malam bersama ini.
Tapi ketika ia hijrah ke Batam, perayaan imlek mengkhususkan harus menyantap ikan dingkis. “Agak beda bentuknya. Namun, saya rasa tidak harus ikan dingkis, bisa ikan lain juga sebagai santap makan malam bersama,” ucapnya.
Baca Juga: RS Awal Bros Botania Resmi Beroperasi
Kenapa di Batam menerapkan santap makan malam ikan dingkis? Menurut Hendra, hal ini disebabkan fakta unik ikan dingkis. Ia mengatakan ikan dingkis hanya mau bertelur saat jelang imlek. Sedangkan di luar perayaan imlek, ikan dingkis tidak akan bertelur.
Selain itu, ikan dingkis saat jelang perayaan imlek akan bermigrasi dari tengah laut ke tepian. Momen inilah yang dimanfaatkan oleh para nelayan menangkap ikan dingkis.
“Ada yang menyebut, ikan dingkis pindah dari tengah laut ke daerah pinggiran ini bentuk ucapan atas hari raya imlek,” tuturnya.
Selain itu, telur bisa dibilang lambang kemakmuran. Alasan inilah menurut Hendra, kenapa makan ikan dingkis menjadi budaya di Batam. Ia mengatakan selain Batam, budaya makan ikan dingkis saat imlek juga ada di Karimun, Bintan dan Tanjungpinang.
“Di Dabo malah tidak pernah saya lihat. Keluarga di Dabo dulu, makan ikan. Tapi ikan apa saja, yah sesuai kemampuan dari keluarga itu,” ungkap Hendra.
Kenapa sesuai kemampuan? Hendra mengungkapkan alasannya adalah harga ikan dingkis yang terlalu mahal menjelang imlek. Sehingga, tentunya tidak semua memiliki kondisi ekonomi yang baik.
“Kalau bagi saya, makan ikan itu sesuai kemampuan saja. Tidak usah dipaksakan,” tuturnya.
Hari pertama imlek, bagi Hendra sebagai penganut Budha akan melakukan sembahyang kepada dewa-dewa. Hendra dan keluarganya melakukan sembahyang ke Dewi Kwan Im. Usai itu, akan ada sungkeman dengan orangtua.
Baca Juga: Warga Keluhkan Maraknya Curanmor di Sekupang
Namun, untuk perayaan sembahyang, setiap orang dapat berbeda-beda. Hendra mengatakan sembahyang ini akan berbeda bentuk, jika warga Tionghoa menganut agama kristen atau muslim. “Tapi yang hampir sama itu yang salam-salaman dengan keluarga, atau minta maaf,” tuturnya.
Saat salam-salaman ada budaya memberikan angpao. Pemberian angpau ini dari orangtua ke anak atau cucu belum menikah. Sedangkan jika sudah menikah, maka tidak lagi mendapatkan angpao.
Karena sudah menikah, Hendra mengatakan dirinyalah yang memberikan angpao ke orang tuanya.
Budaya angpao bukan terpaku pada isi didalamnya. Namun, dari pemberian angpau ini ada doa yang diharapkan orang tua atau kakek, agar anak dan cucunya bisa sehat dan sukses selalu.
“Tidak terpaku pada isi. Angpao semacam rasa syukur dan doa,” ungkap Hendra.
Hari pertama imlek tidak hanya budaya angpau, namun juga berbagi jeruk. Budaya itu namanya ta chi tali. Berbagi chi zhe atau jeruk, kata Hendra biasanya tamu datang membawa dua jeruk. Lalu, saat pulang akan diberikan dua jeruk lagi oleh tuan rumah.
“Ini ibarat saling mendoakan, sehat dan sukses selalu. Hal ini berlaku umum ke siapa saja yang bertamu atau sebagai tuan rumah,” tutur Hendra.
Di Dabo, kata Hendra biasanya di dapur ada meletakan daun bawang yang melambangkan doa rezeki melimpah. Namun di Batam, Hendra tidak mengetahui budaya itu ada atau tidak.
“Tapi sepertinya ada, sebab biasanya saat jelang imlek banyak jual daung bawang. Lalu, penjualannya juga meningkat,” ungkap Hendra.
Selain itu, juga ada kegiatan lau ye shen (berkumpulnya keluarga). Seluruh anggota keluarga berkumpul, nanti ada disediakan sayur tujuh warna (ada wortel, kol ungu, timun dan sayuran lain). Lalu, juga ada ikan sebagai lauknya.
“Di Dabo tidak ada, tapi di Batam ada,” tuturnya.
Hari ke 9 imlek, akan diadakan sembahyang dewa langit. Ada juga yang bilang sembahyang tebu. Bagi Umat Buddha, sembahyang langit ini memohon kesehatan, kesejahteraan dan kebahagian sepanjang tahun.
Puncak dan penutup dari imlek adalah Cap Go Meh. Saat itu biasanya ada hiburan rakyat, panggung seni.
Perayaan Imlek, kata Hendra, membuat perputaran uang menjadi besar dan cepat. Hampir sama saat natal dan lebaran. Sehingga, imlek memberikan dampak besar terhadap perekonomian Batam.
“Imlek juga nantinya beli baju baru, pernak pernik imlek seperti lampion,” ungkap Hendra.
Imlek menjadi momen kumpul keluarga, makan bersama, dan merayakan kebahagiaan. Itulah yang dirasakan oleh Debora Ekawati Lukman Dadali dan Hang Teng Tjai, pasangan Tionghoa yang masih merayakan Imlek, meski mereka adalah nasrani.
“Bagi kita, Imlek itu lebih ke tradisi ya. Itu bagus untuk mendekatkan yang jauh dan merekatkan tali persaudaraan,” ujar Debora yang akrab disapa Debby ini.
Debby lahir dan dibesarkan secara Kristen di Cirebon. Keluarganya tidak merayakan Imlek. Hanya Natal dan Tahun baru saja. Namun, setelah menikah pada 2000 lalu, di situlah ia turut merayakan Imlek untuk pertama kalinya bersama keluarga suami.
“Di keluarga kak Tije (suami, Red) tradisi itu masih kental. Kita memandangnya secara kekristenan, lebih ke perayaan ucapan syukur atas karunia Tuhan,” ungkapnya.
Ibu dari Deo, Dios, dan Divina ini menyebutkan, persiapan Imlek kali ini ia akan mengadakan rangkaian makan malam bersama di malam sebelum Imlek. Di situ, baik keluarga inti dan keluarga jauh berkumpul bersama di rumahnya untuk makan malam. Aneka hidangan seperti hotpot ikan sudah disediakan. “Cuma saya modifikasi sedikit. Ada tambahan-tambahan aneka makanan,” ungkapnya.
Baca Juga: Kapal Pancung Terbalik di Perairan Batuampar, Dua Selamat Satu Meninggal Dunia
Dalam rangkaian makan malam, dia juga turut mengundang pendeta dan doa makan bersama. “Soalnya itukan perayaan ucapan syukur di tahun baru penanggalan Tionghoa. Sama seperti Natal, di Imlek juga kita refleksi diri untuk lebih berbuat baik lagi kepada diri sendiri dan kepada orang lain serta lingkungan,” tutupnya.
Hari H Imlek, keluarga ini juga masih menjalankan tradisi bagi angpao kepada anak-anak atau anggota keluarga dan teman yang belum menikah. “Siapa pun tamu yang datang, kalau belum menikah, pasti dapat angpao,” ujar Debby
Perayaan Imlek juga dirasakan oleh Kepala Dinas Pariwisata Kota Batam, Ardiwinata. Agama yang dianut keluarga besar Ardiwinata sangat beragam. Meskipun begitu, perayaan Imlek adalah sebuah kewajiban bagi Ardiwinata.
“Istri Tionghoa. Imlek kami selalu rayakan,” kata Ardi.
Tahun-tahun sebelumnya, Ardi mengatakan sebelum hari H Imlek, selalu diadakan makan malam bersama. Meskipun, ada perbedaan agama, tapi hal itu tidak menjadi penghalang bagi mereka berkumpul.
“Semuanya datang, makan. Suasana ini semakin mempererat persaudaraan,” ujarnya.
Berbagai sajian dihidangkan di makan malam bersama itu. Namun, sajian utamanya adalah ikan dingkis. Biasanya ikan dingkis semuanya diolah dengan cara di steam. Namun, dalam keluarga Ardiwinata, sedikit ada akulturasi.
“Dimasak lense,” kata Ardi.
Ikan dingkis itu dimasak tanpa minyak. Hanya diletakkan saja di wajan. “Itu enak sekali,” ucap Ardi.
Lalu, di hari H Imlek, Ardi juga berkunjung ke beberapa keluarganya, sembari membawa buah jeruk. Selain itu, juga membagikan angpao. “Tapi tahun ini, saya yang dikunjungi. Sebab di keluarga istri, saya ini yang paling tua,” kata Ardi. (*)