batampos – Di tengah ketidakpastian nasib dan keterbatasan anak-anak imigran mulai menikmati fasilitas pendidikan yang disediakan Pemerintah Kota Batam. Sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan pendidikan, Dinas Pendidikan menunjuk dua sekolah dasar (SD) negeri dan satu SMPN untuk memfasilitasi anak imigran.
Dua sekolah yang dijadikan tempat anak imigran belajar dan bisa terhindar dari buta huruf adalah SDN 002, SDN 005 Lubuk Baja, Batam, dan SMPN 41 Batam. Kedua sekolah ini berada tidak jauh dari tempat tinggal ratusan imigran di Hotel Kolekta, Kecamatan Lubuk Baja, Kota Batam, Kepulauan Riau.
Rasa bahagia bisa menikmati pendidikan tergambar jelas saat mendatangi SDN 002, di kelas 1A tepatnya. Di deretan kursi terlihat dua anak imigran asal Sudan yang terlihat sibuk mengerjakan lembaran kertas ujian di depannya.
Seperti tidak terpengaruh dengan aksi demonstrasi yang dilakukan imigran lainnya, anak-anak imigran asal Sudan tetap bersekolah di SDN 005 Lubukbaja.
Saat ini di Batam ada ratusan imigran turun ke jalan untuk meminta bantuan Pemko Batam, agar bisa membantu mereka untuk segera dikirim ke negara ketiga. Hal ini turut berdampak terhadap pendidikan anak mereka di sekolah yang sudah ditunjuk.
Sebelumnya, Pemerintah Batam melalui Dinas Pendidikan Kota Batam telah menunjuk SDN 002, SDN 005 Lubuk Baja, dan SMPN 41 Batam sebagai sekolah khusus bagi anak-anak imigran. Dipilihnya sekolah ini setelah adanya edaran dari Kementerian Pendidikan terkait pemenuhan hak pendidikan bagi anak-anak imigran ini.
Ketiga sekolah tersebut dipilih karena lokasinya yang berdekatan dengan tempat tinggal imigran yakni Hotel Kolekta.
Mereka yang sudah berkeluarga ditempatkan di sana, sedangkan yang masih lajang berada di rumah detensi, Sekupang.
Pagi itu, siswa sekolah SDN 005 memasuki hari ketiga dilaksanakannya ujian semester. Di antara ratusan siswa yang ikut ujian sif pertama, terlihat dua orang anak imigran yang ikut antre memasuki ruang kelas. Sekolah ini berjarak kurang lebih 100 meter dari Hotel Kolekta, yang merupakan tempat imigran ditempatkan.
Berpakaian bebas, dengan ransel di punggung, Rauwnag Abdalla Adam Ateim (8) memulai perjalanan dari hotel menuju sekolah. Setibanya di depan pagar sekolah, ia langsung menuju ruang kelas.
Duduk di urutan ketiga dari depan, Rawnag duduk sambil menunggu lembar soal ujian di bagian oleh wali kelasnya. Saat ini gadis, yang berpenampilan khas dengan rambut dikepang ini merupakan siswa kelas 1A bersama 15 siswa lainnya.
Siap dengan pensil yang sudah dipegangnya sejak duduk di bangku, Rawnag mendapatkan lembaran soal. Berhati-hati ia mulai mengisi lembar jawaban.
Ada 15 soal pilihan ganda dan 5 butir soal esai yang harus dikerjakan dalam waktu 60 menit. Sesekali ia membolak-balik lembaran soal, dan membaca ulang soal ujian Bahasa Indonesia.
Rawnag sudah menempuh pendidikan. Selain Rawnag, ada juga siswa lainnya yaitu Ayman,7, dan Naureldin,7.
Di antara mereka bertiga, gadis kelahiran Desember 2013 ini, paling diandalkan oleh guru kelasnya. Hal ini karena kemampuan berbahasa yang lebih baik dibanding dengan dua teman lainnya.
Ketiga siswa imigran ini merupakan warga negara Sudan yang menjadi salah satu pengungsi yang ditempatkan di Batam saat ini. Sama dengan imigran lainnya, mereka juga tengah menunggu kejelasan terkait nasib mereka untuk menuju negara ketiga.
Gadis yang murah senyum ini menceritakan sangat senang mengikuti pelajaran di sekolah. Bersama dengan anak-anak lainnya, ia bermain dan menikmati pelajaran di sekolah. Meskipun kemampuan belajar tidak setara dengan siswa lainnya. Hal ini tidak lepas dari sistem belajar di Indonesia.
Pelajaran menggambar merupakan favorit Rawnag di kelas. Meskipun saat ditanyai, ia mengaku menyukai semua jenis pelajaran. Sungguh hal yang wajar, karena ia sangat menikmati pelajaran.
Ditambah lagi ia memiliki teman yang bisa menjadi rekan belajarnya. Kikan, adalah teman yang sering membantu Rawnag ketika belajar di kelas. Ia senang karena ketika tidak mengerti saat belajar, bisa bertanya kepada Kikan yang duduk di sebelah meja belajarnya.
“Saya senang dan punya teman Kikan, ” katanya sambil tersenyum malu-malu.
Perlahan tapi pasti, ia semakin banyak memahami bahasa Indonesia. Sudah hampir tujuh bulan ia menjadi siswa di sini, tentu punya teman yang baik adalah kesenangan tersendiri baginya.
Kemampuan berbahasa ini juga karena orangtuanya yang cukup fasih menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga memudahkan ia dalam berkomunikasi dan bermain bersama teman di kelas.
“Saya suka belajar. Saya senang sekolah di sini. Ada teman untuk main,” ujarnya lagi.
Siswa lainnya Noureldin (7), baru tiba di sekolah ketika ujian sudah berlangsung kurang lebih 30 menit. Berpakaian baju bebas, dan tas ransel hitam miliknya, segera menuju bangku dan meminta lembar soal untuk segera dikerjakan.
Bocah asal Sudan ini tidak bisa memahami bahasa Indonesia, namun begitu, ia merupakan salah satu siswa yang cukup aktif mengikuti pelajaran.
Di saat seperti ini Rawnag mengemban peran sebagai tutor sebaya. Istilah yang sering digunakan untuk membantu siswa dalam memahami pelajaran.
Rawnag berperan sebagai penerjemah tentang apa yang disampaikan guru di kelas. Meskipun begitu, kekurangan tersebut tidak membuat Noureldin surut dalam belajar.
Terlihat tidak terlalu aktif selama belajar, ia tetap menyelesaikan soal ujian yang ada di depan meja belajarnya. Sesekali dia menengok ke Rawnag yang ada di sebelah kanan tempat duduknya, agar bisa membantu menerjemahkan maksud dari soal ujian.
Wali Kelas 1A, Esi Karlina Spd.i, mengatakan, awal penerimaan siswa baru Juni lalu, terdapat tujuh anak imigran yang terdaftar sebagai siswanya.
Mereka berasal dari Afghanistan, dan Sudan. Namun sejak November lalu beberapa anak mundur dan orangtua juga keluar dari grup tanpa alasan yang jelas.
“Kalau informasi sementara karena Covid-19, jadi mereka tak ingin anaknya sekolah. Itu untuk anak-anak yang berasal dari Afghanistan,” sebutnya.
Sampai saat ini hanya tiga orang yang bertahan dan aktif mengikuti kegiatan belajar dan mengajar. Esi menceritakan pengalaman mengajar anak imigran ini merupakan kali kedua ia laksanakan. Pertama kali ia mengajar anak imigran yang ada di bangku kelas V.
“Waktu itu anak imigran asal Afghanistan yang belajar. Jauh lebih mudah karena mereka bisa menggunakan bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia meskipun tak sefasih bahasa Inggris,” kata perempuan berkacamata ini.
Untuk anak imigran asal Sudan ini kesulitan adalah soal bahasa. Karena mereka tidak bisa bahasa Inggris, namun sedikit terbantu karena Rawnag cukup pandai berbahasa Indonesia, meskipun tidak fasih.
Kondisi ini cukup membantu selama pembelajaran berlangsung. Terbukti, setelah enam bulan belajar, ketiga siswa ini menikmati pendidikan.
“Yang paling penting bagi saya mereka mengenal huruf, dan tidak buta huruf. Sehingga ketika meninggalkan Indonesia, mereka bisa melanjutkan pendidikan,” ujar perempuan berkacamata ini.
Ia memuji Rawnag yang menjadi tutor sebaya dalam kelas bagi dua temannya. Gadis itu memilki peran seperti guru, karena membantu menerjemahkan apa yang disampaikan selama belajar di kelas.
“Kalau Rawnag itu sudah bagus, dan mengerti. Namun dua temannya tidak bisa dan hanya mengikuti pelajaran karena kami tidak bisa memaksa juga, karena kesulitan bahasa tadi,” ujarnya.
Rauwnag merupakan siswa yang paling aktif sejak masuk sekolah. Bahkan ketika belajar daring, karena kasus Covid-19 yang sempat massif di Batam, ia terus mengikuti pembelajaran. Begitu juga dengan sekolah tatap muka, ia cukup rajin datang dan mengikuti pelajaran.
Ketika berada di sekolah, Rawnag senang bermain bersama teman kelasnya. Anak-anak di kelas juga tidak merasa aneh dengan kehadiran Raunag. Malah mereka mengajak bermain dan belajar bersama.
“Kalau Rawnag sih sukanya menggambar. Tapi pelajaran yang lain juga dia menikmati. Anaknya baik dan punya kemauan untuk belajar,” sebutnya.
Esi menambahkan, tingginya minat belajar dari Raunag dan dua temannya ini juga didorong peran orangtua yang kooperatif. Mereka sangat mendukung pembelajaran anak-anaknya.
“Aktif di grup, bertanya, dan datang ke sekolah ketika ambil rapor. Makanya dia senang bersekolah, sebab orangtua juga support,” imbuh sarjana pendidikan Islam ini.
Anak-anak imigran biasanya menggunakan seragam merah putih ketika berangkat ke sekolah. Setiap Senin dan Selasa mereka pakai seragam. Untuk Rabu pakaian olahraga. Karena mereka tidak punya, jadi bisa pakaian bebas.
“Kami kasih bebas aja. Yang penting mereka mau belajar dan bersekolah. Karena dari IOM juga tidak memaksakan, yang penting mereka sekolah, dan bersosialisasi,” jelasnya.
Kepala SDN 005 Lubukbaja, Magdalena, mengatakan, sudah ada anak-anak imigran yang berhasil menyelesaikan pendidikan mereka tahun lalu. Tahun ini merupakan tahun ajaran kedua sekolahnya menerima anak-anak imigran sebagai siswa.
Pendidikan tidak memandang siapapun. Begitu juga di sekolah ini. Pembelajaran anak imigran dan siswa lokal sama. Mereka diberikan buku yang sama, menggunakan seragam yang sama, serta pendidikan di kelas yang sama.
“Meskipun terkendala bahasa, guru-guru tetap mencoba mengajar mereka. Kami sangat mendukung pendidikan anak imigran ini,” ujarnya.
Ia juga selalu mengontrol majelis guru, dan memantau anak-anak imigran ini. Meskipun tidak bisa memaksa untuk selalu masuk tepat waktu, bukan berarti anak ini tidak diawasi.
Kemajuan anak-anak dalam belajar juga bisa terlihat saat pembagian rapor hasil belajar anak. Selain itu, ia juga berkoordinasi dengan IOM sebagai penanggung jawab anak-anak imigran.
Selain permasalahan bahasa, guru tidak mengalami kesulitan. Untuk menjelaskan kepada mereka terkadang guru menggunakan bahasa isyarat, agar mereka lebih mudah paham.
Magdalena mengungkapkan anak-anak terbilang rajin datang ke sekolah. Orangtua juga aktif mengantarkan anak ke sekolah. Anak imigran ini berasal dari berbagai negara mulai dari Sudan, Somalia, dan Afghanistan. Mereka belajar kelas 1, 3, dan lima.
“Selama pandemi belajar dibagi dua sif. Jadi ada yang siang dan pagi. Mereka kami layani dengan baik, dan tidak dituntut juga, sebab mereka juga tidak terdaftar di data pokok pendidikan (Dapodik). Jadi yang penting mereka mau sekolah, karena mereka ini haus bersosialisasi,” terangnya.
Untuk menunjang pembelajaran, sekolah memberikan hak yang sama. Siswa imigran ini dipinjamkan buku belajar, dan diberikan bantuan berupa seragam sekolah yang dasar. Sementara yang lain mereka bisa pakaian bebas.
“Kami senang mereka belajar dan bisa memiliki teman bermain, karena itu bisa membantu tumbuh kembang mereka selama berada di Batam ini,” tambah perempuan berjilbab ini.
Sejumlah Anak Menarik Diri dan Pilih Tidak Lagi Sekolah
Meskipun sudah difasilitasi Dinas Pendidikan Kota Batam, nyatanya tidak semua anak bisa bertahan dan melanjutkan pendidikan seperti Rawnag, dan Noureldin.
Kondisi yang konstras ini terjadi karena, sebagian imigran yang melakukan protes kepada United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization of Migration (IOM) Indonesia terkait nasib mereka.
Akibatnya, anak-anak yang sebelumnya menempuh pendidikan, mulai ditarik dan tidak diizinkan kembali ke sekolah. Desakan tentang nasib mereka disampaikan dengan menggelar aksi demonstrasi. Aksi ini sudah berlangsung selama kurang lebih dua minggu terakhir ini.
Sempat menempuh pendidikan di sekolah formal, ratusan anak imigran yang ada di Kota Batam, Kepulauan Riau, kembali kehilangan kesempatan untuk melanjutkan sekolah mereka. Perasaaan frustasi atas ketidakjelasan status, mendorong mereka, menarik anak-anak dari dunia pendidikan.
Fatima,30, menuturkan keinginan saat ini adalah meminta segera dikirimkan ke negara ketiga. Di sini anak-anak tidak bisa mendapatkan dokumen terkait pendidikan mereka. Sehingga percuma saja sekolah, kalau tidak bisa dapat dokumen atau ijazah. Hal ini membuat dia tidak mengizinkan anaknya bersekolah.
“Kami sudah tidak mau lagi di Indonesia. Tolong kirimkan kami segera ke negara ketiga,” pintanya dengan menggunakan bahasa Inggris.
Meninggalkan negaranya karena konflik berkelanjutan, dan berharap kehidupan yang baru tidak kunjung didapatnya. Menurutnya, kehidupan sekarang tidak jauh lebih baik ketika saat masih tinggal di negara asalnya.
Keinginan untuk mendapatkan negara baru seperti masih jauh dari impian. Bersama suami dan anak pertamanya yang waktu itu masih berusia dua tahun, ia tiba di Indonesia. Medan menjadi kota pertama ia memulai kehidupan di negara Indonesia.
Berpindah ke Jakarta, Tanjungpinang, dan sekarang berada di Batam sebagai kota transit sambil menunggu kejelasan nasibnya.
Imigran asal Afghanistan ini menceritakan sudah tujuh tahun berada di Indonesia. Menempuh perjalanan yang panjang membuat dia dan kedua anaknya merindukan kehidupan normal seperti dulu.
Berpindah dari satu kota ke kota lain membuatnya merasa tidak nyaman, dan sangat menginginkan kehidupan yang normal. Tidak adanya akses pekerjaan, membuatnya sulit mewujudkan kehidupan yang layak.
Perlahan depresi mulai dirasakan, gangguan kecemasan karena tidak kunjung dikirim semakin hari tidak terelakan. Lamanya proses di negara ketiga, semakin menimbulkan kekhawatiran terhadap nasibnya dan ratusan imigran lainnya.
“Sekarang anak saya sudah sembilan tahun, dan yang kecil usia dua tahun, dan kami belum juga ada kejelasan. Sampai kapan kami di sini?,” tanyanya.
Kondisi ini juga dikhawatirkan menurun kepada kedua buah hatinya yang masih sangat membutuhkan perhatian, pendidikan dan kehidupan yang layak.
Fatima mengungkapkan tidak mungkin membiarkan anaknya kehilangan masa depan, karena tidak adanya pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan ketika mereka beranjak dewasa.
“Belajar ada, tapi tak ada sertifikat. Jadi percuma juga sekolah di sini. Kami sudah tidak mau lagi. Tolong segera kirim kami ke negara ketiga agar anak-anak bisa mendapatkan haknya dengan layak,” ucapnya.
Anak-anak sudah terlalu lama kehilangan hak mereka. Sejak awal tiba di sini imigran tidak ada akses dan hidup dalam keterbatasan. Desakan untuk segera dikirim ke negara ketiga juga tidak mendapat respon.
Hidup bertahan di sini sangat sulit. Ia menceritakan, anak pertamanya Saleh,9, saat tiba di Batam berusia 2 tahun. Keputusan untuk menarik anak-anak dari sekolah adalah keputusan yang tepat untuk saat ini, sebagai bentuk protes kepada UNHCR terkait nasib ratusan imigran di Batam.
“Tolong Pemerintah Indonesia bantu kami, agar dapat kejelasan. Kami sudah lelah, capek karena bertahun-tahun dibiarkan tanpa kejelasan. Bukan saja kami yang menderita tapi anak ini juga. Mereka butuh bersosialisasi dengan lingkungan yang bebas,” ujarnya.
Menurutnya, kepastian tentang hidup mereka akan lebih jelas ketika sudah dikirim ke negara ketiga. Ada banyak negara yang siap menerima, dan tentu dengan kehidupan yang layak. Anak-anak bisa sekolah, dan orang dewasa bisa bekerja dan mendapatkan kehidupan yang layak, tidak seperti saat ini.
Ia mengungkapkan setiap bulan ia berusaha bertahan dengan biaya hidup yang sangat terbatas. Meskipun mendapatkan biaya hidup dari IOM sebesar Rp 1.250.000,- setiap bulannya, tetap saja ini tidak cukup. Ada banyak kebutuhan yang harus dibeli. Hidup dalam keterbatasan sangat tidak nyaman.
Alasan ini membuat jumlah siswa yang terdaftar di sekolah SDN 002 berkurang. Awalnya, jumlah siswa mencapai 24 orang, dan sekarang tidak ada satu pun yang aktif kembali ke sekolah.
Kepala SDN 002 Lubuk Baja, Kota Batam, Rahmat mengatakan anak-anak imigran mulai belajar di sekolah sebelum pandemi atau sekitar tahun 2019.
Awalnya jumlah anak-anak yang bersekolah mencapai 24 orang siswa. Mereka duduk di bangku sekolah mulai dari kelar 1-6 SD.
“Tahun lalu ada dua orang yang menyelesaikan pendidikan sekolahnya, dan kami sudah keluarkan surat keterangan, kalau dua anak imigran tersebut sudah lulus dan menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya,” kata dia saat dihubungi beberapa hari lalu.
Mulai Maret 2020 lalu, satu per satu siswa mulai tidak datang ke sekolah. Mulanya, anak tidak datang, dan selanjutnya orangtua mulai meninggalkan ruang grup obrolan sekolah. Pihaknya bahkan sudah memanggil orangtua untuk datang, namun mereka tidak datang, sampai sekarang.
“Awalnya alasannya Covid-19, tapi kami minta belajar online juga tidak hadir. Saat sekolah tatap muka kembali digelar, mereka tetap tidak kunjung datang, dan menghentikan datang ke sekolah. Jadi mereka yang menarik diri,” jelasnya.
Pria yang memiliki latar belakang pendidikan Bahasa Inggris ini mengungkapkan anak-anak imigran memang memiliki keistimewaan bila dibandingkan dengan anak lainnya. Pertama mereka diberikan kebebasan dalam menggunakan seragam sekolah.
Beberapa anak ada yang mengenakan seragam merah putih, namun ada juga yang tidak. Hal tersebut tergantung dari kesanggupan mereka.
Kedua mereka juga tidak dipaksa untuk hadir setiap hari. Ia memberikan kebebasan kepada anak imigran datang ke sekolah ketika mereka memiliki waktu, karena pihaknya tidak bisa memaksa anak-anak imigran untuk ikut jam belajar siswa lokal.
“Kalau mereka ada waktu datang, dan kalau ada kendala mereka tidak sekolah. Karena kami juga punya keterbatasan untuk meminta dan memaksa mereka untuk mematuhi aturan yang ada di sini,” bebernya.
Pertama kali, mulai belajar tahun 2019 lalu tidak ada masalah. Anak imigran yang mayoritas merupakan warga negara Afghanistan ini sangat aktif mengikuti pembelajaran. Bahkan ada yang berhasil menyelesaikan dan dinyatakan lulus. Anak- anak yang haus bersosialisasi ini sangat menikmati aktivitas baru mereka. Hal ini terbukti dengan banyaknya siswa yang ke sekolah, termasuk Elham yang sekarang harusnya berada di kelas VI A.
“Sekarang tidak ada satu pun yang masuk. Kami sudah coba panggil orangtuanya, tapi tidak direspon. Kami juga tidak bisa memaksa. Namun alasan mereka waktu itu karena Covid-19,” imbuhnya.
Sejak awal anak ini imigran ini ada yang aktif belajar, dan tidak. Mereka sangat berusaha untuk bisa menyesuaikan diri dengan siswa lokal. Puncaknya, ketika pandemi mulai mewabah di Kota Batam.
Keputusan berat harus dibuat, demi melindungi anak-anak. Pendidikan dipindahkan ke rumah atau school from home (SFH). Semua bentuk pembelajaran tatap muka berganti menjadi daring.
“Mungkin karena kondisi waktu itu, perlahan mereka tidak aktif dan mulai meninggalkan grup obrolan, yang selama ini menjadi jembatan antara guru, siswa, dan orangtua,” ujarnya.
Bahkan, saat belajar tatap muka kembali digelar, tidak satu pun dari mereka yang datang ke sekolah. Persoalan pandemi Covid-19 dan kekhawatiran orangtua mereka terhadap penyebaran virus Covid-19 menjadi latar belakang anak tidak kembali ke sekolah.
“Alasan yang kami terima begitu. Kalau ada alasan lain kami tidak tahu, misalnya konflik di internal mereka kami tidak tahu, sebab itu murni kewenangan orangtua mereka, dan kami tak bisa paksa mereka ke sekolah,” imbuhnya.
Ia menuturkan selama proses belajar di sini anak imigran awalnya hanya belajar matematika dan IPA. Namun seiring berjalannya waktu mereka mengikuti semua pelajaran.
“Mereka pakai seragam merah putih dan baju kurung juga. Dan sangat menikmati proses belajar dan bermain bersama anak-anak. Bahkan mereka ikut upacara, walaupun tidak boleh, namun mereka sangat antusias, jadi ya kami tidak keberatan,” terangnya.
Pemenuhan Hak Pendidikan Tak Melihat Batas Negara
Pemerintah Bantu Pemenuhan Hak Pendidikan
Peran Pemerintah Kota Batam dalam membantu pemenuhan hak pendidikan di Batam dimulai sejak 2019 lalu. Dinas Pendidikan (Disdik) menunjuk langsung dua sekolah dasar yakni SDN 002 dan 005 Lubukbaja.
Dipilihnya dua sekolah ini karena berdekatan dengan lokasi tempat tinggal imigran yang ditempatkan di Hotel Kolekta.
Wakil Wali Kota Batam, Amsakar Achmad, mengatakan, tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah Batam dalam membantu imigran.
Hal ini karena terkendala regulasi dan berbagai aturan. Sebagai kota yang dipilih menjadi penempatan imigran, Batam berupaya memfasilitasi dalam pemenuhan hak pendidikan anak -anak imigran.
Pemenuhan hak pendidikan merupakan hal yang mendasar. Posisi mereka sebagai imigran tidak menjadi sekat dalam mendapatkan hak pendidikan.
Hal ini dibuktikan dengan respon pemerintah yang menyediakan tiga sekolah untuk anak-anak imigran bersekolah. Dua sekolah dasar ditunjuk langsung untuk memberikan tempat bagi anak-anak imigran menempuh pendidikan.
Ia berharap sembari menunggu ditempatkan di negara ketiga, imigran bisa memanfaatkan kesempatan untuk menimba ilmu.
Meskipun ada perbedaan sistem belajar, namun setidaknya mereka tidak buta huruf, dan bisa mengenal sedikit mengenai pendidikan di Indonesia. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah kesempatan untuk bersosialisasi dengan anak-anak.
Masyarakat Batam sejauh ini tidak terganggu dengan kehadiran mereka, begitu juga di sekolah. Pemerintah berusaha hadir, dan peduli terhadap pendidikan mereka. Walaupun imigran, hak pendidikan tetap bisa dirasakan. Meskipun status mereka tidak terdaftar di sistem pendidikan Indonesia.
“Sekarang ini, kami bertindak sebagaimana arahan pusat. Kalau awalnya mereka dilarang, sekarang sudah diperbolehkan. Dan hal positif ini sudah kami jalankan sampai saat ini. Terlepas ada yangm undur diri karena alasan tertentu,” ungkap Amsakar, Sabtu (11/12/2021) lalu.
Sekolah juga memberikan perhatian berupa bantuan seragam sekolah bagi mereka yang tidak punya. Sebenarnya mereka tidak diwajibkan, hanya saja agar terlihat kebersamaan, mereka diberikan seragam. Ini juga merupakan bentuk perhatian dalam dunia pendidikan mereka.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Batam, Hendri Arulan mengatakan untuk saat ini jumlah siswa yang aktif di sekolah tidak terlalu banyak. Untuk di SDN 005 ada kurang lebih 11 siswa, sedangkan di SDN 002 awalnya 24 orang, sekarang tidak ada yang aktif dan kembali ke sekolah sejak pandemi Covid-19.
Saat pandemi siswa diminta belajar dari rumah. Ada siswa yang tetap melanjutkan pendidikan, namun ada juga yang menarik diri. Untuk kasus tersebut, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada orangtua siswa imigran.
“Kami tugasnya memfasilitasi, pilihan tetap di tangan mereka,” singkatnya.
Penyediaan sekolah bagi anak imigran ini merupakan kelanjutan dari pertemuan IOM bersama Dinas Pendidikan Oktober 2019 lalu. IOM menyampaikan agar Disdik memfasilitasi anak imigran ini bisa bersekolah. Hal ini juga didukung dengan surat edaran yang memperbolehkan anak imigran mendapatkan pendidikan di sekolah formal.
“Kalau data yang disampaikan waktu itu ada 30-40 anak usia sekolah dasar. Makanya kami tunjuk dua sekolah untuk menitipkan akan-anak ini. Sampai ada yang lulus, dan sekarang masih berlangsung,” ujar Hendri.
Ia berharap fasilitas sekolah ini bisa memberikan ruang baru bagi anak- anak dari negara konflik ini. Masa kecil mereka tidak harus terganggu dengan konflik yang mereka lalui. Peran aktif orangtua juga membantu tumbuh kembang akan di sekolah.
Sebagai anak tentu mereka akan mengikuti orangtuanya. Pihak sekolah sangat terbuka, siswa lokal juga menyambut kedatangan mereka. Tidak ada perbedaan saat mereka menempuh pendidikan, dan mendapatkan perlakuan yang sama.
Sekolah bisa menjadi tempat baru bagi tumbuh kembang mereka, di tengah keterbatasan yang mereka memiliki. Anak bisa memiliki pengalaman baru, ruang permainan baru, serta aktivitas yang tentu bisa mendukung masa kecil mereka.
“Interaksi dengan teman di sekolah akan membantu mental dan perkembangan mereka. Tentu yang kami harapkan ada dampak dari fasilitas sekolah yang kami sediakan ini. Pemenuhan hak pendidikan mereka harusnya tidak terhambat karena status mereka,” pungkas Hendri.
Reporter: Yulitavia