Selasa, 3 Desember 2024

Mengenal Gambir, Komoditas Rempah Andalan Peninggalan Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga

Berita Terkait

spot_img

Sejarah mencatat, jenis rempah berupa gambir pernah jadi komoditas utama perdagangan pada abad ke-18 di masa Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga yang berpusat di Negeri Riau, kawasan yang kini masuk wilayah Provinsi Kepulauan Riau.

Berkat gambir pula, kawasan perairan dan pelabuhan di wilayah ini, dikukuhkan jadi bandar perdagangan dan jalur pelayaran maritim terkemuka pada masanya.


Kini, meski tak lagi jadi barang niaga unggulan seperti dahulu, gambir tetap mendapat tempat di hati masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Secuil gambir dalam tradisi nyirih meneguhkan klaim tersebut.

Ratna Irtatik – Batam

Hilir mudik puluhan kapal terus memadati alur sungai di Negeri Riau. Beberapa di antara kapal-kapal tersebut menurunkan jangkar dan bersandar di dermaga.

Bukan semata yang kecil, kapal berukuran besar juga menjadi bagian dari saksi betapa riuh rendah pelabuhan di bibir Selat Malaka tersebut.

Sebagian dari kapal-kapal itu milik saudagar kaya dari Tanah Jawa dan Bugis. Sementara kapal lainnya, berasal dari negeri seberang, sebut di antaranya dari Negeri Siam atau Thailand.

Kedatangan kapal-kapal itu ke tanah Melayu di Negeri Riau, utamanya untuk urusan dagang. Khususnya, mencari komoditas rempah unggulan dari wilayah ini berupa gambir.

Wilayah Negeri Riau memang dikenal sebagai salah satu sentra penghasil gambir di Nusantara.

Tak mengherankan jika kemudian banyak kapal berduyun-duyun datang untuk membeli gambir maupun menukarnya (barter) dengan aneka komoditas bahan pangan dari wilayah asal kapal tersebut.

Kondisi itu membuat Negeri Riau makin ramai dan dikenal sebagai bandar perdagangan maritim di Selat Malaka.

Imbasnya, tentu saja membawa berkah kemakmuran bagi wilayah ini pada abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19.

Catatan sejarah tentang kejayaan maritim dalam perdagangan gambir di Negeri Riau tersebut dideskripsikan secara jelas oleh sejarawan sekaligus pujangga abad ke-19, Raja Ali Haji, dalam kitab Tuhfat al-Nafis.

Pahlawan Nasional dari Pulau Penyengat, Tanjungpinang, Kepulauan Riau itu menggambarkan bahwa wilayah yang berhadapan dengan salah satu selat tersibuk di dunia, Selat Malaka, telah menjadi jalur bahari perdagangan utama gambir. Bahkan, gambir dari Negeri Riau dikenal karena kualitasnya yang cukup bagus.

Sejarawan Melayu, Dedi Arman, mengatakan, bahwa Raja Ali Haji telah mengungkap betapa penting komoditas gambir kala itu. Penyebabnya, pada masa itu permintaan terhadap rempah yang berwarna coklat kehitaman tersebut memang cukup tinggi dari berbagai penjuru dunia.

Beberapa negara dengan tingkat permintaan gambir yang tinggi antara lain India, Bangladesh, Jepang, Singapura, Prancis, dan beberapa negara lainnya. Selain digunakan untuk menyamak kulit dan pewarna tekstil, gambir juga digunakan untuk campuran bahan farmasi atau obat-obatan.

“Misalnya digunakan untuk obat luka bakar, sakit kepala, diare, disentri, sariawan dan lain sebagainya. Bahkan, secara tradisional, gambir ini dikenal dapat mengobati sakit mag hanya dengan mengunyah daun tanaman gambir yang masih muda,” ujar Dedi, yang kini menjadi Peneliti Sejarah di Pusat Penelitian (Puslit) Arkeologi Nasional.

Pekerja bersiap mengolah gambir di Desa Kudung, Lingga Timur, beberapa waktu lalu. Foto: Dedi untuk Batam Pos

Adapun, gambir ini didapat dengan mengolah atau mengekstraksi daun dan ranting dari tanaman gambir (uncaria) yang diproses dengan pemanasan, lalu diendapkan dan kemudian dicetak serta dikeringkan. Gambir banyak digunakan sebagai bahan penyamak kulit dan pewarna pakaian.

Menurut Dedi, cikal bakal penanaman gambir di Negeri Riau baru dimulai pada tahun 1743. Itu ditandai dengan permintaan Yang Dipertuan Muda Johor-Riau, Daeng Celak, terhadap Punggawa Tarum dan Penghulu Cedun, agar mengambil bibit tanaman gambir dari Pulau Perca atau Sumatra.

“Gambir kemudian ditanam di Pulau Bintan seperti di Senggarang, Batu 8, Ekang, Busung, Gesek, hingga ke arah Lagoi. Sedangkan di Pulau Batam, gambir bisa ditemukan di Galang, Mukakuning dan Sembulang,” sebutnya.

Seiring makin tingginya permintaan gambir, maka kian banyak pula saudagar Melayu dan Bugis yang mengembangkan ratusan perkebunan gambir di wilayah ini.

Bahkan, saat itu para saudagar kaya tersebut sampai mendatangkan langsung para pekerja dari Tiongkok.

“Tenaga kerja Tionghoa ini yang kemudian membantu memproses tanaman menjadi gambir yang siap untuk diperdagangkan,” tuturnya.

Dedi juga menjelaskan, kejayaan gambir di wilayah ini juga tercatat dalam arsip Belanda, baik itu berupa surat perjanjian kontrak, surat kabar, hingga laporan perjalanan.

Kejayaan gambir juga didapat dari hasil ekspor yang menunjukkan tren positif pada kisaran tahun 1820-1830-an.

Tak heran bila kemudian wilayah ini begitu termasyhur serta sejahtera masyarakatnya dari hasil mengekstrak tanaman berjenis perdu tersebut, hingga kemudian menjualnya ke berbagai penjuru dunia.

“Gambir menjadi komoditas andalan Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga abad ke-18 dan ke-19, dan wilayah ini cukup makmur sebagaimana digambarkan dalam kitab Tuhfat al-Nafis. Itulah mengapa gambir punya jejak sejarah panjang di wilayah ini,” terang pria yang sebelumnya bertugas di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kepulauan Riau itu.

Meski pada masa sekarang sentra pemasok utama gambir berasal dari Sumatra Barat, namun Dedi menyebut bahwa gambir dari Kepulauan Riau memiliki kekhasan tersendiri.

Itu karena, di wilayah ini ada varietas gambir bernama gambir Riau, yang dikenal dengan kualitasnya yang bagus karena kandungan asam kateku tanat atau taninnya yang tinggi.

Sejak abad ke-18, kebun gambir di Kepulauan Riau lebih banyak diusahakan oleh orang Tionghoa.

Hal itu terjadi setelah pemimpin Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga, Sultan Mahmud Riayat Syah, memindahkan pusat kekuasaan dari Negeri Riau ke Daik Lingga (wilayah yang kini masuk Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau) dan meninggalkan pekerja Tionghoa yang tak ikut pindah.

Sehingga, para pekerja itu yang kemudian meneruskan usaha produksi gambir di wilayah ini.

Dalam pembuatan gambir, Dedi menerangkan, dikenal juga istilah pengolahan gambir Tionghoa, yang sistemnya agak berbeda dengan pengolahan di daerah lain.

Dimulai dengan meletakkan daun dan ranting gambir yang telah dipetik dan dipotong-potong di atas kuali perebusan.

Lama perebusan sekitar 4-5 jam, dengan terus mengaduk daun dan ranting tersebut. Setelah itu, daun dan ranting diangkat dari kuali, namun sisa air rebusan terus dipanaskan hingga mengental.

Hasil perebusan ini kemudian dituang ke dalam ember plastik. Sekitar 30 menit kemudian diaduk hingga hasil ekstraksi mencapai suhu kamar.

Setelahnya, baru dimasukkan ke dalam cetakan yang berbentuk persegi empat berukuran besar dan terbuat dari papan balok, kemudian diendapkan selama satu malam.

Keesokan harinya, cetakan dibuka dan gambir dipotong-potong sesuai ukuran yang diinginkan. Produk tersebut kemudian diletakkan dalam tampi yang terbuat dari rotan, lalu dimasukkan dalam ruangan pengering.

“Metode pengeringannya dengan mengalirkan udara panas yang didapat dari pembakaran kayu ke dalam ruangan pengering,” terang Dedi, yang mengaku telah meneliti gambir sejak di bangku kuliah.

Meski pernah jaya beberapa abad sebelumnya, sayangnya saat ini produksi gambir di Kepulauan Riau hanya tersisa di beberapa wilayah dan dalam skala kecil.

Kawasan yang dulu menjadi lokasi perkebunan dan sentra produksi gambir, kini tak dapat dijumpai lagi keberadaannya. Namun, jejak gambir masih bisa dikenali di beberapa titik.

Misalnya, sambung Dedi, di Kota Tanjungpinang terdapat satu jalan yang bernama Jalan Gambir, karena di lokasi itu pada masa lampau banyak dijumpai bangunan serta saudagar Tionghoa yang menjadi pemilik kebun gambir.

Namun kini, kebun maupun tempat pengolahan gambir dengan asap mengepul, tak bisa lagi ditemukan di kawasan ini.

“Di Kepulauan Riau, sekarang pengolahan gambir tinggal ada di dua wilayah, yaitu di Desa Kudung di Kabupaten Lingga, serta di Pulau Kundur di Kabupaten Tanjungbalai Karimun,” sebut mantan wartawan tersebut.

Menurut Dedi, karena telah menorehkan catatan emas sebagai salah satu komoditas primadona niaga sekaligus berkontribusi membuat wilayah di sempadan nusantara ini dikenal luas oleh bangsa lain di dunia, maka sudah sepatutnya gambir mendapat porsi untuk direkonstruksi sebagai salah satu rempah warisan sejarah di Bumi Melayu Kepulauan Riau.

“Sehingga, generasi saat ini maupun yang akan datang dapat mengetahui sekaligus bangga bahwa di wilayah ini pernah jadi sentra maritim perdagangan gambir di nusantara,” tuturnya.

Bagian dari Tradisi

Periode panjang sejarah kegemilangan gambir di Kepulauan Riau pada masa lalu, tentunya tak lenyap begitu saja. Rempah ini tetap memiliki ikatan yang kuat dengan adat istiadat maupun budaya di wilayah Melayu ini.

Salah satunya, menyertakan gambir dalam tradisi menyirih atau mengunyah sirih. Warga Melayu di Kepulauan Riau menyebut tradisi ini dengan istilah nyirih.

Raja Zulkarnain, anggota Biro Adat dan Tradisi Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, mengatakan, nyirih telah menjadi bagian dalam kebiasaan orang Melayu sejak zaman dulu dan diteruskan hingga saat ini.

“Tujuannya, untuk menguatkan gigi dan membantu merangsang air liur serta mengurangi dahaga,” kata pria yang akrab disapa Razu tersebut.

Seorang anak melihat tanaman gambir di Kecamatan Kundur Barat, Karimun. Foto: Dedi untuk Batam Pos

Adapun, bahan-bahan yang digunakan untuk nyirih adalah daun sirih, gambir, pinang, tembakau, dan kapur sirih. Secuil dari masing-masing bahan-bahan tersebut kemudian dipadukan lalu dikunyah.

Perpaduan rasa sedikit pedas, pahit, getir, dan efek segar, seketika terasa menyeruak di rongga mulut usai beberapa kali mengunyah bahan-bahan tersebut.

“Tradisi nyirih ini masih dilakukan oleh beberapa orang tua hingga sekarang, harapannya agar gigi mereka awet,” ujarnya.

Selain itu, sambung Razu, bahan-bahan dan rempah dalam tradisi nyirih tersebut, juga menjadi sajian yang disodorkan bagi tamu yang datang pada suatu acara.

Tujuannya, sebagai bentuk penyambutan sekaligus penghormatan. Maka, pada tari Sekapur Sirih atau tari penyambutan tamu khas Melayu Kepulauan Riau, seorang penari akan membawa tepak sirih berbentuk kontak persegi panjang yang berisi bahan-bahan nyirih, lalu disodorkan kepada tamu agung tersebut.

“Makanya, ketika tamu disodorkan sirih itu, para tamu tersebut harus mengambil dan mengunyahnya,” papar pria yang juga menjadi staf Sejarah, Cagar Budaya dan Permuseuman di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Batam tersebut.

Menurut Razu, tradisi nyirih dengan menyertakan gambir di dalamnya, merupakan manifestasi bahwa rempah tersebut pernah memiliki ikatan yang kuat bagi masyarakat Melayu.

Terlebih, pada masa silam gambir berkontribusi sangat besar terhadap kemakmurah masyarakat di wilayah ini, sekaligus dipercaya memiliki khasiat yang luas untuk pengobatan berbagai jenis penyakit.

“Gambir itu kan perlu diproses dahulu sebelum jadi produk yang dijual, dan itu butuh ketekunan dan keteguhan hati untuk membuatnya. Jadi, semangat dan filosofi semacam itulah yang mendekatkan gambir dengan orang Melayu di Kepulauan Riau ini, termasuk menjadikannya bagian dari nyirih tersebut,” jelasnya.

Merefleksikan Kejayaan Masa Silam

Penurunan permintaan gambir dari seluruh dunia pada abad ke-20, sangat berimbas terhadap usaha perkebunan gambir di wilayah Kepulauan Riau.

Penurunan harga gambir dunia membuat usaha ini makin berat untuk bertahan. Terlebih, dalam produksi gambir, dibutuhkan tenaga kerja dalam jumlah banyak serta kayu bakar yang tak sedikit untuk mengolahnya.

Lambat laun, ongkos produksi tak lagi sebanding dengan harga gambir. Karena itu, banyak perkebunan dan usaha gambir, baik yang berada di Pulau Batam maupun Pulau Bintan, akhirnya gulung tikar.

Sehingga, makin lama makin sulit menemukan bekas area maupun barang-barang yang menjadi saksi kedigdayaan gambir di wilayah ini.

Kondisi itu yang memantik keinginan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Batam, Ardiwinata, untuk kembali mengenalkan gambir kepada generasi muda Batam.

Kepala Disbudpar Batam, Ardiwinata, berencana menghadirkan jejak gambir di Kepulauan Riau di Museum Batam Raja Ali Haji. F.oto: Cecep Mulyana/Batam Pos

Tujuannya, mengingatkan kembali bahwa wilayah ini pernah mengalami periode gemilang sektor dagang dan kemaritiman yang bersumber dari gambir pada masa silam.

Salah satu metodenya, dengan mengenalkan wujud tanaman hingga merekam berbagai hal tentang gambir di Museum Batam Raja Ali Haji yang berada di Dataran Engku Putri, Batam Center, Kota Batam.

“Intinya, kami ingin merefleksikan periode keemasan gambir kepada para pemuda maupun generasi mendatang, termasuk kepada para wisatawan yang berkunjung, agar mereka tahu bahwa rempah ini pernah mengalami periode yang sangat berharga di daerah ini,” tutur Ardiwinata.

Menurut Kepala Dinas, pihaknya menerima masukan dari masyarakat yang meminta agar tanaman gambir ditanam di pekarangan maupun taman di sekitar Museum Batam.

Tujuannya, agar masyarakat, pemuda maupun anak-anak generasi mendatang yang mengunjungi museum tersebut, dapat belajar dan mengenali tanaman gambir.

“Kami ingin museum ini jadi basis edukasi anak-anak generasi mendatang untuk mengenal sejarah wilayah ini. Jika ada masyarakat yang memiliki arsip atau hal lain yang berkaitan dengan sejarah gambir di daerah ini, Museum Batam juga sangat terbuka sekali menerimanya,” kata mantan Kepala Bagian Humas Kota Batam tersebut.

Ardiwinata juga berharap, generasi masa kini dapat kembali merevitalisasi rempah-rempah seperti gambir. Pasalnya, gambir dinilai masih sangat potensial untuk dikembangkan menjadi komoditas niaga unggulan, mengingat hal serupa pernah terjadi di masa silam.

“Karena kalau pangsa pasarnya masih ada, tak menutup kemungkinan gambir ini dapat berjaya lagi,” ujarnya.(*)

spot_img

Update