batampos – Tahun 2025 diprediksi akan menjadi tahun penuh tantangan bagi dunia investasi di Batam. Berbagai kebijakan fiskal di Indonesia dan negara tetangga dinilai berpotensi memengaruhi aliran investasi ke kota indus-tri ini. Salah satunya adalah penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Vietnam dari 10 persen menjadi 8 persen, yang disebut-sebut akan menarik perhatian investor global dan menjadi ancaman serius bagi Batam.
Tantangan investasi di Batam tidak hanya itu. Upah yang dinilai cukup tinggi memberatkan dunia usaha dan me-ngurangi daya tarik Batam.
Dibandingkan Vietnam, upahnya jauh lebih murah. Kisaran upah di Vietnam adalah Rp2.264.388 per bulan hingga Rp3.267.188. Sementara itu, di Batam, upah minimumnya mencapai Rp4.685.050. Apalagi, upah minimum kota (UMK) tahun 2025 diprediksi hampir mencapai Rp5 juta.
Problem investasi di Batam juga mencakup pengurusan perizinan dasar yang masih membutuhkan waktu lama, seperti penerbitan KKPR, persetujuan lingkungan, pengurusan AMDAL, PBG (Persetujuan Bangunan Gedung), dan SLF (Sertifikat Laik Fungsi). Hal ini disebut-sebut membuat Batam kehilangan momentum.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam, Rafki Rasyid, membenarkan hal tersebut. “Di Vietnam, upah minimum terendah berkisar Rp2,2 juta, dan tertinggi sekitar Rp3,2 juta. Bandingkan dengan Batam yang sudah mencapai Rp4,9 juta. Produktivitas tenaga kerja di Vietnam juga lebih tinggi dibandingkan kita di Batam,” kata Rafki kepada Batam Pos, Senin (16/12).
Ia menambahkan bahwa setiap uang yang dikeluarkan pengusaha di Vietnam jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan di Batam. Menurut Rafki, pengusaha pasti melihat keuntungan secara bisnis lebih besar di Vietnam dibandingkan di Batam.
“Ini salah satu alasan banyak investor lebih memilih Vietnam ketimbang Batam,” tutur Rafki.
Rafki bersyukur pembangunan infrastruktur yang masif cukup mendongkrak perekonomian. Namun, ia menilai infrastruktur investasi belum memadai, terutama pelabuhan kontainer yang masih berbiaya tinggi.
“Perizinan yang masih tarik-ulur antara instansi pusat dan di Batam,” tambah Rafki.
Baru-baru ini, Vietnam mengeluarkan kebijakan menurunkan PPN dari 10 persen menjadi 8 persen. Menurut Rafki, hal ini menjadi ancaman tersendiri bagi industri di Indonesia, termasuk Batam. Ia menduga akan banyak investasi yang me-ngalir ke Vietnam.
“Belum lagi berbagai insentif menarik lainnya yang diberikan Vietnam,” ucap Rafki.
Meski demikian, sejauh ini belum ada sinyal investor hengkang dari Batam. Namun, beberapa investor besar seperti Samsung, Apple, dan Nvidia telah berhasil direbut Vietnam.
Masuknya investor besar ke Vietnam, ditambah tantangan Zona Ekonomi Khusus Johor-Singapura (JS-SEZ), harus membuat Batam bekerja lebih keras untuk mendatangkan investor. Rafki berharap dunia usaha diberikan insentif, bukannya ditambah beban fiskal.
“Jika upah tahun 2025 naik tinggi tanpa insentif, kami khawatir akan banyak perusahaan yang mengurangi jumlah karyawan. Mudah-mudahan dengan adanya insentif dari pemerintah, dunia usaha masih bisa bertahan di tengah kondisi domestik dan global yang tidak menentu seperti sekarang ini,” ucap Rafki.
Ketua Koordinator Himpunan Kawasan Industri (HKI) Batam dan Karimun, Tjaw Hieong, mengatakan hal serupa. “Masih banyak kendala dalam perizinan berusaha,” kata pria yang akrab disapa Ayung tersebut.
Dia menjelaskan, jika perizinan dimudahkan, maka realisasi investasi dan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Namun, hal ini menjadi pekerjaan berat karena beberapa izin terbagi di banyak lembaga pemerintah pusat dan daerah.
Ayung menilai jika problem ini tidak diselesaikan, target pertumbuhan ekonomi 8 persen di 2025 sulit terlaksana. “Pasca-terpilihnya Presiden Trump (Amerika Serikat), eskalasi perang dagang AS-Tiongkok semakin intensif. Banyak PMA (Penanam Modal Asing) di Tiongkok untuk tujuan ekspor ke AS sering menanyakan apakah kita memiliki ready-built factory yang siap digunakan. Ternyata tidak,” ujar Ayung.
Dia mengatakan, masalah ini disebabkan permasalahan lama yang tak kunjung selesai, seperti perizinan mendasar yang sering terhambat.
“Karena target produksi yang cepat akibat tarif ke Amerika Serikat semakin tinggi (65 persen sampai 100 persen), mereka mencari lokasi di regional ASEAN yang lebih bersahabat dan cepat mendirikan bangunan,” tuturnya.
Dia berharap sistem Online Single Submission (OSS) terus diperbarui dan semua pihak berkomitmen mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen serta peningkatan investasi di Batam. “Kami berharap Kementerian Investasi dan Hilirisasi dapat mempercepat proses perizinan dasar. Jika ada kendala, harus cepat ditangani,” tutur Ayung.
Investasi Batam Melonjak di Triwulan ke-3
Meskipun berbagai tantangan akan dihadapi Batam di 2025. Namun, di triwulan III 2024 investasi dari Penanaman Modal Asing (PMA) mencatat angka signifikan: Rp13,2 triliun. Sektor industri mesin menjadi penyumbang terbesar, diikuti oleh elektronik, instrumen kedokteran, peralatan listrik, dan optik, yang terus mengukuhkan Batam sebagai pusat investasi strategis di Indonesia.
“Sektor ini cukup besar dalam menyumbang realisasi investasi di Kota Batam,” ujar Kepala DPM PTSP Kota Batam, Reza Khadafi, Kamis (19/12).
Tidak hanya sektor industri, sektor infrastruktur seperti properti perumahan, kawasan industri, dan perkantoran juga menunjukkan peningkatan investasi yang signifikan.
“Sementara itu, bidang reparasi, seperti perbaikan sparepart dan barang sejenis, turut menjadi penyumbang penting,” kata dia.
Reza menambahkan, sejumlah negara tercatat sebagai investor utama di Batam, termasuk Singapura, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Taiwan, dan Switzerland (Swiss). “Kami berharap di bawah kepemimpinan wali kota baru nantinya akan ada angin segar untuk peningkatan investasi di Batam. Selain itu, kami juga terus berupaya meningkatkan pelayanan dan perizinan untuk mendukung iklim investasi yang lebih baik,” kata Reza.
Selain itu, terlepas dari tantangan yang ada, Pemerintah Kota Batam terus berupaya mempercepat perizinan. Reza menyatakan bahwa implementasi Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG) telah berhasil mempercepat proses penerbitan izin.
“Dengan SIMBG, proses perizinan menjadi lebih transparan dan efisien. Hambatan birokrasi bisa diminimalisir, sehingga investasi bisa berjalan lebih lancar,” ujar Reza, Selasa (17/12).
Sistem ini, lanjut Reza, memungkinkan pemohon untuk memantau progres perizinan secara real-time. Namun, ia menekankan bahwa percepatan ini tetap bergantung pada kelengkapan persyaratan yang diajukan pemohon.
“Jika semua syarat lengkap, proses izin bisa selesai dalam waktu singkat. Tapi jika ada kekurangan, tentu harus diperbaiki terlebih dahulu,” ucapnya.
Dengan adanya sistem OSS dan SIMBG, Batam diharapkan mampu meningkatkan daya saingnya dalam menarik investasi. “Kami optimistis, dengan pembaruan sistem yang berkelanjutan, kendala yang selama ini dihadapi investor bisa teratasi,” tutur Reza.
Reza menekankan pentingnya koordinasi dengan dinas teknis untuk mempercepat pertimbangan teknis. Salah satu kendala yang sering dihadapi adalah ketika pengecekan lapangan dilakukan, namun pemohon tidak berada di lokasi.
“Kami berharap masyarakat bisa mengurus perizinan sendiri melalui sistem yang sudah ada tanpa menggunakan jasa pihak ketiga,” ujarnya.
Dengan percepatan dan transparansi yang kini diterapkan di Batam melalui SIMBG dan OSS RBA, diharapkan iklim investasi dapat lebih kondusif dan menarik bagi investor asing. (*)
Reporter : Azis Maulana / Arjuna / Fiska Juanda