Minggu, 29 September 2024

Pasir, Laut, dan Masa Depan yang Terkikis

Berita Terkait

spot_img
bakau
Green action SMA Maitreyawira Batam di Shelter Akar Bhumi Indonesia. Mereka peduli kelestarian ekosistem laut dan Mangrove.
F.Dok Akar Bumi Batam

batampos – Di bawah langit biru yang memayungi, laut selalu mengirimkan pesan-pesan sunyi. Ombak yang menyapu garis pantai membawa cerita tentang harapan, tentang kehidupan yang tak pernah diam. Namun, dalam gemuruh yang tak terdengar, ada juga desah ketakutan yang mengendap di sanubari mereka yang menggantungkan hidupnya pada lautan.

Dua puluh tahun telah berlalu sejak pintu ekspor pasir laut ditutup. Kala itu, laut diambang kematian. Ekosistem tercabik-cabik, pulau-pulau kecil hampir tenggelam, dan kehidupan para nelayan nyaris tercerabut. Hingga pada suatu titik, pemerintah sadar. Keran itu ditutup, seolah memberikan kesempatan bagi laut untuk pulih, kembali bernafas.



Akan tetapi, ibarat monster yang lama tertidur, kebijakan itu kini bangkit kembali. PP 26 Tahun 2023 datang seperti badai yang mengguncang ketenangan semu yang telah terjalin.
NGO Akar Bhumi Indonesia, sebuah organisasi non-pemerintah yang selama ini menjaga denyut laut dan masyarakat pesisir, kini berhadapan dengan kebijakan yang mengancam kelestarian laut itu.

Hendrik Hermawan, pendiri Akar Bhumi Indonesia, menatap lepas ke laut. Baginya, PP 26 tahun 2023 adalah monster lama yang bangkit kembali. Ekosistem laut, yang pernah luluh lantak dua dekade silam, kini dihadapkan pada ancaman yang lebih ganas.

Ia mengenang Pulau Nipah, Batam, yang nyaris hilang dari peta akibat eksploitasi pasir laut. Bagi Hendrik, alam bukan materi untuk dijual, melainkan roh kehidupan yang seharusnya dijaga.

“Kepri sudah pernah merasakan luka ini, dan seharusnya kita belajar dari masa lalu,” ujarnya, Rabu (25/9).

Dari balik kabut kekhawatiran, desas-desus menyeruak. Singapura, negeri pulau itu, dikatakan menanti pasir Indonesia untuk reklamasi.

Beberapa percaya bahwa ketersediaan pasir ini adalah syarat tak tertulis bagi investor asing yang hendak membangun Ibu Kota Negara baru. Sebuah barter tak tertulis: demi hutan Kalimantan, kita rusak laut Kepri. Seolah pemerintah rela merusak apa pun, asalkan dana segar bisa terus mengalir.

“Ini bukan sekadar kebijakan ekonomi, ini adalah pengkhianatan terhadap masa depan laut dan masyarakat kita,” kata Hendrik.

Lalu, ada pertanyaan lain yang meresahkan: benarkah alasan utama di balik kebijakan ini hanya untuk menghilangkan sedimentasi yang mengganggu perairan? Atau ini hanyalah dalih bagi kepentingan yang lebih gelap, seperti bayangan kolonialisme yang kembali mencuat dari masa lalu? Hendrik melihat tanda-tanda itu.

“Ada penumpang gelap dalam kebijakan ini,” ujarnya, penuh kewaspadaan.

 

Ancaman Nyata Pulau yang Terkikis

Provinsi Kepri, dengan 2.028 pulau kecilnya, telah lama menjadi benteng alami Indonesia. Namun, dengan kebijakan ini, baluarti itu mulai rapuh. Kenaikan permukaan air laut sudah menjadi ancaman nyata, dan kini ditambah dengan pengambilan pasir yang bisa mempercepat hilangnya pulau-pulau kecil.

“Pulau yang hilang mungkin tak langsung mengubah batas negara, tapi panjang garis pantai kita menyusut, zona tangkapan ikan bergeser, nelayan semakin terjepit,” kata Hendrik.

Di Karimun, masyarakat nelayan mulai cemas. Di sana, 16 dari 20 titik pengambilan pasir laut berada. Ketika Akar Bhumi Indonesia melakukan kunjungan pada Maret 2024, suara-suara penolakan menggema.

Bagi nelayan, laut adalah rumah, tempat mencari nafkah, dan ruang hidup. Dengan adanya eksploitasi ini, laut mereka perlahan berubah menjadi neraka.

 

Menggugat Kebijakan, Mempertahankan Laut

Akar Bhumi Indonesia berdiri tegak di sisi nelayan. Menurut Hendrik, PP 26 Tahun n 2023 adalah kebijakan yang cacat dari lahir.

“Seolah-olah Indonesia hanya menjadi toko bangunan bagi negara lain. Kita harus menyelamatkan laut kita. Ini bukan hanya soal devisa atau keuntungan bagi segelintir pengusaha, ini tentang keberlanjutan hidup kita,” tegasnya.

Hendrik percaya, jalur legislatif adalah kunci. Sebagai mitra Komisi IV DPR RI, Akar Bhumi akan menempuh jalur aspiratif. Jika pemerintah bersikeras, pihaknya harus bersiap untuk pengawasan ketat. Laut tak mudah dijaga, apalagi jika terjadi kejahatan lingkungan seperti eksploitasi pasir laut tanpa batas.

Ia mencatat, masalah lingkungan tak mudah diselesaikan di Indonesia, terutama yang menyangkut laut. Hukum sering lambat dalam merespons kejahatan lingkungan. Ini akan menjadi ancaman besar bagi ekosistem laut.

 

Laut sebagai Jiwa

Di Kepri, 96 persen wilayahnya adalah lautan. Jadi dapat disimpulkan bahwa laut bukan sekadar sumber mata pencaharian. Laut adalah jiwa. Nelayan tak hanya mengandalkan tangkapan ikan untuk hidup, tetapi mereka hidup bersama laut, dalam makna yang lebih mendalam.

“Merusak laut sama saja menghancurkan spirit masyarakat pesisir,” ujar Hendrik.

Ekspor pasir laut, yang diklaim sebagai solusi sedimentasi, nyatanya memicu sedimentasi lain–sedimentasi dalam sendi kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Laut yang tercemar bukan hanya berarti hilangnya ikan, tapi juga hilangnya rasa aman dan keberlangsungan hidup. Nelayan terjepit dari dua sisi, antara pesisir yang direklamasi secara ilegal dan laut yang rusak oleh eksploitasi pasir.

Mimpi Kelam Masa Depan

Dampak kebijakan ini tidak hanya akan dirasakan saat ini, tetapi juga di masa depan. Penurunan kualitas air, abrasi, dan erosi pantai hanya sebagian kecil dari kerusakan yang akan terjadi. Padahal, lautan menyimpan kekayaan yang jauh lebih penting daripada sekadar pasir.
Laut adalah penghasil oksigen terbesar, penyerap karbon, dan rumah bagi kehidupan yang tak terhitung banyaknya. Ketika kita menjual pasir laut, kita sesungguhnya sedang menjual masa depan kita sendiri.

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepri, Distriawandi, tak kalah gelisah. Kebijakan ekspor pasir laut, menurutnya, adalah pukulan keras bagi nelayan.

“Ini kebijakan brutal,” katanya, berberapa waktu lalu.

Laut yang mereka kenal kini mulai berubah, dan hasil tangkapan ikan menurun drastis. Distriawandi tahu, jika kebijakan ini terus berlanjut, maka dampaknya darurat.

“Kami takut ini hanya awal dari konflik yang lebih besar,” katanya.

Nelayan yang kehilangan laut mereka akan kehilangan segalanya–penghasilan, identitas, dan masa depan.

 

Sebuah Seruan: Selamatkan Laut, Selamatkan Kehidupan

Di balik semua ketakutan dan kekhawatiran ini, masih ada harapan yang tersisa. Hendrik, Distriawandi, dan masyarakat nelayan di Kepri tak ingin menyerah. Mereka percaya, ada cara lain untuk memanfaatkan laut tanpa merusaknya.

“Pendalaman alur bisa dilakukan di area yang tidak mengganggu zona tangkapan nelayan,” ujar Distriawandi.

Sementara Hendrik menyimpulkan dengan sebuah seruan, Laut adalah warisan masa depan. Mari kita jaga, bukan hanya untuk kita, tetapi untuk anak-cucu kita nanti.

Dengan kebijakan yang tak berpihak pada keberlanjutan ini, masa depan laut terancam hilang. Akar Bhumi Indonesia dan HNSI Kepri sepakat: perjuangan untuk menyelamatkan laut bukan hanya tentang ekosistem, tetapi tentang menjaga harapan agar tetap hidup.

Sementara ombak terus berdebur, pertanyaan besar pun menggantung di udara. Apakah kita akan terus menjual laut, melelang masa depan demi keuntungan sesaat? Ataukah kita akan memilih untuk menjaga, merawat, dan mewariskan laut kepada anak cucu?
Dalam sunyi yang penuh arti, lautan menunggu jawabannya. (*)

spot_img

Update