batampos – Pada 24 Desember 2024, terjadi insiden yang menimbulkan kegaduhan di perairan sekitar Batam, Indonesia. Beberapa kapal nelayan Indonesia dilaporkan memasuki wilayah perairan Singapura yang dikenal sebagai Singapore Territorial Waters (STW).
Kejadian ini memicu reaksi dari otoritas Singapura. Pemerintah Singapura mengerahkan kapal-kapal penjaga pantai mereka (PCG) untuk mencegah kapal nelayan yang tidak memiliki izin memasuki kawasan tersebut.
Menurut pernyataan yang dirilis oleh Singapore Police Force (SPF), sekitar pukul 08.45 WIB, petugas PCG mulai memantau aktivitas kapal nelayan Indonesia yang terlihat keluar-masuk wilayah STW beberapa kali. Langkah proaktif dari pihak PCG dilakukan untuk menjaga batas wilayah tersebut dengan mengerahkan kapal-kapal patroli guna mencegah kapal nelayan yang tidak memiliki izin masuk lebih jauh.
Insiden semakin berkembang ketika, sekitar pukul 13.20 WIB, dua dari lima kapal nelayan Indonesia yang sebelumnya beroperasi di dekat perbatasan diketahui bergerak lebih jauh memasuki STW. Kedua kapal ini kemudian dikejar oleh kapal PCG untuk dihentikan dan dicegah agar tidak melanjutkan perjalanan lebih dalam.
Petugas PCG segera berkomunikasi dengan awak kapal nelayan yang terjebak di STW dan meminta mereka segera meninggalkan perairan tersebut. Peringatan ini didasarkan pada aturan yang melarang kapal asing memasuki wilayah perairan Singapura tanpa izin resmi.
Setelah berkomunikasi dengan pihak nelayan, kedua kapal tersebut akhirnya setuju untuk meninggalkan STW sekitar pukul 14.40 WIB. Mes-kipun situasi dapat diselesaikan tanpa insiden lebih lanjut, pihak Singapura dalam pernyataan resminya menegaskan bahwa kapal asing diharapkan selalu mematuhi instruksi otoritas Singapura saat berada di perairan STW.
Namun, insiden ini menimbulkan keresahan di kalangan nelayan Batam, khususnya yang beroperasi di sekitar perbatasan Indonesia dan Singapura. Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Distrawandi, mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap tanggapan resmi otoritas Singapura.
Menurutnya, meskipun ada pengakuan bahwa kapal nelayan Indonesia memasuki wilayah Singapura, hal ini tidak lepas dari kurangnya pemahaman mengenai batasan zona antarnegara yang jelas. Meskipun titik koordinat yang diberikan oleh nelayan dan Angkatan Laut menunjukkan kapal-kapal tersebut memang memasuki perairan Singapura, HNSI tetap merasa perlu menyampaikan permohonan maaf kepada pemerintah Singapura atas insiden tersebut.
Namun, Distrawandi juga meminta agar pemerintah Indonesia segera memperjelas batas wilayah negara kepada para nelayan. “Perbatasan wilayah negara harus lebih jelas dan disosialisasikan kepada nelayan. Kami merasa edukasi tentang batasan tersebut masih sangat minim,” ujar Distrawandi, Jumat (3/1).
Ia menambahkan, tanda batas seperti boya atau mercusuar harus dipasang di titik-titik strategis untuk membantu nelayan mengenali wilayah larangan dan meng-hindari melintasi batas negara tanpa sengaja. Distrawandi juga menyoroti pentingnya edukasi lebih baik kepada para nelayan.
Sebagai nelayan tradisional yang mengandalkan perahu kecil dan peralatan sederhana, lanjutnya, mereka sering kali tidak menyadari posisi saat berlayar ke wilayah yang lebih jauh. Kurangnya fasilitas navigasi memadai di perahu nelayan kerap menyebabkan mereka melintasi batas wilayah negara tanpa sengaja.
Terkait hal tersebut, HNSI Kepri mengusulkan adanya pembaruan dalam sistem komunikasi antara pemerintah Indonesia dan Singapura serta memperkuat koordinasi antarotoritas terkait untuk menjaga stabilitas dan keselamatan nelayan di perbatasan kedua negara. HNSI berharap pemerintah Singapura lebih memahami kondisi nelayan Indonesia, yang sebagian besar bekerja dengan peralatan tradisional.
“Kami berharap Singapura bisa lebih memahami dan bertindak lebih lembut dalam menangani insiden seperti ini. Kami ingin agar nelayan Indonesia mendapat pemahaman yang baik mengenai batas-batas wilayah sehingga dapat menghindari kesalahan yang berpotensi membahayakan mereka,” katanya.
Meski begitu, sejumlah nelayan Batam yang ditemui di lapangan mengaku khawatir insiden serupa dapat membahayakan keselamatan mereka. Mereka juga berharap ada perhatian lebih terhadap kondisi mereka yang sering terjebak dalam situasi seperti ini tanpa perlindungan memadai.
Sebagai solusi jangka panjang, Distrawandi menyarankan pemerintah Indonesia melakukan koordinasi lebih intensif dengan Singapura untuk memastikan batas wilayah antarnegara tidak hanya jelas, tetapi juga mudah dipahami masyarakat nelayan yang berada di garis depan. (*)
Reporter : Arjuna