Rabu, 25 September 2024

Pencucian Pasir Ilegal di Hutan Lindung Nongsa Cemari Area Hutan Mangrove dan Pesisir Nongsa

Berita Terkait

spot_img
IMG 20240925 WA0043
Lokasi pencucian pasir ilegal yang diduga terjadi di Hutan Lindung Nongsa 1, Batam.

batampos – Aktivitas pencucian pasir ilegal diduga terjadi di Hutan Lindung Nongsa 1, Batam. Laporan dari NGO Akar Bhumi Indonesia mengungkapkan bahwa kegiatan ini mencemari area hutan mangrove dan pesisir Nongsa, serta berdampak buruk pada lingkungan dan mata pencaharian warga.

Founder Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, mengatakan pada 21 Juli 2024, timnya melakukan verifikasi terhadap laporan masyarakat terkait dugaan pencucian pasir di HL Nongsa 1, yang terletak di Jalan Hang Lekiu, seberang TPU Nongsa. Tim menemukan alat-alat pencucian masih terpasang, meski tidak ada aktivitas atau pekerja di lokasi.



Hasil pemantauan udara menunjukkan limbah pasir dari kegiatan ini mencemari area hutan mangrove yang berbatasan langsung dengan lokasi pencucian.

Baca Juga: Polisi Janji Tindak Seluruh Tambang Pasir Ilegal di Batam

“Sebulan kemudian, pada 21 Agustus 2024, kami kembali melakukan verifikasi dan menemukan aktivitas pencucian pasir sedang berlangsung. Beberapa truk terlihat hilir-mudik mengangkut material pasir,” ujarnya, Rabu (25/9).

Aktivitas ini diduga menjadi penyebab sedimentasi di perairan sekitar jembatan Terminal Ferry Internasional Nongsa, yang berjarak sekitar 3,5 kilometer dari lokasi pencucian.

“Kami menduga pasir tersebut diambil dari sekitar Nongsa dan dicuci di lokasi ini. Menurut informasi dari masyarakat, pengambilan pasir dilakukan pada malam hari,” ucap Hendrik.

Ia juga menjelaskan bahwa hutan Nongsa merupakan daerah tangkapan air yang mengelilingi waduk. Kerusakan hutan ini akan berdampak pada ketersediaan air di Batam karena mengganggu aliran air ke waduk.

“Daerah itu masuk area hutan lindung. Rusaknya daerah tangkapan air di hutan lindung ini jelas akan berdampak pada ketersediaan air di Batam. Terlebih lagi aktifitas itu hanya berjarak setengah mil dari Dam di sana, ” tuturnya.

Yulindi, 42, Ketua Nelayan Kampung Tua Nongsa Pantai, mengungkapkan kekhawatirannya terkait dampak pencucian pasir ilegal ini. Ia mengaku dampaknya sangat besar. Sungai mengalami pendangkalan, hutan bakau terancam mati, dan hasil tangkapan nelayan menurun drastis.

“Sebelum ada pencucian pasir ini, nelayan bisa mendapat 4-5 kg udang sekali turun, tetapi dalam 1-2 bulan terakhir, mencari 1 kg saja sulit,” ujarnya.

Yulindi juga menambahkan bahwa air sungai dan laut di sekitar Nongsa telah berubah warna menjadi kecoklatan dan putih akibat sedimentasi. Kerusakan lingkungan ini tidak hanya merugikan nelayan, tetapi juga berdampak pada sektor pariwisata.

“Pantai Tanjung Bemban Nongsa dulu ramai dikunjungi, tetapi sekarang airnya berubah warna, sedimentasi sudah beberapa sentimeter, dan jumlah pengunjung menurun. Banyak masyarakat yang menggantungkan hidup dari pesisir dan laut. Ketika perairan rusak, jelas itu merugikan mereka,” tuturnya.

Aktivitas pencucian pasir ini, menurut warga, telah berlangsung lebih dari satu tahun. Meskipun warga dan nelayan telah berupaya menutup kegiatan tersebut secara paksa, aktivitas ini kembali berjalan beberapa bulan kemudian. Warga menduga adanya oknum yang membekingi kegiatan ilegal ini.

Akar Bhumi mengingatkan bahwa kegiatan pencucian pasir ini melanggar berbagai peraturan, termasuk UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Warga dan nelayan berharap aparat dan dinas terkait segera menghentikan kegiatan ini dan melakukan restorasi sungai yang terdampak sedimentasi. Mereka juga meminta agar para pelaku pencemaran lingkungan ini ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku. (*)

Reporter: Rengga Yuliandra

spot_img

Update